Menurut mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Dr. Hadi Poernomo, Single Identity Number (SIN) Pajak dapat melunasi semua utang negara. Bagaimana mungkin itu bisa terjadi?
“In this world, nothing is certain except death and taxes,” – Benjamin Franklin, Bapak Bangsa Amerika Serikat (AS)
Utang, utang, dan utang. Itu adalah frasa sederhana, ringkas, dan padat yang kerap digunakan sebagai palu godam oleh oposisi untuk menggebuk pemerintah. Telah menjadi pengetahuan umum bahwa geliat pembangunan infrastruktur pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) merupakan pemicu meningkatnya utang negara.
Pada tahun 2009, di akhir pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), jumlah utang pemerintah pusat sebesar Rp1.590,66 triliun. Jumlah ini kemudian meningkat menjadi Rp2.608,78 triliun pada 2014, dan per Februari 2022, nilainya membengkak menjadi Rp7.014,58 triliun atau 40,17 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Terkait utang ini, sebagaimana kita lihat, terjadi pembelahan sentimen. Di satu sisi, ada pihak yang menilainya masih dalam taraf aman. Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, batas maksimal rasio utang sebesar 60 persen terhadap PDB.
Kemudian, jika membandingkan dengan negara tetangga di ASEAN, rasio utang Indonesia memang terbilang masih rendah. Vietnam mencapai 46,6 persen, Malaysia 67,6 persen, Thailand 50,4 persen, dan Filipina sebesar 48,9 persen.
Di Amerika Serikat (AS), nilainya bahkan jauh lebih besar. Pada tahun 2021, rasio utang AS atas PDB mencapai 125 persen. Jumlah ini telah membaik karena, pada kuartal II-2020, persentasenya mencapai 136 persen.
Di sisi lain, peningkatan utang ini dinilai sebagai lampu kuning. Bahkan, ada anggapan bahwa pemerintahan Jokowi bisa saja meninggalkan utang sebesar Rp10 ribu triliun ke pemerintahan selanjutnya. Ini tentu akan menjadi beban yang tidak ringan untuk diselesaikan.
Meskipun masih berkisar 40 persen terhadap PDB, kenaikan utang dari Rp1.590,66 triliun menjadi Rp7.014,58 triliun tentu merupakan catatan khusus yang harus diperhatikan.
Well, entah apa pun sentimennya, baik yang menilai wajar maupun memberi kritik keras, kita semua tentu sepakat bahwa utang negara harus dilunasi.
Nah, sekarang pertanyaannya, bagaimana itu dilakukan? Bukankah masalah utang negara adalah masalah akut yang justru semakin membesar?
Pajak Jawabannya?
Mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Dr. Hadi Poernomo memberikan jawaban yang begitu menarik. Menurutnya, kunci untuk melunasi utang negara adalah pajak.
Ya, tentu banyak yang tidak nyaman membaca pernyataan itu. Bagaimana mungkin jawabannya adalah pajak? Bukankah caranya dengan meningkatkan pendapatan negara?
Menurut Hadi, kunci kekuatan ekonomi negara adalah tax ratio atau penerimaan pajak. Dalam artikel berjudul Taxes & Government Revenue yang dimuat Bank Dunia, disebutkan bahwa memungut pajak adalah cara mendasar negara mendapatkan pendapatan yang digunakan untuk membiayai investasi, infrastruktur, dan berbagai layanan publik lainnya.
Disebutkan bahwa negara-negara berkembang dan rentan terdampak konflik (fragile and conflict-affected states/FCS) memiliki masalah yang sama, yakni kesulitan dalam mengumpulkan pajak. Negara yang mengumpulkan pajak kurang dari 15 persen dari PDB harus berjuang keras mencari pendapatan tambahan untuk memenuhi kebutuhan dasar bisnis dan warga negaranya.
Poin tersebut yang menjadi tolakan Hadi. Melihat datanya, setelah mencapai titik tertinggi pada tahun 2008 sebesar 13,3 persen, secara cukup konsisten tax ratio Indonesia mengalami penurunan. Pada tahun 2021, angkanya mencapai 9,11 persen dengan penerimaan sebesar Rp1.277,5 triliun.
