Terpilihnya kembali Xi Jinping untuk ketiga kalinya sebagai Presiden Tiongkok agaknya menimbulkan efek kepada sosok RI-1 di 2024 mendatang. Nama Sandiaga Uno sekilas menjadi sosok yang lebih ideal bagi partner ekonomi-politik Jinping ketimbang Prabowo Subianto. Mengapa demikian?
Kabar hangat datang dari Tiongkok saat Xi Jinping akan ditasbihkan sebagai Presiden Tiongkok dalam periode ketiganya pada Kongres Partai Komunis Tiongkok (PKT) ke-20, 16 Oktober mendatang.
Media pemerintah setempat mengatakan dengan penasbihan tersebut, Xi Jinping akan menjadi pemimpin paling kuat Tiongkok dalam beberapa dekade terakhir.
Alfred Wu Muluan, Pakar Politik Tiongkok dan Profesor di National University of Singapore, mengatakan kemungkinan besar Xi Jinping akan dilantik dengan gelar kehormatan “Great Leader“.
Itu adalah istilah yang terakhir digunakan untuk menggambarkan keagungan pemimpin karismatik Tiongkok Mao Zedong.
Beberapa tahun terakhir, organ propaganda partai, termasuk surat kabar resmi pemerintah Tiongkok People’s Daily, juga sudah mulai menggunakan istilah “Pemimpin Rakyat” untuk merujuk pada Xi Jinping.
Bersamaan dengan itu, satu yang kemudian menarik adalah soal visi politik luar negeri Tiongkok ke depan. Menyelaraskan “partner ekonomi-politik” di negara lain, termasuk Indonesia, tampaknya cukup penting untuk dianalisis. Mengapa demikian?
Pertama, hal tersebut dikarenakan, Indonesia dipastikan akan memiliki pemimpin baru. Dari perspektif Xi Jinping dengan rengkuhan tiga periodenya, kemungkinan besar diharapkan suksesor Presiden Joko Widodo (Jokowi) kelak akan memiliki keharmonisan yang jauh lebih kompromis bagi berbagai kepentingan Tiongkok.
Jika aspek ekonomi-politik selama kepemimpinan Presiden Jokowi telah cukup harmonis, aspek pertahanan agaknya masih menjadi batu sandungan kerja sama Indonesia-Tiongkok.
Oleh karena itu, Tiongkok kiranya membutuhkan RI-1 2024 yang tidak memiliki tendensi minor kepada mereka. Dan salah satu upaya untuk mewujudkannya ialah dengan melakukan intervensi tertentu.
Damien D. Cheong, Stephanie Neubronner, dan Kumar Ramakrishna dalam publikasi berjudul Foreign Interference in Domestic Politics menegaskan lumrahnya praktik campur tangan asing dalam politik domestik suatu negara demi mengamankan kepentingan mereka.
Tiongkok sendiri tampaknya memiliki kemampuan itu mengingat mereka telah bertransformasi menjadi salah satu kekuatan global penantang Amerika Serikat (AS).
Dengan statusnya sebagai negeri adidaya, AS sendiri tercatat beberapa kali terlibat dalam pergantian rezim politik di negara lain untuk mengakomodir berbagai intensinya. Itu terpampang dalam sejumlah riwayat deklasifikasi dokumen rahasia AS, paling tidak sejak Perang Dingin.
AS juga disebutkan oleh Dana Roberson dan T.J. Raphael dalam A Brief History of U.S. Intervention in Foreign Elections, kerap mengerahkan badan intelijennya untuk mengimplementasikan taktik klandestin demi menempatkan pemimpin yang dapat menguntungkan kepentingan nasional mereka.
Sementara itu, dalam dinamika politik yang bergulir di Indonesia sejauh ini, elektabilitas mumpuni calon presiden (capres) Prabowo Subianto agaknya kurang disenangi Xi Jinping karena cenderung pro-Barat.
Menariknya, Sandiaga Uno – kompatriot separtai Prabowo di Gerindra – yang belakangan terlibat tensi internal akibat menyatakan siap menjadi capres, bukan tidak mungkin dipandang ideal oleh Tiongkok untuk menjegal laju Prabowo.
Lantas, benarkah demikian? Serta mengapa Tiongkok diasumsikan mampu mengintervensi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 mendatang?
Xi Jinping Berjaya di 2024?
Yang cukup mengejutkan, dalam Indonesia’s 2019 Elections: Beware the Foreign Puppet Wars in the Jokowi-Prabowo Race, Prashanth Parameswaran menggunakan istilah foreign puppet wars (perang boneka asing) untuk menyebutkan indikasi intervensi asing dalam Pilpres 2019 lalu.
Parameswaran menyebutkan bahwa Tiongkok, AS, dan Rusia memiliki kapabilitas untuk melakukan intervensi semacam itu.
Khusus peran Tiongkok, Pemilu Kamboja pada tahun 2018 disebutnya menjadi sampel indikasi yang cukup kuat terhadap intervensi Xi Jinping di Asia Tenggara.
Di Pilpres Indonesia pada 2024, di banding Rusia dan AS, Tiongkok tampak menjadi pihak yang lebih mungkin untuk terlibat. Hal itu dikarenakan, AS boleh jadi akan disibukkan dengan dinamika Pilpres domestik di tahun yang sama, sementara Rusia masih bekerja ekstra di konflik Ukraina.
Intervensi Tiongkok dalam pemilu pun tak hanya di level regional dengan sampel Kamboja seperti yang disebutkan Parameswaran. Bahkan, negeri Tirai Bambu diduga turut serta menentukan arah politik AS di Pilpres 1996.
Temuan itu dikemukakan peneliti senior bidang pertahanan dan kebijakan luar negeri Cato Institute, Ted Galen Carpenter.
