Polemik antara Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa dan KSAD Jenderal Dudung Abdurachman mencuat setelah disinggung intens oleh politisi PDIP Effendi Simbolon. Di titik ini, PDIP agaknya akan lebih ideal untuk “mendukung” Andika dibanding Dudung jelang 2024. Mengapa demikian?
Kemarin lusa, rapat antara Komisi I DPR RI dengan jajaran Kementerian Pertahanan dan TNI menguak perseteruan antara Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa dan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Dudung Abdurachman.
Secara kasat mata, hal itu mulanya terpantau awak media saat Jenderal Dudung absen di jajaran pejabat teras TNI yang hadir dalam rapat tersebut.
Namun, mantan Pangdam Jaya itu diwakili Wakil KSAD Letjen TNI Agus Subiyanto. Sementara KSAL Laksamana Yugo Margono dan KSAU Marsekal Fadjar Prasetyo kompak mendampingi Jenderal Andika dari unsur pimpinan TNI.
Intrik itu sendiri sebenarnya sudah terkuak ke pemberitaan dalam beberapa waktu terakhir. Puncaknya, polemik kabar tak diloloskannya anak Jenderal Dudung dalam rekrutmen Akademi Militer (Akmil) bermuara “kejanggalan” pada tambahan kuota taruna tahun ini.
Ya, setelah tidak diloloskan karena dinilai tak memenuhi syarat, Jenderal Dudung disebut melobi ke Kementerian Pertahanan.
Pendekatan tersebut berhasil dan kemudian tertuang dalam Keputusan Menteri Pertahanan (Kepmenhan) Nomor 1421.d/M/XI/2021 tanggal 2 Agustus 2022 tentang Perubahan Empat Alokasi Penyediaan Prajurit Tentara Nasional Indonesia Tahun 2022.
Anak Jenderal Dudung lantas masuk ke dalam alokasi tambahan 70 Taruna Akmil. Padahal, sebelumnya 379 taruna sudah mengikuti upacara pembukaan pendidikan yang dipimpin Danjen Akademi TNI Letjen Bakti Agus Fadjari di Lapangan Resimen Taruna Akmil, pada hari Jumat, 5 Agustus 2022.
Maka dari itu, diselenggarakan upacara pembukaan pendidikan gelombang kedua yang kali ini dipimpin oleh Gubernur Akmil Mayjen Robertus Legowo W.R. Jatmiko. Sang pemimpin Akmil dikabarkan memiliki jabatan di bawah koordinasi langsung Jenderal Dudung.
Tidak hanya polemik itu saja, para analis telah mengendus ketidakharmonisan kala latihan militer bertajuk Super Garuda Shield 2022 tidak dihadiri pula oleh Jenderal Dudung. Sedangkan, latihan tersebut awalnya merupakan jalinan matra darat Indonesia dengan Amerika Serikat (AS) dan KSAD selalu hadir di tiap edisinya.
Bersamaan dengan itu, terkuaknya dugaan intrik Jenderal Andika dan Jenderal Dudung di DPR sendiri menjadi perhatian serius politisi senior PDIP Effendi Simbolon. Dia cukup intens melakukan konfrontir persoalan yang dianggap mengganggu kinerja TNI.
Di titik ini, PDIP kiranya memang patut khawatir. Sebab, melesatnya karier dua jenderal bintang empat itu selama ini dianggap berasal dari sokongan politik partai banteng.
Di samping langkah normatif untuk menengahi tensi Jenderal Andika dan Jenderal Dudung, muncul satu presumsi menarik, yakni siapakah yang akan dipilih PDIP jika memang pada akhirnya harus memilih? Serta, bagaimana proyeksi di antara dua pilihan tersebut?
Dudung Star Syndrome?
Dengan tidak bermaksud memanaskan maupun membenturkan dua pejabat TNI, satu probabilitas politik agaknya telah mengemuka dengan sendirinya kala PDIP bisa saja pada akhirnya harus memilih di antara Jenderal Andika atau Jenderal Dudung.
