Single identity number (SIN) disebut bisa menjadi solusi atas berbagai persoalan di Indonesia – mulai dari pencegahan dan pemberantasan korupsi, peningkatan penerimaan negara, hingga penyejahteraan bangsa. Apakah SIN ini dapat menjadi ‘obat’ untuk Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang dipimpin oleh Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati?
“Some things you can’t escape: death, taxes, and a racist society” – J. Cole, “Neighbors” (2016)
Angka merupakan nilai yang bersifat netral. Namun, angka pun kerap menjadi ukuran akan standar, seperti besar dan kecil, baik dan buruk, hingga tercapai dan lalai.
Tanpa kita sadari, banyak aspek dalam kehidupan masyarakat juga bergantung pada angka. Angka nominal upah kerja, misalnya, menjadi penentu bagi seorang individu agar dapat tetap bertahan hidup.
Terkadang, angka juga digunakan untuk mengidentifikasi manusia dan objek. Ketika berbelanja, misalnya, sering kali kita jumpai kode-kode angka yang biasanya dimasukkan ke dalam komputer kasir. Kode-kode tersebut bertujuan agar sistem mampu mengidentifikasi barang-barang mana yang dibeli dan terjual.
Tidak hanya sebagai penanda objek yang dijual, angka juga sering kita jumpai di kartu-kartu identitas yang kita miliki. Nomor Induk Kependudukan (NIK), misalnya, merupakan serangkaian angka yang sifatnya unik bagi setiap penduduk.
Baca Juga: Sri Mulyani dan Jebakan SMS Utang
Dengan begitu, angka-angka ini membantu pemerintah untuk menjalankan sistem kependudukan yang masif. Untuk menentukan penerima bantuan sosial (bansos), misalnya, pemerintah akan menggunakan NIK.
Manfaat besar angka inilah yang mungkin menjadi perhatian dalam kajian akademis yang disampaikan oleh Dr. (C). Drs. Hadi Poernomo, Ak., MBA dalam sebuah seminar daring via aplikasi Zoom yang dimoderatori oleh Dr. Edy Gunawan, S.H., S.E., M.Ak., BKP. CLA. pada hari Rabu, 21 April 2021 di Universitas Pelita Harapan (UPH). Kurang lebih, kajian tersebut membahas penerapan sistem single identity number (SIN) bagi wajib pajak di Indonesia.
Sistem SIN sendiri dijalankan dengan mengintegrasikan data-data wajib pajak ke dalam sebuah sistem bersama dengan ditandai oleh rangkaian angka unik. Integrasi data individu ini disebut bakal bisa memberikan pengawasan terhadap sistem pajak – membatasi “rahasia” yang bisa saja muncul antara wajib pajak dan petugas pajak.
Dengan begitu, SIN mampu mencatat alur uang si wajib pajak – seperti konsumsi, tabungan, hingga investasi – melalui sistem penilaian mandiri (self-assessment system). Maka dari itu, berdasarkan kajian akademis tersebut, penerapan SIN pun dinilai mampu mencegah praktik-praktik korupsi.
Uniknya lagi, SIN ini tidak hanya mampu mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi melalui pengawasan, melainkan juga disebut dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan adanya SIN, penerimaan pajak disebut bisa meningkat karena wajib pajak secara “terpaksa” harus jujur dalam melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) pajaknya.
Selain itu, dengan sistem SIN yang mampu mencatat berbagai alur uang, penerapannya pun dinilai dapat mencegah berbagai persoalan finansial seperti kredit macet. Alhasil, bisa jadi, sistem ini pun mampu menciptakan Indonesia yang sejahtera.
Bukan tidak mungkin, bila mengacu pada kajian akademis tersebut, penerapan SIN ini bisa menjadi solusi atas berbagai persoalan di Indonesia. Mungkinkah SIN ini menjadi kunci jawaban bagi pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)? Lantas, mengapa penerapan SIN ini dapat memiliki urgensi yang penting?
Belajar dari Amerika Serikat?
Penerapan SIN yang memberikan nomor identifikasi guna melacak konsumsi, tabungan, hingga investasi individu ini sebenarnya mirip dengan apa yang telah diterapkan oleh pemerintah Amerika Serikat (AS). Negara Paman Sam tersebut juga memiliki sistem tunggal bagi sebagian besar warga negaranya yang disebut sebagai social security number (SSN).
