HomeNalar PolitikSimpatisan Palestina, Modal Politik Anies? 

Simpatisan Palestina, Modal Politik Anies? 

Dalam beberapa kesempatan, pasangan calon (paslon) Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar (Cak Imin), menyuarakan berbagai narasi tentang Palestina dalam sejumlah pidato mereka. Adakah kecenderungan untuk menjadikan korban Perang Israel-Palestina sebagai modal kampanye politik? 


PinterPolitik.com 

Selain penuh dengan Pemilihan Presiden (Pilpres) di negara-negara besar, seperti Indonesia, Rusia, dan Amerika Serikat (AS), dunia kita saat ini juga dilanda setidaknya dua tensi geopolitik yang penting. Pertama adalah Perang Rusia-Ukraina yang sudah berlangsung menuju dua tahun, dan yang kedua adalah Perang Israel-Palestina yang meletus pada 7 Oktober silam. 

Terkhusus Perang Israel-Palestina, keeratan sosial dan politik yang terjalin antara Indonesia dengan Palestina tampaknya memiliki efek yang sangat berasa di masyarakat kita. Banyak dari warganet Indonesia yang menyuarakan keperhatinannya di media sosial, dan tidak sedikit juga yang rela turun ke jalanan untuk menyuarakan pentingnya dukungan untuk Palestina. Dan karena itu pula, muncul beberapa fenomena politik yang menarik untuk kita perhatikan.  

Pada tanggal 15 Oktober lalu misalnya, video pidato dari bakal calon wakil presiden (bacawapres) dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan, Muhaimin Iskandar (Cak Imin), berhasil viral di media sosial. Di dalam video tersebut, Cak Imin menyorakkan kata-kata:  

“AMIN menang, kita bela Palestina. AMIN menang kita selamatkan Palestina, setuju?” 

Respons publik atas video tersebut tentu beragam. Ada yang menjadikan video tersebut sebagai bukti bahwa kubu Cak Imin dan Anies Baswedan sangat peduli dengan kaum Muslim di Palestina, tetapi tidak sedikit juga yang skeptis dan khawatir bahwa ada aroma-aroma politik identitas di balik pidato Cak Imin tersebut. 

Menariknya, beberapa waktu terakhir, Anies justru mengucapkan pernyataan yang cenderung berlawanan. Ketika hadiri acara diskusi CSIS (8/11), Anies justru mengatakan bahwa kita seharusnya tidak usah pretensi bisa selesaikan konflik Israel-Palestina, karena persoalan perang di sana adalah persoalan yang kompleks. 

Lantas, muncul pertanyaan yang menarik terkait hal itu. Mengapa paslon Anies dan Cak Imin menyorakkan janji-janji soal Palestina hanya ke publik umum, tetapi tidak kepada kalangan intelektual?  

image 4

Simpati Terhadap Palestina Jadi “Komoditas”? 

Seperti yang sudah sedikit disinggung di atas, perang antara Israel dan Palestina selalu menghasilkan dampak yang besar terhadap emosi masyarakat Indonesia. Selain karena ikatan sejarah yang kuat, emosi yang muncul mungkin juga disebabkan kesamaan agama dari mayoritas penduduk kedua negara. 

Baca juga :  Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Ikatan emosi ini sebetulnya sangat rawan untuk dieksploitasi, termasuk untuk politik. 

Drew Westen dalam bukunya The Political Brain membahas pentingnya emosi dalam membentuk preferensi politik dari publik. Dia menyoroti bahwa emosi, bukan hanya logika rasional, memainkan peran kunci dalam membentuk pandangan dan keputusan politik seseorang. Menurut Westen, koneksi emosional dengan pemilih dapat memiliki dampak yang kuat dalam memengaruhi sikap dan pilihan politik. 

Dalam konteks simpati rakyat Indonesia terhadap korban di Palestina, penekanan Westen pada emosi dapat dijelaskan sebagai berikut: Ketika orang merasa simpati terhadap korban di Palestina, itu menciptakan ikatan emosional yang kuat antara mereka dan isu tersebut. Simpati ini bisa muncul dari rasa empati terhadap penderitaan, keadilan, atau nilai-nilai kemanusiaan. 

Westen menunjukkan bahwa pesan politik yang dapat memicu respons emosional cenderung lebih berhasil daripada pesan yang hanya bersifat logis atau rasional. Oleh karena itu, dalam konteks dukungan terhadap Palestina, pesan-pesan yang dapat mengekspresikan empati, solidaritas, dan kepedulian terhadap penderitaan korban di Palestina dapat lebih efektif dalam membentuk preferensi politik masyarakat.  

Di sisi lain, hal ini mungkin tidak menghasilkan dampak yang terlaluefektif ke kalangan orang-orang yang memang sudah mempelajari dalam persoalan Perang Israel-Palestina, dan batasan-batasan kekuatan diplomasi yang dimiliki Indonesia. 

Atas pandangan ini, bisa kita spekulasikan bahwa koar-koar soal Perang Israel-Palestina yang diucapkan Cak Imin mungkin akan menghasilkan dampak “penggaetan” emosi yang dirasakan banyaknya masyarakat Indonesia terhadap para korban di Gaza, terutama mereka yang belum terlalu familiar dengan bagaimana proses resolusi konflik terjalankan. 

