Site icon PinterPolitik.com

SIN Pajak, Pemutus Rantai Korupsi?

Mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Dr Hadi Poernomo (kiri) saat menyampaikan materi dalam sebuah webinar di Universitas Pelita Harapan pada 14 Desember 2021 (Foto: Antaranews)

Korupsi merupakan kejahatan purba yang menjadi masalah luar biasa di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Dalam penelitiannya, mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Dr Hadi Poernomo mengungkap Single Identity Number (SIN) Pajak memiliki peran besar sebagai alat pencegah korupsi. Bagaimana itu mungkin?


PinterPolitik.com

“In this world, nothing is certain except death and taxes,” – Benjamin Franklin, Founding Father Amerika Serikat

Sebuah harapan baru. Itu yang terbersit di benak berbagai pihak ketika Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya pada 21 Mei 1998. Ada euforia di berbagai sektor, mulai dari politik, ekonomi, hingga pemberantasan korupsi. Sebagaimana di benak publik, rezim Orde Baru selalu diatribusikan pada praktik KKN alias kolusi, korupsi, dan nepotisme. 

Terkhusus masalah korupsi, Reformasi dinilai akan membawa angin segar seiring dengan masuknya era keterbukaan khas demokrasi. Namun sayangnya, seperti yang diungkap oleh Francis Fukuyama dalam bukunya Memperkuat Negara: Tata Pemerintahan dan Tata Dunia Abad 21, runtuhnya Orde Baru justru mengakibatkan korupsi terjadi di semua tingkatan eselon. 

Alasannya mudah diraba, yakni desentralisasi. Dulunya korupsi berpusat di simpul-simpul kekuasaan Soeharto, namun kini menyebar ke unit-unit terkecil kekuasaan, seiring dengan pendelegasian kewenangan dari pemerintah pusat. Fukuyama menggambarkan persoalan tersebut melalui diagram yang menarik.

Matriks hubungan kekhususan dan volume transaksi dari Francis Fukuyama dalam buku Memperkuat Negara: Tata Pemerintahan dan Tata Dunia Abad 21

Menurut Fukuyama, organisasi-organisasi sektor negara, khususnya yang menghasilkan pelayanan publik pada dasarnya sulit diukur atau dipantau. Terdapat dua variabel untuk menentukan tingkat kesulitan pengukuran tersebut, yakni “kekhususan” dan “volume transaksi” pelayanan. Kedua variabel tersebut akan membentuk matriks seperti di atas.

Aktivitas atau pelayanan yang paling mudah dipantau atau diukur adalah Kuadran I, yakni pelayanan yang sangat khusus dan volume transaksinya rendah. Sedangkan yang paling sulit diukur adalah Kuadran IV, yakni pelayanan yang kekhususannya rendah dan volume transaksinya sangat tinggi.

Pada kasus merembetnya korupsi setelah kejatuhan Soeharto, jawabannya dapat ditarik pada Kuadran IV. Berbeda dengan rezim Orde Baru yang begitu terpusat dan melakukan kontrol ketat, desentralisasi telah membawa berbagai bentuk pelayanan publik baru dan semakin meningkatkan volume transaksi. Konteks tersebut kemudian memberi celah atau kesempatan terjadinya perilaku suap dan korupsi di berbagai unit kekuasaan. 

Lantas, jika masalahnya begitu kompleks seperti penuturan Fukuyama, apakah kita hanya bisa mengharap datangnya keajaiban agar masalah korupsi dapat diatasi?

Sepertinya tidak. 

Kepala Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) 2009-2014, Dr Hadi Poernomo memberi jawaban menarik. Dalam pemaparannya di webinar bertajuk Single Identity Number (SIN) Pajak Mampu Mencegah Korupsi dan Mewujudkan Indonesia Sejahtera yang diselenggarakan Pusat Studi Hukum Administrasi Negara, Konstitusi dan Anti Korupsi (PUSAKA) Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan (UPH) pada 14 Desember 2021, menegaskan jawabannya adalah pajak.

Ya, tentu banyak dari kita bertanya, bagaimana mungkin? Bukankah korupsi dan pajak adalah entitas yang berbeda? 

Pajak, Alat Pencegah Korupsi

Dr Hadi Poernomo memberikan jawaban singkat yang begitu menarik. Entah apapun bentuknya, persoalan korupsi adalah masalah uang masuk dan keluar, ini soal mendeteksi arus keuangan. Jika seorang pejabat memiliki gaji Rp20 juta, namun tiba-tiba mendapat transfer Rp4 miliar, mestilah ada yang aneh. Ini patut dicurigai sebagai uang gelap. 

Nah, cara kerja yang sama juga dapat digunakan untuk mendeteksi laporan pajak yang tidak jujur. Jika wajib pajak (WP) memiliki pendapatan bulanan Rp20 juta, namun surat pemberitahuan tahunan (SPT) hanya Rp12 juta, ini menjadi penilaian objektif untuk mengatakan laporan tersebut tidak jujur.

Menurut Hadi, reformasi perpajakan jilid pertama pada tahun 1984 melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), yang mengubah official assessment system menjadi self assessment system, telah memberikan fasilitas kepada WP untuk menghitung dan membayar sendiri pajak terutang. Masalahnya, pemberian fasilitas tersebut tidak dibarengi dengan adanya kewajiban WP untuk memberikan data kepada otoritas pajak.

Artinya apa? Self assessment system membuat cara deteksi sederhana seperti yang digambarkan sebelumnya menjadi sukar dilakukan. Jika otoritas pajak tidak mengetahui secara presisi pendapatan bulanan riil dan berbagai properti WP, bagaimana penentuan laporan yang jujur dilakukan? Jika memeriksa satu per satu, ini akan memakan waktu yang luar biasa melelahkan.