Dalam publikasinya yang berjudul China Is Interfering in the 2020 Election, Tiongkok disebut berkontribusi mempromosikan kembali Bill Clinton sebagai presiden melalui narasi positif di media.
Sebelum Pilpres AS 1996 digelar, disebutkan bahwa para elite Partai Demokrat dan sebagian besar tokoh media arus utama tampak berperilaku “janggal” karena terus mengurangi perhatian terhadap perilaku Beijing.
Menariknya, di akhir cerita Clinton kembali duduk di Gedung Putih setelah unggul dari kubu Republik yang diwakili Bob Dole.
Pada Pilpres AS 2020, Carpenter menyebut Tiongkok kembali turun tangan. Intervensi Xi Jinping saat itu lebih dititikberatkan kepada Joe Biden karena menganggap Donald Trump sebagai sosok yang unpredictable atau tidak dapat ditebak bagi kepentingan Tiongkok.
Apa yang dikemukakan Carpenter juga dipertegas oleh pernyataan eks Direktur National Counterintelligence and Security Center (NCSC) William Evanina yang menyebut Tiongkok telah memperluas upaya pengaruhnya menjelang November 2020 untuk membentuk lingkungan kebijakan “kondusif” di AS.
Tak hanya itu, Tiongkok disebut menekan tokoh-tokoh politik yang dipandangnya bertentangan dengan kepentingan dan membelokkan kritik terhadap mereka.
Jika ditarik kesimpulan sementara, probabilitas Tiongkok untuk melakukan intervensi secara gradual demi kepentingannya di Pemilu dan Pilpres Indonesia 2024 tampak menemui relevansinya.
Termasuk, memberikan tekanan sedemikian rupa kepada para pimpinan partai politik (parpol) yang berpotensi menyokong koalisi calon presiden (capres) yang tidak pro-Beijing.
Lantas, benarkah keberanian Sandiaga Uno menyatakan siap sebagai capres 2024 mendapat sokongan Xi Jinping seperti dugaan yang dikemukakan di atas?
Sandi Pasti RI-1?
Artikel PinterPolitik sebelumnya yang berjudul “Xi Jinping Kantongi RI-1 2024?”, menyajikan interpretasi bahwa bentuk intervensi politik jelang Pilpres 2024 ialah melalui cipta kondisi perpecahan internal parpol.
Konstelasi yang mengarah terbentuknya poros politik dengan memunculkan sosok tak pro-Beijing sebagai capres, kiranya tak akan disenangi Xi Jinping.
Di titik ini, dinamika terbaru mengenai intrik panas di internal Partai Gerindra yang disebabkan oleh keberanian Sandiaga Uno yang menyatakan siap sebagai capres 2024, kiranya dapat dimanfaatkan atau bahkan justru dipantik oleh Tiongkok.
Padahal, Sandi semestinya memahami kesiapannya itu akan menimbulkan reaksi keras dari internal partainya, Gerindra, yang telah bulat mengusung Prabowo sebagai capres.
Akan tetapi, selama Prabowo menjabat sebagai Menteri Pertahanan (Menhan), angkatan bersenjata Indonesia memang tampak semakin intim dengan militer AS.
Kendatipun latar belakang pendidikan Sandiaga Uno juga kebanyakan di tempuh di negara Barat, dirinya seolah minim dengan sikap antipati dengan Tiongkok dalam berbagai aspek, termasuk pertahanan yang bukan spesialisasinya.
Jika mengacu pada strategi Tiongkok dengan mengintervensi narasi di media seperti yang disebut Carpenter, kecenderungan itulah yang membuat Sandi bisa saja akan terus dicitrakan positif untuk menghalau Prabowo.
Tanpa memiliki tanggung jawab moral lebih karena tidak berlatar belakang abdi negara/militer, membuat Sandi juga terlihat lebih fleksibel untuk bekerja sama secara lebih komprehensif dengan Tiongkok.
Dalam konteks menyingkirkan Prabowo, modal logistik politik Sandi juga menjadi faktor lain yang di tengah jalan bisa menjadi daya tawar bagi parpol lain untuk mengusungnya sebagai capres.
Apalagi, peneliti di Lowy Institute Australia Ben Bland pernah mengatakan bahwa Sandi jelas memiliki ambisi untuk mencalonkan diri untuk jabatan tertinggi. Setidaknya, itu telah dianalisis Bland sejak mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta itu maju sebagai calon wakil presiden (cawapres) pada 2019 lalu.
Dapat dikatakan, pernyataan terbaru soal kesiapan Sandi sebagai capres tak berlebihan kiranya untuk dilihat sebagai egoisme tertentu. James Rachels dalam Egoism and Moral Skepticism menjelaskan apa yang disebut sebagai egoisme etis, yang memiliki makna bahwa semua tindakan manusia dimotivasi oleh kepentingan diri sendiri (self-interest).
Jika Ketua Harian Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad mempertanyakan etika Sandi atas pernyataannya, Rachels menyebut bahwa di saat egoisme etis muncul, etika seketika tidak berguna.
Begitupun dengan altruisme yang tak menemui relevansinya di mana kecenderungan-kecenderungan semacam itu acapkali lumrah dalam politik.
Jika skenario intervensi Tiongkok dan korelasinya dengan Sandi itu terwujud, Prabowo bisa jadi mencetak quat-trick kekalahan di Pilpres 2024.
Akan tetapi, penjelasan di atas masih sebatas penafsiran semata. Intervensi asing dalam Pemilu dan Pilpres 2024 diharapkan tidak terjadi. Tentunya, agar pemimpin baru Indonesia kelak dapat benar-benar mewakili kepentingan rakyat, bukan kepentingan negara manapun. (J61)