Site icon PinterPolitik.com

Sisi Kelam Bantuan Australia ke Indonesia?

Bom Bali dan Hubungan Indonesia-Australia

Presiden Joko Widodo (Jokowi) ketika menyambut kunjungan Perdana Menteri (PM) Australia Scott Morrison pada tahun 2018 silam. (Foto: The Australian)

Dengarkan artikel berikut

https://www.pinterpolitik.com/wp-content/uploads/2024/09/di-era-yang.mp3

Australia merupakan salah satu pendonor finansial terbesar secara bilateral bagi Indonesia, namun, skema yang dilakukan Australia kerap dikritik. Mengapa demikian? 


PinterPolitik.com 

Di dunia zaman sekarang, umumnya terdapat dua klasifikasi besar negara berdasarkan kesejahteraan materialnya, yakni negara maju dan negara berkembang. Indonesia, dalam perjalanan menata perekonomiannya saat ini, dianggap sebagai negara berkembang, karena masih memiliki sejumlah tantangan pemerataan kesejahteraan. 

Namun, di era yang semakin terbuka dan semakin egaliter ini negara-negara berkembang seperti Indonesia tidak diabaikan begitu saja oleh negara-negara yang memiliki kemajuan ekonomi. Setiap tahunnya, negara-negara maju seperti Jepang, Amerika Serikat (AS), dan negara-negara Eropa, memberikan bantuan finansial senilai triliunan rupiah kepada negara-negara yang membutuhkannya. Bantuan tersebut dikenal sebagai Official Development Assistance (ODA). 

Bantuan ini bertujuan untuk mempromosikan pembangunan ekonomi dan kesejahteraan sosial di negara penerima. Biasanya, ODA disalurkan dalam bentuk hibah atau pinjaman lunak yang digunakan untuk mendanai proyek-proyek infrastruktur, kesehatan, pendidikan, hingga reformasi kebijakan publik. 

Indonesia, sebagai salah satu negara penerima ODA terbesar, telah menerima bantuan signifikan dari berbagai negara. Jepang, utamanya, merupakan donor terbesar bagi Indonesia, dengan fokus pada pembangunan infrastruktur, pendidikan, serta penanganan bencana. Negara Matahari Terbit ini disebut telah berikan bantuan bertotal Rp668 triliun, dari era Soeharto, hingga tahun 2016. 

Setelah Jepang, Australia juga disebut jadi salah satu pendonor terbesar Indonesia, dengan pemberian dana sebesar Rp4,5 triliun tiap tahunnya. Namun, meski demikian, bantuan dana dari Australia beberapa kali dapat kritikan karena dinilai lebih menguntungkan negaranya daripada negara yang dibantunya, yaitu Indonesia. 

Menarik kemudian untuk kita bahas lebih dalam, mungkinkah ada sisi kelam di balik bantuan-bantuan yang diberikan Australia kepada Indonesia? 

Skema Donor Australia Bermasalah? 

Ketika sebuah negara donor memberikan bantuan ODA kepada negara penerima, umumnya bantuan tersebut disalurkan melalui skema government-to-government (pemerintah-ke-pemerintah), atau kepada sejumlah organisasi non-profit seperti World Wildlife Fund (WFF), atau Greenpeace, namun, bantuan yang diberikan Australia disebut dilakukan melalui skema yang berbeda, yakni menggunakan perusahaan sebagai medianya. 

Don K. Marut, dalam tulisannya berjudul What do Indonesia and Australia expect and get from aid?, di laman The Conversation, menyebutkan bahwa Israel kerap mengirimkan bantuan pinjaman dari Australia kerap digunakan untuk membiayai proyek-proyek swasta Australia di Indonesia, dengan menggandeng perusahaan asal Indonesia itu sendiri. Don menilai, bisa dibilang, pinjaman tersebut pada intinya digunakan untuk proyek bisnis Australia di Indonesia. 

Dalam catatan sejarah, terdapat beberapa kasus yang tampaknya memang cukup mendukung pandangan dari Don. Pertama, adalah proyek tambang di Sidoarjo, Jawa Timur. Perusahaan asal Australia bernama Santos disebut menggandeng Lapindo Brants untuk menggarap potensi minyak di Sidoarjo, dengan misi besar “kembangkan sektor pertambangan Indonesia”. Proyek ini akhirnya berujung petaka dengan insiden Lumpur Lapindo 2006. 

