Publik dan warganet Indonesia dibuat heboh oleh kabar pernikahan aktris transgender asal Thailand, Treechada Petcharat alias Nong Poy, dengan Oak Phakwa Hongyok. Namun, di balik kehebohan ini, ada sisi gelap di kalangan komunitas transgender.
“Transgender yang bikin media se-Asia kompak bicara tentangnya, Treechada Petcharat (Nong Poy). Wajah sampai gerak-geriknya sempurna seperti layaknya perempuan pada umumnya. Mungkin krn itu juga salah satu anak konglomerat Thailand melamarnya.” – @zoelfick
Tanggal 1 Maret 2023 bisa dibilang menjadi hari paling bahagia bagi pasangan populer di Thailand, yakni Treechada Petcharat dan Oak Phakwa Hongyok. Sepasang suami dan istri ini akhirnya resmi menikah setelah Treechada yang juga dikenal sebagai Nong Poy itu mengumumkan pertunangan mereka pada 3 Februari 2023.
Wajarnya, kabar pernikahan seperti ini disambut dengan ucapan selamat dan doa agar pernikahan mereka bertahan selama waktu mengizinkan. Namun, fokus publik dan media justru berfokus pada Nong Poy sendiri.
Warganet di Indonesia justru lebih suka membicarakan identitas Nong Poy yang merupakan transgender. Di Twitter, misalnya, seperti cuitan di awal tulisan, orang-orang lebih suka membahas keheranan mereka pada penampilannya yang begitu cantik dengan label-label seperti “bukan cewek tulen”.
Tidak hanya soal penampilannya, sejumlah warganet bahkan membahas mengenai seksualitas dari Nong Poy dan sang suami. Sejumlah pengguna Twitter ikut angkat bicara mengenai neo-vagina – istilah untuk organ Nong Poy yang merupakan hasil transformasi kelamin dan gender.
Beberapa bahkan mempertanyakan apakah neo-vagina Nong Poy mampu bekerja layaknya vagina alami seorang perempuan. Bahkan, sejumlah pihak ikut membanding-bandingkan Nong Poy dengan figur-figur transpuan lainnya – seperti Lucinta Luna.
Beberapa bertanya-tanya mengapa Lucinta tidak bisa menjadi layaknya Nong Poy yang begitu cantik. Ada juga yang bahkan menyebutkan bahwa transformasi gender Nong Poy telah sukses dan berhasil.
Terlepas dari bagaimana persepsi soal Nong Poy di publik atau kondisi medis organ yang dimilikinya, publik seakan-akan melakukan penilaian mengenai “lulus atau tidaknya” Nong Poy atas transformasi gender yang dilakukannya.
Ironinya, sejumlah individu sampai bertanya-tanya dan mencari-cari alasan sebenarnya mengapa akhirnya konglomerat “crazy rich Thai” Oak bersedia menikahi Nong Poy. Tentu, Oak jelas memiliki alasannya sendiri.
Namun, mengapa publik sampai begitu bertanya-tanya, mengevaluasi, bahkan berasumsi soal individu yang bahkan tidak berada di Indonesia ini? Mengapa kebanyakan di masyarakat merasa begitu berhak untuk melakukan hal-hal itu pada Nong Poy?
Semua-semua Heteronormatif?
Penilaian masyarakat terhadap sosok Nong Poy ini sebenarnya berangkat pada norma yang diyakini. Berbasis pada norma gender, masyarakat melakukan atribusi gender kepada individu yang tidak mereka kenal – layaknya Nong Poy dan Lucinta Luna.
Untuk mencari jawaban dan alasan mengapa publik begitu getol menilai Nong Poy, kita perlu memahami bagaimana cara kerja masyarakat. Di dalam bermasyarakat, ada konsep atau istilah yang disebut sebagai “norma”.
Norma inilah yang akhirnya menjadi acuan bagi setiap individu di masyarakat bersikap dan menilai individu lain. Sederhananya, norma ini semacam nilai yang diyakini soal apa dan bagaimana yang benar, serta apa dan bagaimana yang salah.
Ini sejalan dengan penjelasan Jack P. Gibbs dalam tulisannya yang berjudul Norms: The Problem of Definition and Classification. Gibbs setidaknya menjelaskan norma menjadi tiga dimensi.
Dimensi pertama adalah evaluasi kolektif atas perilaku dalam hal apa yang seharusnya. Misalnya, menjadi wajar apabila kita melihat seorang pengemudi berhenti saat melihat lampu lalu lintas menyala merah.
Kemudian, dimensi kedua adalah ekspektasi kolektif atas perilaku di masa depan. Dalam hal ini, ketika lampu sudah menyala hijau, pengemudi tersebut diekspektasikan untuk melaju kembali.
Terakhir, dimensi ketiga adalah reaksi khusus terhadap perilaku. Nah, ketika pengemudi malah tetap berhenti saat lampu sudah menyala hijau, dia akan mengganggu pengemudi lainnya dan telah melanggar peraturan lalu lintas – sehingga reaksi seperti sanksi tilang atau omelan pengemudi lain pun timbul.