Untuk itu, Hadi memberikan solusi, yakni menerapkan Single Identity Number (SIN) Pajak. Jika diterapkan, akan ada jaringan informasi online yang terintegrasi untuk membuat bank data perpajakan – disebut juga big data pajak. Setiap transaksi WP, baik publik maupun privat akan langsung masuk ke sistem, sehingga dapat mengurangi persinggungan antara WP dengan otoritas pajak. 

Pemeriksaan data akan didahului dengan desk audit dan melalui electronic audit (e-Audit). Jika terdapat data yang unmatch, secara sistem langsung diidentifikasi sebagai anomali. Otoritas pajak kemudian memberikan himbauan dan meminta WP untuk menjelaskan kenapa datanya unmatch.

Sebagai contoh. Jika seluruh data transaksi keuangan WP pertahun adalah Rp240 juta, namun SPT yang dilaporkan adalah Rp12 juta, sistem akan langsung mendeteksinya. Ini membuat pemeriksaan satu per satu yang melelahkan tidak perlu dilakukan, karena link and macth data dilakukan oleh sistem. 

Imbasnya mudah ditebak. Seperti penegasan Hadi Poernomo, jika SIN Pajak benar-benar diterapkan, ini tidak hanya dapat meningkatkan tax ratio, melainkan juga menjadi alat deteksi korupsi yang luar biasa. Jika biasanya transaksi bulanan WP hanya Rp20 juta, namun tiba-tiba masuk dana Rp4 miliar atau tiba-tiba membeli properti seharga Rp15 miliar, sistem akan langsung mengetahuinya.

Budaya Terpaksa Jujur

Melihatnya dari kacamata hukum, SIN Pajak adalah apa yang kita sebut sebagai hukum progresif. Norbertus Jegalus dalam bukunya Hukum Kata Kerja: Diskursus Filsafat tentang Hukum Progresif, dengan bertolak dari gagasan Satjipto Rahardjo, menegaskan, jika hukum terlepas dari norma-norma keadilan, maka hukum tersebut adalah hukum yang tidak adil. Dalam hukum progresif, raison d’etre hukum adalah memberikan rasa keadilan kepada masyarakat.

Jika SIN Pajak diterapkan, maka keadilan, yakni setiap pihak ditarik pajaknya secara proporsional akan dapat terwujud. Tidak lagi terdengar banyak kasus pebisnis besar memainkan SPT, sehingga membayar yang tidak semestinya. 

Pun demikian pada kasus korupsi. Kekecewaan dan turunnya trust publik terhadap pemerintah terjadi karena melihat maraknya kasus korupsi. Tentunya, ini membuat masyarakat mengalami perasaan tidak adil yang besar karena para elite justru menggerogoti keuangan negara. Konsekuensi korupsi juga besar karena proyek-proyek pembangunan menjadi mangkrak atau tidak optimal. Lagi-lagi, deritanya kembali ke masyarakat.

Jika SIN Pajak diterapkan, korupsi tidak hanya dapat dicegah, melainkan juga meningkatkan pendapatan negara yang berguna untuk menyejahterakan masyarakat. Mengutip penegasan Hadi, visi Indonesia Sejahtera tidak lagi menjadi mimpi di siang bolong. 

Selain sebagai alat pencegah korupsi, Dr Hadi Poernomo juga memaparkan poin yang tidak kalah menarik, yakni “budaya terpaksa jujur”. Melalui penerapan SIN Pajak, di mana pemeriksaan pajak dilakukan by system, celah untuk membuat SPT tidak jujur menjadi tidak ada. Imbasnya, suka atau tidak, WP akan terpaksa membuat laporan yang jujur.

Hadi menganalogikan persoalan ini dengan kamera CCTV. Jika pada awalnya kita malas menggunakan sabuk pengaman di Jalan X, dengan dipasang kamera CCTV di Jalan X, kita terpaksa menggunakan sabuk pengaman setiap kali melewati Jalan X karena takut ditilang. 

Poin budaya terpaksa jujur ini selaras dengan pemikiran pakar hukum dunia, Roscoe Pound, ketika menyebut hukum adalah alat rekayasa sosial dan alat kontrol – law as a tool of social engineering and social control. Sai Abhipsa Gochhayat dalam tulisannya ‘Social Engineering by Roscoe Pound’: Issues in Legal and Political Philosophy, menjelaskan, upaya untuk memenuhi sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat adalah preseden atas munculnya konsep social engineering dari Roscoe Pound.

Hukum ada untuk mengatasi konflik kepentingan dan ego sektoral yang tidak mungkin dihilangkan. Hukum adalah sarana untuk membentuk dan mengatur perilaku masyarakat. Menurut Roscoe Pound, hukum adalah penyeimbang antara kepentingan individu (persaingan) dengan kebutuhan bersama masyarakat (common good). 

Senada dengan Roscoe Pound, filsuf Prancis Gilles Deleuze dan psikoanalisis Prancis Félix Guattari juga mengungkapkan bahwa hasrat (desire) manusia tidak bisa dihilangkan, melainkan diatur atau diarahkan.

Sebagai penutup, seperti pernyataan Dr Hadi Poernomo, aturan hukum yang melandasi SIN Pajak sebenarnya sudah ada, namun penerapannya terganjal oleh peraturan perundang-undangan yang diduga inkonsisten. Mari berharap, pemerintah memiliki political will yang besar untuk menerapkan solusi progresif ini. (R53)

Exit mobile version