Sebagai resikonya, bagi orang-orang yang menyadari situasi sebenarnya tersebut, mungkin narasi politik yang disampaikan Anies-Cak Imin terlihat sebagai upaya populisme belaka untuk menarik perhatian simpatisan Palestina.

Meski demikian, ada kemungkinan sebetulnya pihak Anies dan Cak Imin menyadari adanya potensi hal negatif yang muncul dengan menggunakan narasi soal Palestina ini. Lantas, muncul pertanyaan lanjutan: mengapa pihak Anies-Cak Imin tetap menggunakan narasi ini, meskipun menyadari potensi dampak negatifnya? 

Baca juga :  Taktik Psikologis di Balik Pembekalan Prabowo 
image 5

Yang Penting Mencuat di Simpatisan Palestina? 

Walaupun tidak dapat dipastikan dengan pasti, tindakan-tindakan Anies dan Cak Imin di media sosial menunjukkan adanya tendensi untuk menciptakan kesadaran politik top of mind kepada para pendukung Palestina di Indonesia. 

G Schweiger dan M Adami dalam bukunya, The Non Verbal Image of Politicians and Political Practices, menyatakan bahwa citra seorang kandidat yang pertama kali muncul di benak masyarakat saat mengingat suatu aktivitas politik adalah bentuk kampanye yang paling efektif. 

Berdasarkan pandangan Schweiger dan Adami, dapat disimpulkan bahwa pemilih cenderung terpengaruh oleh figur yang mencuat dalam setiap penampilannya di media. Meskipun terdapat citra yang mungkin kurang rasional atau bahkan terlihat negatif, pemilih masih akan memberikan perhatian pada kandidat yang sering dibahas di media karena efek kesan yang tertanam di benak mereka. 

Dengan merujuk pada pandangan tersebut, dapat diartikan bahwa strategi politik top of mind awareness beroperasi mirip dengan program brand awareness dalam dunia bisnis. Jika sebuah produk dikenal oleh banyak orang dan terus muncul dalam iklan-iklan, kemungkinan besar produk tersebut akan menjadi pilihan pertama. 

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa langkah-langkah Anies dan Cak Imin yang menghasilkan sensasi politik seputar Palestina bertujuan agar namanya terus mendominasi berita dan perbincangan media untuk para simpatisan yang peduli dengan perang di sana. 

Jika anggapan ini benar, maka mungkin Anies tidak perlu terlalu memperhatikan respons dari politisi lain atau para oposisinya terkait impian besar tentang perdamaian Palestina, karena pada dasarnya, mereka pun sebetulnya telah membantu Anies agar tetap menjadi salah satu tokoh politik yang paling sering dibicarakan dalam isu yang sangat populer ini. 

Dalam satu sisi, mungkin teknik semacam ini efektif untuk diterapkan dalam konteks Pemilihan Presiden 2024. Alih-alih menghabiskan banyak energi dan sumber daya untuk kampanye langsung, seorang kandidat hanya perlu melemparkan pernyataan yang mudah diingat orang agar namanya tetap menjadi pusat perhatian dalam pesta demokrasi nanti. (D74) 

spot_imgspot_img

#Trending Article

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

Paloh Pensiun NasDem, Anies Penerusnya?

Sinyal “ketidakabadian” Surya Paloh bisa saja terkait dengan regenerasi yang mungkin akan terjadi di Partai NasDem dalam beberapa waktu ke depan. Penerusnya dinilai tetap selaras dengan Surya, meski boleh jadi tak diteruskan oleh sang anak. Serta satu hal lain yang cukup menarik, sosok yang tepat untuk menyeimbangkan relasi dengan kekuasaan dan, plus Joko Widodo (Jokowi).

Prabowo, Kunci Kembalinya Negara Hadir?

Dalam kunjungan kenegaraan Prabowo ke Tiongkok, sejumlah konglomerat besar ikut serta dalam rombongan. Mungkinkah negara kini kembali hadir?

Prabowo dan “Kebangkitan Majapahit”

Narasi kejayaan Nusantara bukan tidak mungkin jadi landasan Prabowo untuk bangun kebanggaan nasional dan perkuat posisi Indonesia di dunia.

Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sama seperti Donald Trump, Prabowo Subianto kerap diproyeksikan akan terapkan kebijakan-kebijakan proteksionis. Jika benar terjadi, apakah ini akan berdampak baik bagi Indonesia? 

The War of Java: Rambo vs Sambo?

Pertarungan antara Andika Perkasa melawan Ahmad Luthfi di Pilgub Jawa Tengah jadi panggung pertarungan besar para elite nasional.

Menguji “Otot Politik” Andika Perkasa

Pilgub Jawa Tengah 2024 kiranya bukan bagaimana kelihaian politik Andika Perkasa bekerja di debutnya di kontestasi elektoral, melainkan mengenai sebuah hal yang juga lebih besar dari sekadar pembuktian PDIP untuk mempertahankan kehormatan mereka di kandang sendiri.

More Stories

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sama seperti Donald Trump, Prabowo Subianto kerap diproyeksikan akan terapkan kebijakan-kebijakan proteksionis. Jika benar terjadi, apakah ini akan berdampak baik bagi Indonesia? 

Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?

Pernyataan dukungan The Economist terhadap calon presiden Amerika Serikat, Kamala Harris, jadi perhatian publik soal perdebatan kenetralan media. Apakah keputusan yang dilakukan The Economist benar-benar salah?