Aplikasi Smart Pakem yang diluncurkan oleh Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta menuai protes. Para pegiat hukum dan HAM menganggap aplikasi yang dimaksudkan untuk membantu warga melaporkan aliran-aliran kepercayaan yang sesat tersebut, justru mempertajam diskriminasi terhadap kelompok-kelompok minoritas. Dalam konteks politik jelang Pilpres 2019 yang penuh dengan tensi politik berbasis identitas, aplikasi ini bisa berdampak pada makin meningkatnya persekusi dan memicu perpecahan dalam masyarakat.
PinterPolitik.com
“Discrimination has a lot of layers that make it tough for minorities to get a leg up.”
:: Bill Gates ::
[dropcap]K[/dropcap]ejakasaan Tinggi DKI Jakarta meluncurkan aplikasi Smart Pakem. Aplikasi yang bertujuan sebagai Pengawasan Aliran Kepercayaan dan Aliran Keagamaan dalam Masyarakat (Pakem) ini diharapkan mampu membantu masyarakat untuk membuat laporan jika menemukan praktik aliran sesat.
Hal yang menarik adalah selain berisi informasi seperti Undang-Undang dan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), aplikasi tersebut juga berisi daftar ormas dan aliran kepercayaan yang dianggap sesat.
Kejaksaan beralasan bahwa aplikasi tersebut berfungsi sebagai bagian dari kerja pengawasan terhadap berbagai aliran dan kepercayaan dalam masyarakat. Kewenangan tersebut pun sudah diatur dalam UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, terutama pada Pasal 30, dan menjadi bagian dari tanggung jawab lembaga tersebut.
Jika dilihat dari isi konten yang beberapa bagian belum bisa diakses memang menunjukkan bahwa sepertinya tidak ada perencanaan yang matang dalam pembuatan aplikasi ini. Share on XDalam pernyataan resminya, Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta berharap aplikasi ini akan memberikan kemudahan akses pengetahuan tentang perkembangan aliran kepercayaan dan aliran keagamaan yang ada di Indonesia.
Selain itu, masyarakat bisa dicerdaskan demi menghindari doktrin seseorang atau kelompok yang mengajak untuk mengikuti ajaran yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, demi terwujudnya kedamaian dan saling menghormati antarmasyarakat, serta menjamin kerukunan antarumat beragama. Aplikasi ini juga diharapkan mampu mencegah persekusi terhadap kelompok tertentu.
Namun, kritik datang dari banyak pihak. Komisi Nasional (Komnas) HAM misalnya menyebut aplikasi tersebut justru berpotensi membatasi kebebasan beragama dan berkeyakinan. Menurut lembaga ini, yang paling dirugikan adalah penghayat aliran kepercayaan. Dengan demikian, aplikasi ini harus dibatalkan.
Selain Komnas HAM, Partasi Solidaritas Indonesia (PSI) dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) juga menyoroti aplikasi tersebut yang dianggap bertolak belakang dengan intisari demokrasi yang memberikan kebebasan untuk memeluk agama sesuai kepercayaan dan keyakinan.
Persoalan ini juga mendapatkan sorotan dari media-media asing. Kantor berita asal Rusia, Sputniknews menurunkan tulisan yang menyebutkan bahwa aplikasi ini berpotensi melahirkan diskriminasi terhadap kelompok minoritas dan aliran kepercayaan tertentu. Hal serupa juga ditulis oleh The Independent dan Asia Times.
Konteks persekusi yang dimaksud ingin dicegah lewat aplikasi tersebut, justru sebaliknya dianggap menimbulkan paradoks. Pasalnya, ada daftar aliran kepercayaan yang dianggap sesat beserta alamat, jumlah pengikut, dan pemimpinnya yang disertakan dalam aplikasi tersebut. Hal ini justru berpotensi menimbulkan gesekan-gesekan di masyarakat untuk saling menjustifikasi.
Pertanyaan terbesarnya tentu saja adalah apa motif di balik kebijakan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta membuat aplikasi semacam ini?
Apakah ini benar-benar bagian dari upaya kejaksaan mengawasi aliran-aliran kepercayaan, atau – seperti yang dituduhkan oleh banyak pihak – justru menimbulkan diskriminasi terhadap kelompok minoritas katakanlah seperti Syiah dan Ahmadiyah, serta menegaskan bahwa negara tunduk pada deal politik kelompok-kelompok garis keras yang punya pengaruh besar jelang kontestasi politik di 2019 mendatang?
Oxymoron Kebebasan Beragama
Konteks kebebasan beragama di Indonesia memang menjadi konsen isu yang selalu disorot, terutama oleh dunia internasional. Pasca reformasi 1998, Indonesia memang memasuki era demokrasi dan kebebasan. Namun, hal ini juga beriringan dengan menguatnya pengaruh kelompok-kelompok garis keras.
Kelompok-kelompok ini awalnya direpresi di era Soeharto yang mewajibkan doktrin asas tunggal Pancasila, namun mendapatkan kembali momentum kebangkitannya pasca tumbangnya rezim tersebut.
Wakil Ketua Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos menyebutkan, pasca kejatuhan Orde Baru, ada proses pergeseran dalam masyarakat yang cukup kuat. Konteks yang ia maksudkan adalah kiprah gerakan kelompok garis keras yang mulai tampil dengan lebih terbuka. Bahkan, tidak sedikit yang mengarah pada radikalisasi.
Konteks inilah yang kemudian mulai menggeser citra Islam moderat di Indonesia, menjadi cenderung lebih eksklusif. Beberapa kelompok yang mendapatkan perlakuan cukup keras adalah Ahmadiyah, belakangan juga para penganut Syiah.