SSN ala AS ini bermulai dari sebuah aturan yang diberlakukan di bawah pemerintahan Presiden Franklin D. Roosevelt (FDR) pada tahun 1935 melalui sebuah peraturan yang disebut sebagai Social Security Act. Aturan ini bertujuan untuk menciptakan keamanan ekonomi (economic security) bagi para pekerja.
FDR pun meminjam sistem keamanan ekonomi yang dimiliki oleh negara-negara Eropa. Dengan program SSN ini, masyarakat dimaksudkan untuk berkontribusi sendiri terhadap keamanan ekonomi masa depannya, yakni dengan membayar sebagian upahnya sebagai pajak.
Baca Juga: Sri Mulyani dan Bayang-bayang “Makhluk Halus”https://platform.twitter.com/embed/Tweet.html?creatorScreenName=pinterpolitik&dnt=false&embedId=twitter-widget-1&features=eyJ0ZndfZXhwZXJpbWVudHNfY29va2llX2V4cGlyYXRpb24iOnsiYnVja2V0IjoxMjA5NjAwLCJ2ZXJzaW9uIjpudWxsfSwidGZ3X2hvcml6b25fdHdlZXRfZW1iZWRfOTU1NSI6eyJidWNrZXQiOiJodGUiLCJ2ZXJzaW9uIjpudWxsfSwidGZ3X3NwYWNlX2NhcmQiOnsiYnVja2V0Ijoib2ZmIiwidmVyc2lvbiI6bnVsbH19&frame=false&hideCard=false&hideThread=false&id=1108397081620672512&lang=id&origin=https%3A%2F%2Fwww.pinterpolitik.com%2Fin-depth%2Fsin-pajak-obat-sri-mulyani&sessionId=8620854803478d5190a353df20af2cca3f5325cc&siteScreenName=pinterpolitik&theme=light&widgetsVersion=2582c61%3A1645036219416&width=550px
Penentuan besaran pajaknya pun tidak sembarangan. Melalui sistem SSN, pendapatan yang dimiliki seorang individu akan dicatat dan diukur sesuai pajak yang perlu dibayarkan.
Tentunya, keputusan FDR untuk menerapkan aturan ini bukan tanpa alasan. Kala itu, ekonomi AS tengah mengalami sebuah depresi besar yang menyebabkan aktivitas ekonomi menjadi sangat minim, yakni The Great Depression yang terjadi pada tahun 1930-an.
Kebijakan pajak ala FDR di AS ini juga dijelaskan oleh Ernest O. Eisenberg dalam tulisannya yang berjudul The Changing Philosophy of Taxation. Setidaknya, menurut Eisenberg, kebijakan-kebijakan pajak semacam ini biasanya akan menyesuaikan dengan kondisi ekonomi yang tengah melanda negara tersebut.
Program SSN ini bisa jadi diberlakukan di saat-saat yang tepat. Dengan depresi besar, pendapatan dan penerimaan negara pun menjadi semakin terbatas. Meski begitu, pemerintah juga diminta untuk membelanjakan anggarannya agar ekonomi tetap berjalan di tengah depresi besar.
Kebijakan stimulus ekonomi seperti bansos, misalnya, harus dianggarkan terus oleh pemerintah agar permintaan (demand) pasar tetap eksis. Pembelanjaan anggaran seperti ini dilakukan agar roda ekonomi dapat tetap berputar.
Bukan tidak mungkin, dengan penerapan SSN ini, para pekerja pun dapat merasakan keamanan ekonomi melalui sistem bansos silang yang dibuat oleh FDR. Alhasil, roda aktivitas ekonomi dapat kembali berjalan setelah depresi besar menghantui.
Berkaca dari apa yang dilakukan oleh pemerintahan FDR di AS, bukan tidak mungkin pemerintahan Jokowi dapat belajar untuk menerapkan kebijakan serupa. Lantas, apakah penerapan SIN menjadi urgen di tengah kondisi ekonomi terkini? Bila benar demikian, mengapa penerapan SIN di Indonesia masih menghadapi sejumlah tantangan?
