HomeNalar PolitikSinggung Medsos, Jokowi Sentil Mahfud?

Singgung Medsos, Jokowi Sentil Mahfud?

Di tengah sambutannya saat membuka Muktamar IX PPP, Presiden Jokowi tiba-tiba menyinggung soal dinamika di media sosial. Ia mengimbau masyarakat untuk mengisi medsos dengan informasi menyejukkan. Apa yang bisa dimaknai dari wejangan Presiden ini?


PinterPolitik.com

Ada pesan menarik yang disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat membuka Muktamar IX Partai Persatuan Pembangunan (PPP) beberapa waktu lalu. Dalam sambutannya, sang kepala negara mengimbau masyarakat untuk mengisi media sosial (medsos) dengan informasi yang menyejukkan.

Jokowi juga mengajak masyarakat untuk tak memenuhi lini massa medsos dengan kabar bohong (hoaks). Sebaliknya, Presiden ingin warga terlibat aktif dalam memberikan klarifikasi terhadap kabar-kabar dusta. 

Sebenarnya ini bukan kali pertama mantan Wali Kota Solo itu menaruh perhatian pada dinamika di medsos. Sebelum-sebelumnya Ia juga sudah sering mengingatkan publik akan bahaya disinformasi yang beredar luas di internet. 

Meski terkesan normatif, namun konteks imbauan Presiden ini menjadi menarik jika dikait-kaitkan dengan sejumlah peristiwa yang terjadi belakangan ini. Yang sempat heboh misalnya terkait pembatasan saluran YouTube milik Front Pembela Islam (FPI) bertajuk Front TV yang kini tak lagi bisa diakses secara bebas di Indonesia. 

Pihak FPI terang-terangan menuding bahwa pemerintah ada di balik pembatasan ini. Ketua DPP FPI Slamet Ma’arif pun menilai demokrasi di Indonesia semakin tercoreng lantaran peristiwa ini.

Menanggapi dugaan ini, pakar hukum tata negara Refly Harun juga menilai peristiwa ini adalah masalah yang serius bagi demokrasi di Indonesia. Ia menyebut seharusnya pemerintah dapat mengayomi seluruh masyarakat, bukan justru membatasi.

Di sisi lain, pemerintah membantah terlibat dalam pembatasan ini. Sebaliknya, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G. Plate justru menyebut platform berbagi video milik Google itu memiliki aturan internal yang harus dipahami oleh para penggunanya. 

Namun jika dikait-kaitkan dengan pernyataan terbaru Presiden Jokowi, mungkinkah pembatasan saluran YouTube FPI itu memang merupakan salah satu upaya pemerintah dalam ‘menyejukkan’ media sosial? Atau adakah indikasi lain dari imbauan kepala negara tersebut?

Jokowi Tiru Tiongkok dan Rusia?

Saat awal kemunculannya, banyak pihak yang menggembar-gemborkan media sosial sebagai ‘anugerah’ bagi gerakan sosial-politik akar rumput. Anggapan ini tak bisa dilepaskan dari fakta bahwa kebangkitannya pada dekade 2000-an itu diikuti oleh banyaknya gerakan-gerakan revolusi yang berhasil menumbangkan rezim di sejumlah negara, seperti Mesir, Iran, dan Sudan. 

Zack Beauchamp dalam tulisannya yang berjudul Social Media is Rotting Democracy from Within mengatakan bahwa Pada tahun 2009, masyarakat Iran bangkit untuk melakukan protes terhadap pemilu yang dianggap curang. Gerakan yang dikenal dengan sebutan ‘The Green Movement’ memanfaatkan klip protes yang disebarkan melalui platform Facebook dan YouTube secara global. Dua tahun kemudian, pemberontakan Arab Spring juga semakin membuktikan kekuatan sebenarnya dari peran media sosial ini. 

Baca juga :  Indonesia First: Doktrin Prabowo ala Mearsheimer? 

Pada saat itu, para pengamat di dunia sepakat bahwa media sosial tampaknya dapat menumbuhkan demokrasi. Hal ini dikarenakan media sosial dapat memfasilitasi penyebaran informasi yang cepat, yang memungkinkan masyarakat menghindari sensor pemerintah dengan mudah, dan tentu akan melemahkan negara otoriter serta memperkuat demokrasi – atau, setidaknya, begitulah argumennya saat itu.

Kendati begitu, seiring terus berkembangnya teknologi ini, banyak pihak yang mulai menyadari sisi gelap  media sosial bagi demokrasi. Francis Fukuyama dalam tulisannya di Project Syndicate menyebut bahwa kebangkitan internet merupakan salah satu penyebab menurunnya kualitas demokrasi. 