Menurut Hadi, menurunnya tax ratio dapat dikatakan sebagai kerugian negara karena mengurangi pendapatan negara yang seharusnya didapatkan. Mengacu pada data tahun 2021, jika tax ratio mencapai 13,3 persen seperti pada tahun 2008, maka pendapatan negara akan menjadi Rp1.547,8 triliun.
Lanjut Hadi, jika tax ratio tinggi, katakanlah sebesar 35 persen, pendapatan yang tinggi dapat dibagi untuk memenuhi kebutuhan dasar dan melunasi utang negara.
Di titik ini, kita tentu sepakat dengan poin Hadi Poernomo. Namun, pertanyaannya, bagaimana tax ratio tinggi itu dapat dicapai? Bagaimana meningkatkan pendapatan negara melalui pajak?
SIN Melunasi SUN?
Dr. Hadi Poernomo memiliki jawaban bagus untuk pertanyaan tersebut. “Jawabannya adalah Single Identity Number (SIN) Pajak,” ungkap Hadi singkat.
Menurutnya, jika SIN Pajak diterapkan, akan ada jaringan informasi online yang terintegrasi untuk membuat bank data perpajakan (big data pajak).
Setiap transaksi Wajib Pajak (WP), baik publik maupun privat akan langsung masuk ke sistem sehingga dapat mengurangi persinggungan antara WP dengan otoritas pajak.
Pemeriksaan data akan didahului dengan desk audit dan melalui electronic audit (e-Audit). Jika terdapat data yang unmatch (tidak cocok), secara sistem langsung diidentifikasi sebagai anomali. Otoritas pajak kemudian memberikan imbauan dan meminta WP untuk menjelaskan mengapa datanya unmatch.
Sebagai contoh, jika seluruh data transaksi keuangan WP per tahun adalah Rp240 juta, tetapi Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) yang dilaporkan adalah Rp12 juta, sistem akan langsung mendeteksinya. Ini membuat pemeriksaan satu per satu yang melelahkan tidak perlu dilakukan karena link-and-match data dilakukan oleh sistem.
Nah, jika SIN Pajak diterapkan, menurut Hadi, ini otomatis akan meningkatkan tax ratio karena WP akan dibuat “terpaksa jujur”. Hadi menganalogikan persoalan ini dengan kamera closed-circuit television (CCTV).
Jika pada awalnya kita malas menggunakan sabuk pengaman di Jalan Sudirman, setelah dipasang kamera CCTV sebagai fungsi tilang elektronik, suka atau tidak kita akan terpaksa menggunakan sabuk pengaman setiap kali melewati Jalan Sudirman karena takut ditilang.
Poin budaya terpaksa jujur ini selaras dengan pemikiran pakar hukum Roscoe Pound ketika menyebut hukum adalah alat rekayasa sosial dan alat kontrol – law as a tool of social engineering and social control.
Menurut Roscoe Pound, hukum hadir untuk mengatasi konflik kepentingan dan ego sektoral yang tidak mungkin dihilangkan. Hukum adalah sarana untuk membentuk dan mengatur perilaku masyarakat. Hukum adalah penyeimbang antara kepentingan individu (persaingan) dengan kebutuhan bersama masyarakat (common good).
Nah, katakanlah SIN Pajak benar-benar diterapkan oleh pemerintah. Bukan tidak mungkin tax ratio akan meningkat menjadi 30-40 persen seperti di negara-negara anggota Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD).
Membuat hitungan kasar, mengacu pada data pendapatan 2021, jika tax ratio mencapai 46,3 persen seperti di Denmark, maka pendapatan negara akan menyentuh angka Rp5.388,3 triliun. Jumlah ini hampir dua kali lipat dari APBN 2021 yang mencapai Rp2.750 triliun.
Kembali mengulang pernyataan Hadi, pendapatan yang besar itu dapat dibagi untuk dua alokasi, yakni memenuhi kebutuhan dasar warga negara dan membayar utang negara.
Katakanlah alokasi membayar utang sebesar 30 persen, maka tiap tahunnya akan terbayar Rp1.616,4 triliun. Jumlah tersebut bahkan lebih besar dari utang yang ditinggalkan oleh pemerintahan SBY pada tahun 2009 lalu.
Poin ini yang membuat Hadi menyebut SIN dapat melunasi SUN atau Semua Utang Negara. Jika konsisten mendapatkan tax ratio setinggi itu, jangankan melunasi utang negara, Indonesia akan bertransformasi menjadi kekuatan dunia yang baru. (R53)