‘Obat’ untuk Sri Mulyani?
Pandemi Covid-19 bisa dibilang telah memiliki dampak yang besar bagi perekonomian Indonesia. Bahkan, meski berbagai kebijakan stimulus ekonomi – seperti bansos – telah diterapkan, kondisi perekonomian dunia disebut tidak akan kembali pulih seratus persen seperti sebelum pandemi melanda.
Lagipula, perubahan-perubahan dalam kebijakan pajak seperti ini sebenarnya juga diperlukan ketika situasi sosial dan politik membutuhkan. Appah Ebimobowei dan O.T. Ebiringa dalam tulisan mereka yang berjudul Petroleum Profit Tax and Economic Growth in Nigeria mengutip sebuah teori perpajakan yang disebut sebagai socio-political theory of taxation (teori sosio-politik pajak).
Baca Juga: Risma Perlu “Cubit” Sri Mulyani?
Teori itu setidaknya menjelaskan bahwa tujuan-tujuan sosial dan politik perlu menjadi faktor besar dalam menentukan kebijakan pajak. Dengan begitu, kebijakan pajak yang diberlakukan perlu berfokus pada bagaimana menyembuhkan “penyakit” (ills) yang dihadapi oleh masyarakat.
Bukan tidak mungkin, apa yang dilakukan FDR melalui program SSN berupaya mewujudkan kebijakan pajak yang didasarkan pada tujuan-tujuan tersebut. Hal ini yang mungkin perlu ditiru oleh pemerintahan Jokowi di Indonesia.
Boleh jadi, dengan penerapan sistem SIN di Indonesia, penerimaan pajak pun dapat meningkat. Pasalnya, penerimaan pajak juga mengalami kontraksi sebesar 19,7 persen dari tahun 2019 ke tahun 2020. Padahal, pemerintah membutuhkan anggaran lebih untuk dibelanjakan di tengah lesunya ekonomi.
Pembelanjaan anggaran untuk bansos dinilai juga telah berkurang. Bagaimana tidak? Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini (Risma) dikabarkan telah menghentikan kebijakan bansos tunai mulai April 2021 ini.
Bukan tidak mungkin, untuk mendukung kembali pemulihan ekonomi, penerimaan negara perlu ditingkatkan kembali – apalagi defisit anggaran juga terus meningkat hingga Rp 956,3 triliun (setara 6,09 persen dari Produk Domestik Bruto/PDB) pada tahun 2020.
Bila benar penerapan SIN dinilai mampu meningkatkan penerimaan negara secara sistemis – mengacu pada kajian akademis dari Dr. (C). Drs. Hadi Poernomo, Ak., MBA, sistem ini bisa saja menjadi kunci jawaban atas persoalan-persoalan yang tengah menghantui keuangan pemerintahan Jokowi.
Seperti SSN, penerapan SIN bisa saja mendorong para wajib pajak untuk menyelamatkan warga-warga lain dengan meningkatkan penerimaan pajak negara. Dengan begitu, kebijakan-kebijakan pemulihan ekonomi di tengah pandemi Covid-19 bisa saja berjalan lebih optimal.
Namun, meski penerapan SIN ini bisa menjadi ‘obat’ yang ditunggu-tunggu bagi berbagai persoalan keuangan pemerintah, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sendiri belum mengadopsi secara penuh sistem ini. Menurut Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati, Kemenkeu justru lebih berfokus pada realibilitas data dibandingkan integrasi SIN yang dikemukakan dalam kajian akademis di atas.
Belum lagi, mengacu pada penjelasan Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi, ego sektoral soal pengelolaan data juga masih eksis di banyak lembaga dan institusi pemerintahan. Bila begitu, penerapan SIN tentu akan menjadi semakin sulit untuk diwujudkan.
Lagipula, ini juga bisa menjadi ‘obat’ yang selama ini dicari oleh Sri Mulyani. Pasalnya, Menkeu sempat mengeluh sakit perut untuk memutar otak guna mewujudkan janji-janji Presiden Jokowi. Apalagi, pandemi yang kini melanda membuat pemerintah memiliki semakin banyak janji untuk dipenuhi. (A43)
Baca Juga: Siapa Pembimbing Sri Mulyani?
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.