Hal ini disebabkan karena internet khususnya media sosial merupakan pisau bermata dua yang dapat dimanfaatkan untuk mengamplifikasi nilai-nilai demokrasi, namun di saat yang sama bisa juga digunakan untuk memusuhi demokrasi itu sendiri.

Sama halnya dengan kecepatannya dalam menyebarkan informasi, media sosial ternyata juga sama cepatnya dalam menyebarkan disinformasi. Ini kemudian berakibat pada banjir informasi yang membuat masyarakat tak lagi bisa membedakan mana yang akurat, dan mana yang tidak. 

Fukuyama kemudian menyebut dengan semakin derasnya arus informasi, kekuatan otoriter meresponsnya melalui pendekatan yang dialektis, yakni dengan mengendalikan internet. Ia mencontohkan sensor-sensor yang dilakukan Pemerintah Komunis Tiongkok, hingga strategi pemerintah Rusia yang menggunakan bot untuk membanjiri media sosial dengan informasi-informasi yang mereka inginkan.

Dalam konteks Indonesia, praktik-praktik pembatasan internet nyatanya juga sudah beberapa kali dilakukan pemerintahan Jokowi. Misalnya ketika terjadi gelombang demonstrasi menolak hasil Pilpres 2019 lalu hingga saat terjadi konflik sosial di Papua pada tahun yang sama.

Selain pembatasan akses seperti yang dilakukan Tiongkok, pengendalian internet juga diduga dilakukan pemerintahan Jokowi melalui penyebaran informasi yang masif di media sosial. Jika pemerintahan Putin di Rusia melakukan hal tersebut dengan memanfaatkan teknologi bot, pemerintahan Jokowi dinilai menggunakan cara konvensional, yakni dengan merekrut influencer dan buzzer.

Jika benar pemerintahan Jokowi telah melakukan strategi represif seperti di Tiongkok dan Rusia, lantas apakah strategi tersebut efektif?

Belajar dari Finlandia

Zack Beauchamp dalam tulisannya di Vox juga menyebut bahwa upaya untuk meredam kabar bohong melalui sanggahan langsung justru dapat memfasilitasi penyebaran kebohongan itu sendiri. Dengan kata lain, upaya untuk mengoreksi kebohongan ironisnya dapat berkontribusi pada penyebaran lebih lanjut dan bahkan penerimaan kebohongan tersebut.

Hal ini terjadi dikarenakan membanjiri media sosial dengan lebih banyak lagi informasi dapat memicu sinisme, dan membuat publik semakin lelah untuk memahami kebenaran obyektif.

Di titik ini, Indonesia seharusnya dapat belajar dari strategi Finlandia dalam menangkal hoaks di internet, yakni melalui pendidikan. Emma Charlton dalam ulasannya di World Economic Forum menyebut pendidikan berkualitas merupakan prasyarat untuk mengatasi efek negatif dari berita palsu di era post-truth

Baca juga :  Anies Bantu Prabowo Melupakan Jokowi?

Ia menyebut di Finlandia, organisasi bernama FactBar mengadaptasi metode pemeriksaan fakta profesional untuk diajarkan dalam kurikulum di sekolah-sekolah Finlandia. Selain itu, para siswa juga dibekali dengan keterampilan penelitian yang baik berdasarkan pemikiran kritis. Pemerintahan setempat percaya bahwa sistem pendidikan publik yang kuat sebagai alat utama untuk dalam perang informasi yang menyerang negara. 

Kendati sudah sering mengeluhkan tentang ramainya kabar bohong dan ujaran kebencian di media sosial, namun sepertinya pemerintahan Jokowi tak memiliki rencana jangka panjang untuk mengatasi persoalan ini seperti yang dilakukan Finlandia. 

Alhasil, hingga hari ini pemerintah dinilai kerap menggunakan cara-cara jangka pendek dan instan untuk menyelesaikan masalah tersebut, yakni melakukan pembatasan akses internet hingga membanjiri media sosial dengan narasi tandingan, yang menurut Beauchamp, tak akan terlalu banyak membantu menyelesaikan persoalan disinformasi di media sosial. 

Sentil Mahfud?

Di luar perdebatan tersebut, sebenarnya terdapat indikasi lain yang dapat diinterpretasi di balik imbauan Presiden Jokowi untuk mengisi media sosial dengan informasi yang menyejukkan. Pasalnya, pernyataan itu Ia sampaikan saat membuka Muktamar IX PPP melalui tayangan video conference dan didampingi Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, yang belakangan ini tengah jadi buah bibir akibat cuitan-cuitannya di media sosial Twitter. 

