HomeNalar PolitikSintesis Global Gerakan Politik Milenial

Sintesis Global Gerakan Politik Milenial

Gerakan politik pemuda pada masa kolonialisme sangat dipengaruhi oleh kebijakan Politik Etis (Sutarga, 1987:177).


PinterPolitik.com

[dropcap]P[/dropcap]otret politik suatu bangsa merupakan fenomena yang perlu dimaknai sebagai salah satu upaya dalam mengantarkan masyarakat menuju kesejahteraan.

Tentu dalam prosesnya,dibutuhkan tangan – tangan pihak yang aktif mengambil peran sebagai katalisator – bahkan aktor yang mampu melakukan aksi nyata.

Terlebih karena peluang besar ini terletak pada generasi muda yang terkategorisasi sebagai generasi millennials. Generasi penerus inilah yang harus turut menyingsingkan lengan dan turun tangan dalam persoalan politik. Bahkan sejarah mencatat, banyak peristiwa penting di negeri ini yang diinisiasi oleh para generasi muda, salah satunya reformasi.

Namun, hiruk-pikuk pengharapan ini juga memunculkan dwimuka. Diantaranya spekulasi bahwa generasi milenial cenderung apolitis bahkan alergi dengan politik. Atau sebaliknya, milenial dianggap lebih melek politik dan berkeinginan untuk terjun langsung menjadi aktor politik.

Dwimuka ini yang akan menentukan jalan perjuangan gerakan generasi milenial dalam ranah politik.

Apabila berkaca pada kesuksesan di Perancis dan Austria, kaum muda dapat diandalkan serta berupaya mendominasi dalam merebut kekuasaan politik. Fenomena ini ditandai dengan terpilihnya Emmanuel Macron sebagai Presiden Prancis dan Sebastian Kurz sebagai Kanselir Austria yang masih berusia relatif muda dan tergolong sebagai generasi milenial.

Namun, bagaimana dengan potret generasi milenial yang cenderung acuh tak acuh bahkan apolitis terhadap praktik politik dewasa ini?

Milenial Luar dan Indonesia Sama?

Milenial merupakan generasi yang disebut sebagai “Digital Native”, generasi yang lahir dan tumbuh seiring laju perkembangan teknologi.

Dapat dikatakan generasi milenial sama dengan generasi Y yang merupakan kelompok demografis (cohort) setelah generasi X karena lahir antara tahun 1980-an sampai 2000-an.

Selain berada dikisaran usia antara 15 hingga 34 tahun, milenial juga memiliki kesadaran terhadap teknologi dan memiliki pemikiran yang luas dan terbuka.

Selain itu, milenial dimaknai sebagai fenomena global yang juga menyebar bukan hanya di Indonesia, tapi juga pada semua generasi di negara-negara lainnya.

Dalam tinjauan historis, nomenklatur generasi milenial awalnya digagas oleh dua pakar sejarah dan penulis asal Amerika, yaitu William Strauss dan Neil Howe. Keduanya menuangkan konsep generasi milenial ini dalam beberapa bukunya.

Bahkan studi tentang generasi millenial di dunia, terutama di Amerika, sudah banyak dilakukan. Diantaranya studi yang dilakukan oleh Boston Consulting Group (BCG) bersama University of Berkley tahun 2011 yang mengambil tema American Millennials: Deciphering the Enigma Generation. Tahun sebelumnya, 2010, Pew Research Center juga merilis laporan riset dengan judul Millennials: A Portrait of Generation Next.

Sedangkan di Indonesia, studi dan kajian tentang generasi milenial belum banyak dilakukan. Padahal berdasarkan jumlah, populasi penduduk Indonesia menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah kaum milenial di Indonesia pada 2017 diperkirakan mencapai 85 juta jiwa atau 32,6 persen dari total penduduk yang sebanyak 261,89 juta jiwa.

Baca juga :  Ridwan Kamil “Ditelantarkan” KIM Plus? 

Melihat potensi kaum mudanya Indonesia bahkan diproyeksikan akan menjadi negara dengan ekonomi terbesar ke-9 dunia pada tahun 2050,berada di bawah Tiongkok, AS, India, Jepang, Jerman, Rusia, Brazil, dan Prancis.

Bonus demografi dan fenomena global generasi milenial ini, merupakan peluang besar bagi Indonesia. Terlebih jumlah generasi muda usia produktifnya akan semakin besar, sehingga diyakini dapat memuluskan proyeksi tersebut.

Namun, kaum milenial di luar negeri dan di Indonesia ternyata memiliki karakteristik berbeda. Salah satunya, milenial di negara lain lebih memprioritaskan pencapaian individu, seperti pengakuan dan prestasi.

Selain itu, Indonesia sebagai negara berkembang memiliki nilai lebih dari tingginya  optimisme terhadap kondisi sosial dan ekonomi. Sedangkan, negara maju malah cenderung lebih rendah tingkat optimismenya.

Menurut survei yang dirilis Deloitte dengan tajuk “The 2017 Deloitte Millenial Survey” menyatakan bahwa optimisme dan kepuasan generasi milenial di negara berkembang terhadap kemajuan ekonomi dan sosial mengalami kemajuan dibandingkan milenial di negara maju seperti Amerika Serikat.