Kedua, dan yang paling kontroversial, adalah bantuan Australia terhadap bencana alam Tsunami Aceh 2004. Elizabeth James dalam tulisannya Clean or corrupt: tsunami aid in Aceh, mencurigai bahwa bantuan yang diberikan Australia melalui perusahaan Coffey, AURECON, and IDSS, bukan dilandaskan berdasarkan prinsip altruistik, tetapi berbasis skema bisnis.  

Tudingan tersebut dilemparkan karena perusahaan-perusahaan yang disebutkan tadi diketahui membawa komponen proyek menggunakan produk yang dibeli dari Australia. Hal ini memicu kritik bahwa sebagian dari dana bantuan akhirnya kembali ke Australia, dengan perkiraan sekitar 40% dari total bantuan kembali ke negara tersebut melalui kontrak bisnis dengan perusahaan dan produk asal Australia. 

Lebih lanjut, kembali mengutip Don K. Marut, terdapat juga bantuan-bantuan Australia lainnya yang diduga berkorelasi dengan kepentingan bisnis mereka, seperti pendirian konservasi Akatejawe-Lolobata di Halmahera, Maluku Utara di mana Australia juga memiliki proyek tambang emas melalui perusahaan Newcrest. Dan sejumlah tambang di Sulawesi. 

Jika tudingan-tudingan ini benar, maka bisa jadi terjadi selama ini bisnis unfair practice terjadi antara Indonesia dan Australia. Tapi, bagaimana hal ini bisa terjadi? 

Unfair Practice Warisan Soeharto? 

Praktik donor kontroversial yang dilakukan Australia menurut Don K. Marut, setidaknya sudah masuk sejak zaman Orde Baru, di bawah kepemimpinan Soeharto. Indonesia yang kala itu berusaha memperbaiki perekonomian dengan lebih terbuka ke peluang bisnis dari negara-negara sekutu AS, juga membuka keran masuknya kepentingan Australia melalui beberapa proyek infrastruktur. 

Jalan tol yang berada di sepanjang pantai utara (pantura) Jawa Tengah merupakan contoh dari bagaimana utang publik dimanfaatkan oleh perusahaan swasta Australia di zaman Soeharto. Meskipun keuntungan diperoleh oleh perusahaan swasta, beban pembayaran utangnya justru ditanggung oleh publik. 

Dan yess, praktik-praktik ini memang kerap kali dikritik para akademisi, terutama ketika berbicara tentang tied aid dependency (ketergantungan terhadap bantuan).  

Meskipun bantuan-bantuan ini dimaksudkan untuk tujuan kemanusiaan dan rekonstruksi, banyak yang menganggap bahwa praktik yang dilakukan termasuk dalam kategori unfair atau tidak adil karena adanya kecenderungan untuk mengikat bantuan tersebut pada kepentingan ekonomi Australia. 

Unfair practice ini menjadi salah satu bentuk dari tied aid dependency yang membuat negara penerima, dalam hal ini Indonesia, menjadi sangat tergantung pada negara donor. Ketergantungan ini bukan hanya bersifat finansial, tetapi juga dalam hal teknologi dan kapasitas pelaksanaan proyek.  

Negara penerima sering kali tidak memiliki opsi lain selain menerima syarat-syarat yang diajukan oleh negara donor, karena kekurangan alternatif sumber pendanaan. Hal ini menciptakan ketidakseimbangan kekuatan dalam hubungan bilateral, di mana negara donor memiliki kendali lebih besar terhadap proyek-proyek pembangunan di negara penerima. 

Akibatnya, pembangunan yang dihasilkan sering kali tidak maksimal dalam memberdayakan masyarakat lokal atau industri domestik. Produk yang digunakan dalam proyek lebih banyak diimpor dari negara donor, sementara peluang untuk meningkatkan kemampuan lokal terhambat. Ketergantungan ini juga dapat mengakibatkan negara penerima tidak mampu keluar dari siklus bantuan, karena industri dalam negeri tidak tumbuh secara optimal. 

Dalam konteks Indonesia, penting bagi pemerintah untuk secara kritis meninjau skema bantuan yang diterima dan mencari cara untuk mengurangi ketergantungan pada donor luar negeri, termasuk dengan memperkuat kapasitas domestik dalam mengelola proyek pembangunan secara mandiri. (D74) 

Exit mobile version