Yang paling menghebohkan terjadi baru-baru ini saat Mahfud mengomentari pernyataan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil (RK) yang meminta pertanggung jawabannya terkait kerumunan massa simpatisan Imam Besar FPI, Habib Rizieq Shihab (HRS). 

Pernyataan yang awalnya disampaikan RK secara lisan ini kemudian berlanjut di ruang media sosial karena Mahfud menanggapinya lewat cuitan di Twitter. Alhasil, keduanya pun saling bersahut-sahutan dan menjadi tontonan publik. 

Pengamat komunikasi politik Anang Sudjoko menilai fenomena silang pendapat antara pusat dan daerah mencerminkan adanya kekacauan dalam tata kelola komunikasi pemerintahan. 

Menurutnya, kekacauan komunikasi internal itu bisa jadi disebabkan karena dua hal. Pertama, karena kemampuan komunikasi menteri yang kurang. Kedua karena lemahnya kepemimpinan seorang Presiden. Namun, jika melihat kekacauan komunikasi ini sudah terjadi berkali-kali, Ia menduga penyebabnya adalah karena lemahnya kepemimpinan seorang presiden.

Jika benar demikian, mungkin saja pesan tersebut juga ditujukan Presiden Jokowi kepada Mahfud agar lebih berhati-hati dalam membuat cuitan. Apalagi, Mahfud merupakan salah satu Menko yang setiap cuitannya mestilah menjadi pusat perhatian publik.

Bagamaina pun, sekelumit ulasan ini hanyalah analisis teoretis yang masih bisa diperdebatkan lebih lanjut. Namun di titik ini setidaknya bisa dikatakan bahwa pemerintah sepertinya membutuhkan strategi baru untuk melawan hoaks dan disinformasi. Bagaimana pemerintahan Jokowi ke depan akan mengatasinya tetaplah menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (F63)


Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Menguji “Otot Politik” Andika Perkasa

Pilgub Jawa Tengah 2024 kiranya bukan bagaimana kelihaian politik Andika Perkasa bekerja di debutnya di kontestasi elektoral, melainkan mengenai sebuah hal yang juga lebih besar dari sekadar pembuktian PDIP untuk mempertahankan kehormatan mereka di kandang sendiri.

Menyoal Kabinet Panoptikon ala Prabowo

Pemerintahan Prabowo disebut memiliki kabinet yang terlalu besar. Namun, Prabowo bisa jadi memiliki kunci kendali yakni konsep "panoptikon".

Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?

Pernyataan dukungan The Economist terhadap calon presiden Amerika Serikat, Kamala Harris, jadi perhatian publik soal perdebatan kenetralan media. Apakah keputusan yang dilakukan The Economist benar-benar salah?

Ridwan Kamil dan “Alibaba Way”

Ridwan Kamil usulkan agar setiap mal di Jakarta diwajibkan menampilkan 30 persen produk lokal. Mungkinkah ini gagasan Alibaba Way?

Hype Besar Kabinet Prabowo

Masyarakat menaruh harapan besar pada kabinet Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Rahasia Kesaktian Cak Imin-Zulhas?

Dengarkan artikel ini: Audio ini dibuat menggunakan AI. Di tengah kompetisi untuk tetap eksis di blantika politik Indonesia, Zulkifli Hasan dan Muhaimin Iskandar tampak begitu kuat...

Prabowo, the Game-master President?

Di awal kepresidenannya, Prabowo aktif menggembleng Kabinet Merah Putih. Apakah Prabowo kini berperan sebagai the game-master president?

Indonesia First: Doktrin Prabowo ala Mearsheimer? 

Sejumlah pihak berpandangan bahwa Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto akan lebih proteksionis. Seberapa besar kemungkinannya kecurigaan itu terjadi? 

More Stories

Dibenturkan, Nadiem Tetap Tak Terbendung?

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim kembali mendapat sorotan. Kali ini draf Peta Jalan Pendidikan 2020-2035 yang tak mencantumkan frasa agama dipersoalkan oleh...

Benci Produk Asing, Anomali Nasionalisme Jokowi?

Pernyataan terbaru Presiden Jokowi soal benci produk asing terus menuai polemik. Banyak pihak menilai Presiden punya standar ganda karena pemerintah sendiri masih melakukan impor...

Puan Sulit Taklukkan Ganjar?

Sejumlah analis dan pengamat memprediksi PDIP akan mengusung Prabowo-Puan dalam Pilpres 2024 mendatang. Namun prospek tersebut kini terancam dengan tingginya elektabilitas Gubernur Jawa Tengah,...