Laju Moreno di lintasan sirkuit boleh saja mulus, tapi bagaimana dengan kerikil tajam di Jawa Timur?
PinterPolitik.com
[dropcap]M[/dropcap]endekati 2018, mesin-mesin politik mulai dipanaskan. Tak terkecuali Partai Gerindra yang tahun ini berhasil menduduki DKI Jakarta dengan rentetan intrik dan polarisasinya. Namun dalam menghadapi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Jawa Timur (Jatim) yang dikenal sebagai “tanah para santri”, Gerindra menyatakan akan mengusung Moreno Soeprapto untuk berlaga melawan Khofifah dan Gus Ipul mendapatkan kursi Jatim satu.
Moreno Soeprapto jelas bukanlah nama yang asing bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Ia adalah pembalap nasional berprestasi yang pernah berpacaran dengan artis-artis terkenal papan atas, seperti Dian Sastro, Julie Estelle, hingga mantan putri Indonesia, Nadine Chandrawinata. Wajah dan kehidupan pribadinya pernah hilir mudik muncul di pemberitaan infotainment. Tapi soal kiprah politiknya, siapa yang tahu?
Setelah tak lagi aktif balapan di sirkuit, Moreno banting setir ke kancah politik. Ia menjadi kader Partai Gerindra di tahun 2014, dan mencoba peruntungan menyalonkan diri sebagai anggota legislatif asal Malang. Mujur dirasakan Moreno, sebab ia menang telak dengan mengantongi perolehan suara sebanyak 38.491 suara di Kabupaten Malang, 9.713 suara di Kota Malang, dan 2.848 suara.
Dengan modal itu, Moreno terbang ke Senayan dan menduduki Komisi X yang membidangi Pendidikan, Kebudayaan, Pariwisata, Ekonomi Kreatif, Pemuda dan Olahraga, serta Perpustakaan. Kemujurannya memang sudah terlihat jelas saat awal bergabung, Gerindra sudah mempercayakan posisi sebagai Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Kota Malang kepadanya.
Namun, apakah langkah yang masih sangat ‘bayi’ (baru berusia tiga tahun) di dunia politik ini, mampu mengantarkan Gerindra menggenggam Jawa Timur? Modal apa yang dimiliki Moreno untuk bisa mengalahkan Khofifah Indar Parawansa dan Syaifullah Yusuf (Gus Ipul) yang sudah lebih senior dan memiliki basis massa yang loyal?
Keluarga Moreno di Tanah Santri
Keluarga Moreno memang dikenal sebagai pembalap nasional. Baik ayahnya, Tinton Soeprapto, hingga Ananda Mikola kakaknya, berprofesi sebagai pembalap nasional. Moreno sendiri sudah banyak mencetak prestasi di bidang balap mobil, baik nasional maupun internasional. Mulai dari menjuarai Formula BMW Asia tahun 2004, hingga National Formula Championship tahun 2000.
Prestasinya di bidang sosial maupun politik memang belum banyak tercetak, mengingat ia belum lama terjun di dalamnya. Namun, sebelum menduduki Komisi X, Moreno ternyata juga pernah mewakili Gerindra duduk di Komisi III yang membawahi hukum.
Lelaki berusia 35 tahun ini juga pernah menjadi salah satu utusan Gerindra untuk mengawal kerja Hak Angket KPK, bersama dengan Desmond Junaidi Mahesa, Muhammad Syafii, dan Supratman Andi Atgas. Sekedar mengingatkan saja, Gerindra tidak menyetujui adanya hak angket KPK.
Kepercayaan Gerindra terhadapnya memang kuat berakar dari perolehan suara Moreno yang mencapai lebih dari 50.000 di Malang. Bagaimana tidak, kakek buyut dari pihak ayahnya adalah bupati Malang ketiga bernama Raden Tumenggung Ario Notodiningrat yang sempat memerintah sepuluh tahun lamanya (1884 – 1894). Selain peninggalan darah bangsawan tersebut, Moreno sangat populer di layar kaca.
Terjun di dunia politik juga membuatnya menambatkan pilihan hati kepada Noorani Sukardi, anak mantan menteri BUMN pada periode Gotong Royong, Ir. Laksamana Sukardi. Ia menikah pada Agustus 2017 lalu.
Namun sayang sekali, relasi dan prestasi ini masih belum menjadi modal mumpuni untuk berjaya di Jawa Timur. Tanah yang dipenuhi pemilih nasionalis – religius ini, lekat dengan Nahdatul Ulama (NU). Bukan hal mengejutkan pula jikalau Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menempati kursi terbanyak di DPRD Jatim, yakni sebanyak 20 kursi.