Itu dikarenakan, Jenderal Andika dan Jenderal Dudung sama-sama akan purna tugas dalam waktu dekat, plus keduanya tampak memiliki modal politik yang boleh jadi akan bermanfaat bagi PDIP jelang Pemilu 2024.
Namun, opsi untuk lebih cenderung berpihak pada Jenderal Andika tampaknya lebih logis bagi PDIP. Mengapa demikian?
Jika melakukan analisis objektif terhadap sepak terjang dan kemampuan di militer, Jenderal Dudung seolah berada dalam level yang berbeda dengan Jenderal Andika.
Selama ini, sang KSAD kiranya mengalami semacam star syndrome. Itu dikarenakan, kariernya di matra darat tampak begitu cepat pasca mendirikan patung Bung Karno pada Februari 2020 lalu kala menjabat Gubernur Akmil.
Langkah itu kemudian mendapat apresiasi cukup besar dari Presiden Kelima RI yang juga Ketua Umum (Ketum) PDIP Megawati Soekarnoputri.
Secara psikologis, star syndrome sendiri merupakan kondisi ketika seseorang merasa dirinya sempurna, mengagumkan, dan terkenal. Hal itu kemudian berdampak pada perilakunya dalam kehidupan sehari-hari, tidak terkecuali dalam konteks pekerjaan.
Setelah mendirikan patung Bung Karno, karier Jenderal Dudung memang melesat. Dari Akmil, dia dipromosikan sebagai Pangdam Jaya, Panglima Kostrad, lalu menjabat KSAD.
Sayangnya, tindak tanduk Jenderal Dudung kerap diliputi kontroversi. Saat menjabat Pangdam Jaya, dia dinilai overlap saat mengerahkan personel TNI lengkap dengan kendaraan taktis militer untuk menertibkan baliho Habib Rizieq dan Front Pembela Islam (FPI).
Saat mengampu KSAD, Jenderal Dudung juga seolah mengekspresikan sejumlah hal yang kurang esensial, seperti menciptakan lagu berjudul Ayo Ngopi hingga membuat pernyataan bahwa Tuhan bukan orang Arab.
Karakteristik itu sendiri tampak menjadi semacam miskalkulasi. Jenderal Dudung sekilas di-plot atau menempatkan diri untuk menjadi antitesis Jenderal (Purn.) Gatot Nurmantyo yang cenderung berhaluan Islam konservatif.
Akan tetapi, apa yang ditunjukkannya jamak dinilai kontraproduktif, bahkan tidak mewakili dan diakui kelompok berhaluan moderat.
Sementara itu, Jenderal Andika selama ini justru menampilkan low-key leadership atau kepemimpinan yang sederhana namun tegas dan memiliki prinsip.
Jonah Blank dalam buku yang berjudul Regional Responses to US-China Competition in the Indo-Pacific: Indonesia mengutip perwira anonim AS yang menyebut pejabat tinggi TNI cenderung lebih mementingkan office calls, kunjungan kehormatan, parade, dan seremoni.
Berbeda dengan prioritas pejabat militer AS yang dalam kultur militernya begitu profesional dalam peningkatan kemampuan dari waktu ke waktu dengan indikator yang jelas.
Tetapi, Jenderal Andika kiranya menjadi anomali dari ciri-ciri kepemimpinan yang disebut oleh sang perwira anonim AS tersebut. Dalam merumuskan kebijakan TNI, Andika dinilai cukup progresif dengan menelurkan sejumlah kebijakan revolusioner seperti menghapus tes keperawanan hingga meniadakan tes renang dalam rekrutmen personel.
Dari sisi koordinasi lintas matra, Jenderal Andika juga tampak cukup lihai dengan gaya komunikasinya yang luwes. Kecakapan itu juga tampak saat dirinya memimpin TNI dalam Super Garuda Shield 2022 dan melakukan komunikasi apik dengan petinggi militer negara sahabat.