Nicola Colbran dari Norwegian Centre for Human Rights menyebutkan bahwa ada semacam kontradiksi ketika Indonesia menampilkan diri sebagai negara yang moderat dalam hal agama dan menjunjung tinggi toleransi dalam kerangka besar transformasi demokrasi, namun pada kenyataannya justru negara dianggap tidak mampu berbuat apa-apa saat berhadapan dengan aksi-aksi intoleransi.
Konteks pernyataan Colbran ini beralasan jika melihat aksi-aksi kekerasan terhadap kelompok Ahmadiyah, atau terhadap pemeluk agama lain. Di tahun 2018 pun kasus-kasus kekerasaan yang demikian masih juga terjadi.
Apalagi, menurut Colbran, di Indonesia, agama punya multi identitas yang diwakilkannya, mulai dari identitas personal, identitas etnis, identitas politik dan identitas nasional. Artinya, masalah tentang agama cenderung punya pertalian dengan banyak hal.
Persoalannya adalah “kebebasan beragama” sebagai bagian dari demokrasi yang dilaksanakan dalam koridor 6 agama resmi yang diakui pemerintah – dan belakangan ditambah dengan sekitar 187 aliran kepercayaan yang terdaftar – belum mampu menampilkan batasan-batasan suatu aliran dinyatakan sah atau tidak sah.
Menurut Colbran, hal ini membatasi kebebasan untuk menentukan, mempertahankan atau mengubah agama pada tingkat individu yang merupakan aspek internal dari kebebasan dalam demokrasi itu sendiri.
Hal ini juga bertentangan dengan “visi untuk Indonesia” yang dianut oleh salah satu founding fathers negara ini, Agus Salim, yang menyatakan bahwa Pancasila menjamin hak setiap warga negara untuk mengikuti agama apa pun, dan bahkan menjamin hak warga negara untuk memilih tidak memiliki agama.
Pernyataan Colbran tersebut digarisbawahi lagi oleh Profesor Siti Musda Mulia, Dosen Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta dalam salah satu tulisannya.
Terkait konteks sesat dan tidaknya sebuah aliran, setiap agama resmi memang punya lembaga pimpinannya masing-masing yang punya kewenangan untuk menentukan status ajaran tertentu. Namun, yang sering terjadi belakangan adalah perbedaan-perbedaan itu menjurus pada penggunaan kekerasan.
Ketika konteksnya sudah mengarah kepada tindak kekerasan, persekusi ataupun diskriminasi yang melanggar hak-hak asasi manusia, seharusnya memang ada nilai yang dipilah-pilah, mana yang lebih tinggi antara yang satu dengan yang lainnya. Negara pun seharusnya hadir ketika konteks perbedaan-perbedaan tersebut telah berujung pada tindakan-tindakan yang melanggar HAM dan bersifat kekerasan.
Pada titik inilah terjadi apa yang disebut sebagai oxymoron atau paradoks yang terintegrasi. Narasi kebebasan beragama pada akhirnya justru diaplikasikan dengan mengingkarinya. Kebebasan beragama menjadi retorika yang paradoks – sebuah oxymoron – karena yang terjadi sesungguhnya adalah sebaliknya.
Hal ini jugalah yang bisa dilihat dari fenomena aplikasi Smart Pakem ini. Negara menyebut diri ingin mencegah persekusi, tetapi cara yang ditempuh justru mengarah pada peningkatan diskriminasi.
Smart Pakem, Negara Masih Gagal?
Jika diperhatikan, memang aplikasi ini berpotensi dijadikan “alat” untuk mempersekusi masyarakat atau penganut aliran yang dianggap sesat.
Beberapa pendukung aplikasi ini, misalnya yang disampaikan oleh politisi Partai Nasdem, Irma Chaniago, memang menyebutkan bahwa Smart Pakem bagus untuk mencegah persekusi. Pembelaan politisi Nasdem ini tentu saja menarik, mengingat Jaksa Agung saat ini, Muhammad Prasetyo adalah mantan politisi Nasdem.
Artinya sangat mungkin ada pertalian kepentingan – sekalipun hal tersebut memang harus ditelusuri lebih lanjut. Dukungan serupa terhadap Smart Pakem juga dikemukakan oleh beberapa politisi PPP dan PKS yang memang masuk akal karena keduanya merupakan partai Islam.
Walaupun demikian, aplikasi ini memang perlu dikaji lagi. Jika dilihat dari isi konten yang beberapa bagian belum bisa diakses – laman fatwa dan UU misalnya – memang menunjukkan bahwa sepertinya tidak ada perencanaan yang matang dalam pembuatan aplikasi ini. Yang penting ada dulu – mungkin demikian bahasanya. Padahal, Smart Pakem berhubungan dengan hal yang sangat sensitif: agama.
Jika aplikasi ini serius digarap dan punya tujuan seperti yang diungkapkan di awal tulisan, seharusnya memang konten-kontennya telah disiapkan dan dampaknya pun sudah harus diperhitungkan dengan matang. Namun, kenyataannya seperti masih jauh dari harapan tersebut.
Banyak yang bertanya-tanya, apakah mungkin program ini hanya menjadi bagian dari “penghabisan” anggaran jelang akhir tahun? Tidak ada yang tahu pasti juga.
Yang jelas, kondisi toleransi jelang Pilpres 2019 sudah seharusnya menjadi konsen semua pihak, dan jika negara ingin membuat program yang melindungi masyarakatnya, selayaknya program yang dibuat pun harus benar-benar matang. Karena, seperti kata Bill Gates di awal tulisan, diskriminasi itu punya banyak lapisan. (S13)