Gus Ipul, (calon) lawan Moreno yang berasal dari PKB, tak harus bersimbah keringat lebih banyak untuk mencari koalisi, layaknya Gerindra yang hanya memiliki 13 kursi. Jika PDI Perjuangan bergabung dengan PKB, maka perolehan kursi PKB bisa mencapai 39 kursi, sebab PDI Perjuangan sudah memiliki 19 kursi.
Khofifah juga tak main-main. Sudah ada lima partai yang mendukungnya, yaitu Golkar dengan 11 kursi, PPP 5 kursi, Hanura 2 kursi, Nasdem 4 kursi, dan Demokrat sebanyak 13 kursi. Posisi Khofifah sudah aman secara perolehan kursi.
Jika membahas Khofifah, maka wajib pula membahas pendampingnya, yakni Emil Dardak. Mengapa? Sebab Moreno dianggap sebagai penyeimbang keberadaan Dardak yang muda, segar, berwawasan luas, dan ‘milenial’. Apakah Moreno memang sengaja dikeluarkan oleh Gerindra untuk menandingi Dardak?
Senjata Ungguli Dardak?
Kemunculan Dardak beberapa waktu lalu sempat heboh. Bagaimana tidak? Ia memilih membelot dari partai asalnya, PDI Perjuangan, untuk menjadi pendamping Khofifah di Pilgub Jatim 2018. Atas keputusan itu, Dardak sempat ditekan untuk mundur dari keanggotaan PDI Perjuangan. Apa daya, segala pemberitaan tersebut malah membuat nama Dardak dielu-elukan dan populer.
Menyalip popularitas Dardak sungguh bukan perkara mudah. Selain latar belakang yang kuat dari keluarganya, sepak terjang Dardak memimpin Trenggalek sudah sahih menjadi alat ukur pengalaman berpolitiknya. Walau berusia lebih muda tiga tahun dari Moreno, pengalaman Dardak lebih ‘kaya’ di bidang politik dbandingkan Moreno. Ini pun belum ditambah bagaimana karir akademis dan riwayat intelektual Dardak.
Memang tak adil jika membahas latar belakang prestasi dari dua orang berbeda profesi. Namun, dari sanalah Gerindra bisa melihat kekuatan lawan politiknya. Menghadapi Jatim di tahun 2018, Gerindra tak hanya harus memanaskan mesin, tapi juga mempersiapkan bensin khusus nan mumpuni.
Harus bagaimana lagi, posisi Gerindra memang kurang apik di Jatim jika dibandingkan dengan DKI Jakarta. Bila di Jakarta, Gerindra berhasil menempatkan kader dan tokoh yang diusungnya memimpin Jakarta, hal yang sama belum tentu bisa bekerja di Jatim.
La Nyalla Mataliti yang awalnya dijagokan Gerindra bertanding di Jatim pun, harus menyerah sebab tak mampu mengumpulkan mitra koalisi minimal 7 kursi untuk menghadapi Pilgub Jatim.
Bagaimana pun Gerinda memang tak akan bisa maju sendirian. Jika menggandeng PKS, maka suaranya akan bertambah menjadi 19. Angka yang sangat nanggung ini, bisa pula ditutupi oleh PAN jika turut digandeng. Dengan demikian, Gerindra memiliki 26 kursi. Lantas, pertanyaan selanjutnya, apakah partai-partai tersebut mau mendampingi Moreno?
Walau Prabowo Subianto selaku Ketua Umum (Ketum) Gerindra mengatakan kalau pencalonan Moreno belum final, serta merupakan keinginan dari para tokoh muda Gerindra. Ia juga menambahkan jikalau Moreno sebetulnya belum menyetujui pencalonannya. Namun, Ia merestui pencalonan Moreno.
Keputusan Gerindra yang mengusung nama-nama kurang populer, memang seperti hal yang biasa. “Dulu (Pilkada DKI Jakarta) Anies Baswedan dan Sandiaga Uno banyak yang menertawakan. Ditertawakan tidak bakal menang. Tapi akhirnya rakyat yang membuktikan,” ucap Prabowo.
Idealisme yang dimiliki Gerindra sebetulnya patut dipertahankan untuk alasan demokrasi. Pekerjaan rumah yang harus diselesaikan Gerindra adalah merapatkan barisan partai untuk menggoyang basis tradisional, supaya Jatim bisa dikuasai.
Apakah sirkuit Moreno tersedia di Jatim? Atau apakah ia harus mengalah menghadapi lawan-lawannya di Pilgub Jatim 2018? Kita nantikan bersama jawabannya. (Berbagai Sumber/A27)