Setelah sebelumnya Nasdem mendukung revisi UU Pemilu dan penyelenggaraan Pilkada 2022 dan 2023, dalam instruksi terbarunya, Surya Paloh justru meminta fraksi Nasdem di Parlemen untuk menghentikan dukungan terhadap revisi. Apakah itu menunjukkan Presiden Jokowi terlalu kuat untuk digertak?
“If you are going to bluff, make it a big one.” – Amarillo Slim, pejudi profesional asal Amerika Serikat
Pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) semakin menarik dengan suguhan orkestra politiknya. Setidaknya ada tiga orkestra yang paling menarik.
Pertama, usulan eks anggota Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang dilarang ikut pemilu. Kedua, kembali diusulkannya calon legislatif (caleg) dan calon presiden (capres) minimal berpendidikan sarjana. Ketiga, pro kontra partai politik (parpol) terkait Pilkada Serentak 2024.
Dari ketiganya, yang paling hangat saat ini mungkin adalah perdebatan terkait Pilkada Serentak 2024. Pasalnya, terdapat analisis yang menyebutkan bahwa revisi UU Pemilu yang membuat Pilkada 2022 dan 2023 tetap dilaksanakan sesuai periode lima tahunan dimaksudkan untuk menjaga momentum politik Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
Dan yang lebih menarik adalah peta sikap parpol terkait revisi UU, khususnya yang tergabung dalam koalisi pemerintah. Berbeda dengan PDIP, PKB, dan PPP yang se-iya dengan pemerintah untuk menolak revisi. Golkar dan Nasdem justru mendorong revisi agar Pilkada tidak digeser ke 2024.
Baca Juga: Nasdem Sebentar Lagi Keluar Koalisi?
Namun, baru-baru ini Golkar dan Nasdem mengubah sikap dengan mengikuti arahan pusat untuk menghentikan revisi. Terkhusus Nasdem, Surya Paloh sendiri yang turun gunung memberikan instruksi terbuka kepada fraksi partai biru di Parlemen agar menghentikan dukungan terhadap revisi UU Pemilu.
Tidak lupa pula, Ketua Umum Partai Nasdem tersebut menekankan bahwa partainya memiliki cita-cita dan tugas yang sama dengan Presiden.
Melihat pola perilaku politik Surya Paloh yang hanya menyampaikan pernyataan atau manuver politik terbuka pada momen tertentu, apa yang dapat dipahami dari instruksi terbuka tersebut? Apakah itu berkaitan dengan manuver Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebelumnya?
Perang Gertakan Politik
Jika melihat pada gelagat Nasdem sejak awal pembentukan kabinet di periode kedua ini, instruksi terbuka Surya Paloh tersebut tampaknya dapat dipahami sebagai anti-klimaks dari gertakan politik yang berulang kali dilakukan oleh Nasdem.
Kita tentu masih ingat, ketika Prabowo Subianto akan masuk ke kabinet, Nasdem menunjukkan gelagat penolakan. Tidak tanggung-tanggung, partai biru bahkan disebut melakukan gertakan politik (political bluff) dengan mendekati PKS.
Secara terbuka, Surya juga menegaskan Nasdem siap menjadi oposisi. Pernah pula ada pernyataan Surya bahwa Presiden Jokowi dapat dimakzulkan apabila mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk membatalkan revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Oktober 2019 lalu.
David Spanier dalam tulisannya Poker: Bluff Way to Play Game of Politics menyebutkan, sama seperti dalam permainan poker (kartu), gertakan dalam politik juga dimaksudkan untuk mendapatkan keuntungan atau membuat musuh mundur. Terkhusus dalam politik, strategi itu digunakan untuk melakukan negosiasi.
Namun, sama seperti dalam poker, gertakan tidak melulu berakhir dengan kemenangan. Mereka yang terlalu percaya diri menggertak, tanpa mengetahui kartu As musuhnya, justru dapat jatuh dalam kekalahan. Spanier mencontohkan hal tersebut pada kasus mantan Presiden Amerika Serikat (AS) Richard Nixon yang justru tersungkur karena skandal Watergate.
Menariknya, rekaman Watergate pada awalnya diperuntukkan sebagai senjata atau gertakan politik untuk memenangkan Nixon di Pilpres AS selanjutnya. Namun nahas, rekaman kaset yang ada justru menjadi bumerang yang membuatnya menjadi Presiden AS pertama dan mungkin satu-satunya yang mengundurkan diri dari jabatannya.
Baca Juga: Nasdem, Duri Sebenarnya Koalisi Jokowi?
Pada kasus Nasdem, gertakan politiknya, seperti “ancaman” pemakzulan sepertinya dapat dikatakan berhasil, menimbang pada Perppu memang tidak dikeluarkan. Namun, pada gertakan mendekati PKS, ataupun ujaran dapat menjadi oposisi, sepertinya gagal karena kursi menteri Nasdem tidak bertambah sampai saat ini.