Sehingga, bila dikomparasikan dengan data diatas, ternyata sejalan dengan apa yang dirasakan generasi milenial Indonesia, yaitu 73 persen responden milenial Indonesia memiliki opini positif dan siap untuk berdampingan dengan generasi Z, yaitu generasi yang kini berusia 18 tahun ke bawah.

Milenial di negara berkembang memiliki tingkat kepuasan yang berbanding lurus dengan rasa optimisnya kepada generasi Z. Peningkatan ini mencapai 57 persen di tahun 2017.

Persentase yang lebih rendah terlihat pada kepuasan generasi milenial di negara maju yang justru turun menjadi 34 persen di tahun 2017.

Dari kedua milenial negara berkembang dan maju ini ternyata masih memiliki kesamaan, yaitu tingkat kepuasan kondisi sosial dan politik di negaranya. Kesamaannya terletak pada masa depan politik dunia akan semakin suram.

Dari berbagai potret praktik politik di Indonesia, mengapa banyak milenial negara maju juga pesimis dengan masa depan politik di negaranya?

Generasi milenial di negara maju khususnya di Eropa khawatir dengan kebangkitan radikalisme. Karena ditandai dengan beberapa fenomena yang menyita perhatian mereka.

Diantaranya ialah terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden AS yang menelurkan gonjang-ganjing sampai ke negara lain, hengkangnya Inggris dari lingkaran Uni Eropa, referendum di Italia dan meningkatnya aksi teror disejumlah negara seperti Prancis dan Jerman.

Baca juga :  The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Sintesis Gerakan Politik Milenial

Generasi milenial sesungguhnya akan tumbuh menjadi kelas menengah yang cenderung apolitis. Mereka mendambakan stabilitas politik agar bisa menjalankan bisnis dan pekerjaan dengan nyaman. Karena dominasi kaum milenial saat ini mulai memasuki angkatan kerja.

Dalam konteks ketertarikan kaum milenial terhadap politik, ditemukan titik yang memilukan. Karena dalam beberapa survei, kaum milenial enggan melakukan diskursus tentang persoalan politik dan memilih jalur perjuangan lain.

Survei dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) menyatakan bahwa ketertarikan kaum milenial terhadap politik hanya 2,3 persen. Hal senadapun dikatakan aplikasi Yogrt dalam surveinya yang menyatakan bahwa ketertarikan kaum milenial terhadap politik hanya 9 persen. Artinya bahwa tingkat ketertarikan milenial terhadap politik masih rendah.

Sementara itu, survei Deloitte menyatakan bahwa ada perbedaan generasi milenial di negara maju yang memiliki kepedulian politik sebesar 56 persen, sedangkan di negara berkembang terpaut dibawahnya sebesar 42 persen. Generasi milenial negara maju hanya unggul dalam variabel kepedulian terhadap politik saja.

Artinya, tingkat kepedulian terhadap politik di negara berkembang – salah satunya Indonesia – lebih rendah dibandingkan negara maju.

Namun, tak menutup kemungkinan generasi milenial di negara berkembang tetap memiliki ketertarikan terhadap ranah politik, tapi skalanya masih rendah dibandingkan di negara maju.

Bagi generasi milenial negara berkembang lebih tertarik dengan isu jaminan kesehatan, kelaparan, kesenjangan pendapatan dan pengangguran dibandingkan politik dibandingkan dengan milenial negara maju.

Demikian juga dengan isu pengangguran, ketertarikan milenial negara berkembang sebesar 39 persen dibandingkan dengan milenial negara maju hanya berkisar 31 persen.

Pandangan kaum milenial dalam gerakan politik di Indonesia terekam dalam berbagai potret yang menuai keberhasilan. Ataupun baru pada tataran upaya untuk menginisiasi, menggerakan dan merealisasikan segala bentuk pandangan atau sikap politik yang senada dengan nafas perjuangan kaum milenial. Oleh karena itu, gerakan kaum milenial patut diperhitungkan sebagai salah satu kekuatan politik.

Generasi milenial diunggulkan dengan kemampuan literasi yang dapat dijadikan sumbangan konstruktif bagi kemajuan bangsa. Hadirnya milenial juga terpotret sebagai sosok dengan pemikiran terbuka dan sadar teknologi. Modal dasar ini yang dapat mewujudkan bonus demografi yang berkualitas.

Selain menjadi mitra kritis penguasa, tentunya milenial perlu ambil bagian dalam praktik politik dan kerja kemanusiaan secara nyata sehingga milenial dapat menjadi jawaban atas persoalan kebangsaan.  (Z19)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Wali Kota Depok ‘Biduan Lampu Merah’

"Kualitas humor tertinggi itu kalau mampu mengejek diri sendiri. Cocok juga ditonton politisi. Belajar becermin untuk melihat diri sendiri yang asli, " - Butet...

DPR Terpilih ‘Puasa Bicara’

“Uang tidak pernah bisa bicara; tapi uang bisa bersumpah,” – Bob Dylan PinterPolitik.com Wakil rakyat, pemegang amanah rakyat, ehmmm, identitas yang disematkan begitu mulia karena menjadi...

Ridwan Kamil Jiplak Jurus Jokowi

“Untuk melakukan hal yang buruk, Anda harus menjadi politisi yang baik,” – Karl Kraus PinterPolitik.com Pemindahan Ibukota masih tergolong diskursus yang mentah karena masih banyak faktor...