Nah, bayangkan kalau rangkaian norma ini bukan membahas hanya soal lalu lintas, melainkan juga soal identitas gender. Norma ini jadinya malah mengatur soal identitas setiap individu – entah individu itu laki-laki, perempuan, atau lainnya.
Norma gender pun menjadi semakin eksklusif ketika nilai-nilai tertentu menjadi acuan dominan. Inilah yang disebut sebagai heteronormativitas oleh Janice Mary Habarth dalam disertasinya yang berjudul Thinking ‘Straight’: Heteronormativity and Associated Outcomes Across Sexual Orientation.
Sederhananya, heteronormativitas adalah norma yang disesuaikan dengan pemahaman gender dalam koridor heteroseksualitas – kerap menyasar kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT). Artinya, ada ekspektasi dan evaluasi tertentu yang didasarkan pada identitas gender laki-laki dan perempuan.
Saat Lucinta Luna berbicara menggunakan suaranya yang berat, misalnya, ada evaluasi di masyarakat bahwa Lucinta Luna bukanlah seorang perempuan sebenarnya karena suara perempuan dianggap seharusnya bernada ringan.
Evaluasi semacam inilah yang akhirnya mendasari mengapa transpuan layaknya Nong Poy dianggap sebagai “laki-laki yang berubah jadi perempuan layaknya perempuan asli” – apalagi banyak orang menilai dirinya begitu anggun dan cantik.
Lantas, dengan evaluasi heteronormatif seperti ini, apakah lantas kita bisa mengatakan bahwa Nong Poy telah “lulus” untuk menjadi perempuan? Mengapa penilaian ini sebenarnya bisa menjadi problematis?
Nong Poy “Lulus” Jadi Perempuan?
Layaknya ujian pada umumnya, bisa jadi ada juga “kelulusan” yang disematkan pada “ujian” identitas gender. Dalam kasus Nong Poy, misalnya, banyak individu berkomentar mengenai kecantikannya yang menjadi alasan Oak untuk menikahinya.
Inilah isu sensitif yang kerap muncul di kelompok transgender. Thomas J. Billard dalam tulisannya yang berjudul “Passing”and the Politics of Decption sebagai “passing” atau “lulus” – seakan-akan ada kriteria ketuntasan minimal (KKM) yang harus dilalui. Jika “KKM” itu tidak tercapai, maka muncul persepsi bahwa individu transgender itu belum berhasil sepenuhnya bertransformasi.
Di kalangan transgender, seorang transgender bisa dianggap “lulus” bila individu tersebut “terlihat” sepenuhnya layaknya mereka yang telah memiliki jenis kelamin sesuai saat lahir.
Lantas, apa “KKM” yang mereka harus penuhi untuk dinyatakan “lulus”? Jawabannya adalah ciri fisik dan penampilan yang mereka miliki – tentu harus sejalan dengan heteronormativitas.
Tentu, bagi sejumlah transpuan yang memiliki sumber untuk menjangkau “kelulusan”, upaya untuk mendapatkan ciri fisik dan penampilan tertentu masih memungkinkan. Nong Poy, misalnya, sebagai selebriti yang cantik, boleh jadi telah dianggap sebagai transgender yang telah “lulus” oleh sebagian besar orang.
Namun, persoalan menjadi rumit apabila seorang transgender tersebut tidak memiliki akses dan sumber yang memadai untuk mendukung transformasinya. Terdapat banyak faktor yang membuat transformasi gender mereka menjadi lebih sulit – mulai dari status sosio-ekonomi, dukungan lingkungan, hingga kemajuan dunia medis di negara masing-masing.
Individu-individu di Indonesia yang sedang dalam proses bertransformasi soal identitas gendernya, misalnya, masih banyak tidak memiliki akses ke kebutuhan-kebutuhan dasar. Banyak dari mereka masih kesulitan – bahkan hanya untuk – mencari makan.
Belum lagi, pengucilan masih dilakukan oleh pemerintah Indonesia terhadap kelompok transgender ini. Untuk kartu identitas – seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP), misalnya, masih mensyaratkan para transgender untuk menggunakan identitas gender mereka saat lahir meskipun pemerintah akhirnya sudah berusaha menjemput bola ke individu-individu transgender saat pandemi Covid-19 menerjang.
Ini membuat akses mereka untuk mendapatkan hak identitas menjadi sulit. Padahal, dokumen kependudukan seperti KTP penting untuk digunakan agar mereka bisa mendapatkan manfaat kebijakan-kebijakan sosial dari pemerintah.
Meledaknya sosok Nong Poy di media massa dan media sosial (medsos) di negeri ini sebenarnya menimbulkan ironi tersendiri bagi komunitas transgender Indonesia. Tidak semua transgender memiliki privilese “passing” layaknya Nong Poy.
Di saat publik Indonesia dihebohkan dengan kecantikan Nong Poy, kita masih tidak sadar akan teman-teman kita sendiri yang tidak memiliki akses untuk bisa “lulus” sepenuhnya untuk memiliki identitas gender yang mereka inginkan – bahkan untuk hanya sekadar hidup. (A43)