Terlebih lagi, posisi Jaksa Agung yang disebut menjadi kekuatan politik Nasdem di periode sebelumnya justru tergantikan oleh S.T. Burhanuddin yang merupakan adik politikus PDIP, T.B. Hasanuddin.
Nah menariknya, kali ini tampaknya giliran Presiden Jokowi yang melakukan gertakan politik. Pasalnya, merespons polemik di Parlemen terkait revisi UU Pemilu, pada 28 Januari kemarin, Presiden Jokowi memanggil eks Juru Bicara Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf yang dihadiri oleh PDIP, PPP, Golkar, Nasdem, PKB, dan Hanura.
Sehari setelah pertemuan, Golkar langsung mengubah sikap dengan menyatakan revisi UU Pemilu belum perlu dilakukan dan Pilkada sebaiknya dilaksanakan pada 2024.
Lalu terkait Nasdem, uniknya pada 3 Februari kemarin, Ketua Relawan Jokowi Mania (Joman) Immanuel Ebenezer mengeluarkan pernyataan bahwa akan ada reshuffle jilid II yang diduga akan menyasar Menteri Pertahan (Mentan) Syahrul Yasin Limpo, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Menteri LHK) Siti Nurbaya Bakar, dan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny Gerard Plate.
Lantas, mungkinkah pernyataan Surya baru-baru ini karena khawatir Nasdem akan kehilangan posisi Mentan dan Menkominfo? Entahlah, sulit memastikannya. Namun, yang jelas, momentum instruksinya berdekatan dengan isu reshuffle tersebut.
Sekarang pertanyaannya, katakanlah Presiden Jokowi telah melakukan gertakan politik sehingga Surya Paloh sampai secara terbuka memberikan instruksi, mengapa gertakan itu baru dilakukan sekarang? Bukankah telah lama Nasdem memainkan strategi gertakan politik?
Kalah atau Mundur Sejenak?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, temuan peneliti senior di Council on Foreign Relations (CFR), Joshua Kurlantzick dalam tulisannya Addressing the Effect of COVID-19 on Democracy in South and Southeast Asia mungkin dapat menjadi jawaban.
Menurut Kurlantzick, pandemi Covid-19 telah memberikan momentum bagi banyak negara di Asia Tenggara dan Asia Selatan, termasuk Indonesia untuk menekan kebebasan warganya dengan beberapa cara. Ini karena situasi pandemi telah membuat adanya semacam legitimasi untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang bertendensi represif.
Dengan kata lain, saat ini Presiden Jokowi tampaknya tengah mendapatkan momentum power atau pengaruh yang mungkin tidak didapatkannya apabila pandemi Covid-19 tidak menerjang.
Temuan Kurlantzick dapat dengan mudah kita pahami apabila mengacu pada penjelasan Philippe Nonet dan Philip Selznick dalam bukunya Law and Society in Transition: Toward Responsive Law terkait mengapa pemerintah dapat berlaku represif atau mengeluarkan hukum represif.
Menariknya, Nonet dan Selznick menyebutkan bahwa hukum atau kebijakan represif tidak semata-mata dikeluarkan atas dasar kesadaran untuk berperilaku represif. Ada dua alasan utama atas simpulan tersebut. Pertama, tertib hukum memang dapat menggunakan paksaan (coercion). Kedua, pada situasi tertentu, seperti krisis, pemerintah umumnya akan berpaling ke mekanisme represif.
Kebijakan represif boleh jadi tidak ditujukan sebagai bentuk pemerintahan otoriter, melainkan karena situasi atau kondisi yang ada menuntut dikeluarkannya kebijakan represif. Dengan kata lain, entah disengaja atau bukan, krisis akibat pandemi Covid-19 telah membuat Presiden Jokowi mendapatkan power karena memiliki legitimasi untuk mengeluarkan kebijakan represif.
Nah, momentum power ini yang tampaknya membuat Presiden Jokowi dapat melakukan gertakan politik. Seperti kutipan pernyataan Amarillo Slim di awal tulisan, ini tampaknya adalah gertakan besar dari mantan Wali Kota Solo tersebut terhadap Nasdem.
Baca Juga: Jokowi Sedang Buyback Saham Politik?
Akan tetapi, perlu dipertanyakan juga, apakah Nasdem memang telah kalah dalam permainan gertakan politik ini, atau hanya mundur sejenak. Seperti yang dikatakan oleh Presiden Soekarno, “Seperti rotan, saya hanya melengkung, tidak patah.”
Kita lihat saja, apakah ini adalah langkah Nasdem untuk menyusun strategi yang lebih baik ke depannya. (R53)