Selain berasal dari Sat-81 Kopassus yang merupakan Tier-1 pasukan elite Indonesia, sosok yang memiliki fisik kekar nan prima itu juga pernah memimpin di level teritorial hingga doktrin.
Mantan Komandan Paspampres itu pun mengenyam pendidikan mumpuni di The Military College of Vermont Norwich University, National War College National Defense University, hingga Harvard University.
Oleh karena itu, secara kasat mata, Jenderal Andika tampak menjadi paket komplit seorang pemimpin. Terlebih, namanya masuk dalam tiga besar calon presiden (Capres) 2024 hasil Rakernas Partai NasDem.
Menariknya, proyeksi Jenderal Andika sebagai capres terlihat bersamaan dengan beberapa sentimen minor yang mengarah padanya, termasuk intrik dengan Jenderal Dudung.
Padahal, entitas politik manapun, termasuk PDIP, agaknya dapat merangkul Jenderal Andika setelah purna tugas kelak untuk menarik simpati atau bahkan sebagai kandidat capres sesungguhnya.
Lalu, mungkinkah PDIP akan merekrut Andika nantinya?
PDIP ft. Andika, Sempurna?
Munculnya nama Jenderal Andika sebagai capres 2024 boleh jadi turut membuat gusar PDIP yang telah memproyeksikan Puan Maharani.
Dalam hal ini, bukan gusar dalam artian tidak senang, akan tetapi kiranya lebih kepada kemungkinan desakan internal yang bisa saja lebih menginginkan Andika.
Di titik ini, PDIP kiranya harus sejenak keluar dari logika organisasi untuk merangkul Jenderal Andika nantinya.
Logika organisasi – dalam hal ini parpol – memiliki perbedaan dengan logika individu. Francis Fukuyama dalam bukunya State-Building: Governance and World Order in the 21st Century menjabarkan secara gamblang mengenai hal ini.
Mengutip ilmuwan politik asal Amerika Serikat (AS) Herbert Simon tentang teori satisficing atau keterpuasan, Fukuyama menerangkan bahwa tujuan organisasi sebenarnya tidak pernah hadir secara jelas, tetapi muncul sebagai hasil dari berbagai interaksi para pelaku organisasi.
Menurut Fukuyama, itu terjadi karena individu-individu dalam organisasi punya rasionalitas yang terbatas. Kecenderungan itu tidak lain disebabkan oleh individu yang cenderung memiliki penafsiran yang berbeda atas suatu peristiwa.
Selama ini, PDIP seolah terjebak dalam logika partai yang saklek memaksakan Puan sebagai capres padahal elektabilitasnya begitu rendah.
Selain demi memperkuat lini di 2024, Jenderal Andika bisa saja menjadi alternatif terbaik saat Puan tak memiliki kans, dan Ganjar Pranowo yang tak direstui Megawati.
Sosok Jenderal Andika, juga menggambarkan “DNA” TNI-AD, yakni militer pretorian (militer yang punya campur tangan politik) sebagaimana dijelaskan anggota Tim Penelitian dan Pengembangan (Litbang) PinterPolitik sekaligus pengamat militer Khairul Fahmi.
Walaupun dalam definisinya tampak otoriter, pretorianisme di tangan Jenderal Andika yang disebut sebagai “anomali” kiranya bisa menjadi sebuah terobosan baru ke arah yang lebih baik, khususnya jika dapat dikapitalisasi oleh PDIP.
Ditambah, meskipun idealnya menjadi penengah dalam intrik Jenderal Andika dan Jenderal Dudung, PDIP kiranya lebih tepat untuk membentengi sang Panglima TNI demi strategi politik yang lebih baik jelang 2024.
Kendati demikian, penjabaran di atas masih sebatas interpretasi semata. Namun, implikasi politik dari intrik Panglima TNI Jenderal Andika dan KSAD Jenderal Dudung akan cukup menarik untuk dinantikan. (J61)