HomeHeadlineSimpati, ‘Kartu’ Rahasia Prabowo?

Simpati, ‘Kartu’ Rahasia Prabowo?

Dengarkan artikel ini:

Audio ini dibuat menggunakan AI.

Presiden terpilih RI, Prabowo Subianto, meminta relawan dan pendukungnya untuk tidak melaksanakan aksi pada Jumat, 19 April 2024, mendekati pengumuman putusan Mahkamah Konstitusi (MK), Mengapa ini penting bagi Prabowo?


PinterPolitik.com

“As luck would have it, I’ve settled into my role as the good guy” – Drake, “8 Out of 10” (2018)

Pada tahun 2018, penyanyi rap (rapper) asal Kanada bernama Drake merilis sebuah album dengan judul Scorpion. Dalam album itu, Drake menuliskan sebuah pesan di mana dirinya ingin menjadi pihak yang baik dengan menyudahi konfliknya dengan penyanyi rap lain, Pusha T.

Keputusan itu dia ambil karena Drake tidak ingin menyerang Pusha secara personal. Padahal, Pusha sendiri sebelumnya mengeluarkan lagu diss (sindiran) kepada Drake yang mengungkapkan kehidupan pribadi rapper tersebut kepada publik dalam lagu berjudul “The Story of Adidon”.

Manuver yang diambil oleh Drake ini bisa jadi juga dilakukan oleh para aktor politik, termasuk di Indonesia. Presiden terpilih RI, Prabowo Subianto, misalnya, juga berusaha menjadi sosok yang berjiwa besar dengan mengatakan bahwa dirinya akan selalu mementingkan persatuan negara dan bangsa di atas kepentingan sendiri.

Narasi ini kerap terlihat di banyak kegiatan dan media kampanye Prabowo dan Gibran Rakabuming Raka. “Marilah kita berkomitmen bersama untuk menyukseskan pemilihan umum yang akan datang, pemilihan yang kita ingin adalah pemilihan yang sejuk, rukun, penuh kekeluargaan, penuh perdamaian,” ucap Prabowo saat mendaftar di Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 25 Oktober 2023 silam.

Tidak hanya narasi damai, kampanye Prabowo-Gibran juga kerap dipenuhi dengan narasi sentimental. Dalam Debat Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, misalnya, Prabowo kerap dinarasikan sebagai sosok yang tetap sabar meskipun lawan-lawan politiknya, Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo, menyerangnya secara habis-habisan.

Mengapa narasi yang penuh perasaan ini menjadi penting bagi Prabowo? Apakah ini rahasia utama dari kampanye Prabowo selama ini?

Menyoal Simpati Politik

Ketika ada orang atau kelompok lain yang tersakiti, tidak jarang perasaan iba dan peduli juga ikut muncul. Sifat manusia yang peduli dengan sesama ini sebenarnya sudah tertanam dalam sifat alamiah manusia.

Bukan tidak mungkin, sifat alamiah ini juga bisa dimunculkan dalam politik. Perasaan emosi yang sama seperti ini bisa memengaruhi opini publik atas seseorang atau kelompok lainnya.

Joseph Hankins, dengan mengutip David Hume dan Adam Smith, dalam tulisannya yang berjudul “Living Together: Sympathy and the Practice of Politics” menjelaskan bahwa simpati adalah perasaan yang sama terhadap sesama (fellow-feeling).

Dalam simpati, orientasi emosional yang dirasakan oleh seseorang atau suatu kelompok bisa berpindah. Perasaan ini akhirnya bisa memunculkan rasa peduli atau rasa kasih sayang (compassion).

Salah satu politikus yang pernah menggunakan simpati politik adalah Nelson Mandela. Mendiang mantan presiden Afrika Selatan (Afsel) ini kala itu dihadapkan oleh situasi negaranya yang terpecah belah antar-etnis dan antar-ras pasca-politik apartheid.

Alih-alih menekankan pada kesalahan kelompok etnis tertentu, Mandela mendorong narasi memaafkan dan rekonsiliasi demi masa depan Afsel. Pesan-pesan inipun akhirnya diterima oleh kelompok-kelompok di sana, baik kelompok kulit putih maupun kelompok berkulit gelap.

Akhirnya, upaya Mandela untuk menarik simpati politik dari masyarakat Afsel berhasil. Narasi untuk rekonsiliasi dan memaafkan ini terejawantahkan dalam mekanisme rekonsiliasi konflik yang bersejarah, yakni melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (TRC).

Bukan tidak mungkin, narasi-narasi yang menarik simpati politik ini juga dilakukan oleh Prabowo. Dalam banyak narasi, Prabowo memang terlihat berusaha memposisikan diri dengan publik, menjadikan dirinya lebih relatable kepada khalayak umum.

Narasi simpati ini juga digunakan oleh Prabowo dan tim-tim kampanyenya di media sosial (medsos), khususnya TikTok. Video sejumlah anak muda yang menangis, misalnya, menjadi cara untuk menarik sentimen dari pengguna medsos yang mengambil porsi besar dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.

Namun, mengapa narasi simpatik dan perdamaian ala Prabowo ini begitu berhasil di Indonesia? Mungkinkah komunikasi politik serupa juga bisa digunakan di kasus berbeda, misal oleh politisi di negara lain?

Politik Baper ala Prabowo?

Bukan tidak mungkin, komunikasi politik yang dipenuhi dengan narasi simpatik seperti ini bisa sesuai karena budaya politik yang dianut oleh masyarakat Indonesia. Bisa jadi, Prabowo menyadari hal ini.

Mengacu pada tulisan Michael Hatherell dan Alistair Welsh yang berjudul “Rebel with a Cause: Ahok and Charismatic Leadership in Indonesia”, budaya politik yang mendominasi dalam praktik dan diskursus politik Indonesia adalah budaya politik Jawa.

Budaya politik ini akhirnya melahirkan nilai-nilai yang berpusat pada toleransi. Norma-norma untuk bersikap halus dan tidak konfrontatif menjadi nilai utama dalam budaya politik Jawa.

Sikap dan tata tutur yang kasar, seperti gestur tiba-tiba, pidato yang keras, hingga tindakan grusa-grusu kerap dipandang sebagai sikap-sikap “mengacau” sehingga dinilai mengganggu keseimbangan. 

Hatherell dan Welsh-pun mencontohkan mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (BTP) alias Ahok sebagai salah satu contoh politikus yang berseberangan dengan nilai-nilai ini. Tidak sedikit dari publik menilai gaya konfrontatif Ahok adalah hal yang buruk.

Gaya komunikasi politik yang konfrontatif sebenarnya juga digunakan oleh Prabowo dalam sejumlah pilpres sebelumnya. Pada Pilpres 2019, misalnya, sebuah video berisikan Prabowo yang menggebrak podium pernah menjadi meme dan pembahasan di medsos.

Sebenarnya, gebrakan podium ini juga bisa tergolong dalam politik simpati. Presiden ke-45 Amerika Serikat (AS) Donald Trump, misalnya, menggunakan politik simpati yang didasarkan pada keresahan dan rasa frustrasi dari kelompok menengah ke bawah masyarakat AS.

Tidak jarang, Trump juga menggunakan ketakutan dan amarah untuk menyulut emosi para pendukungnya. Namun, politik simpati semacam ini belum tentu bisa digunakan pada masyarakat Indonesia. 

Bukan tidak mungkin, ini mengapa akhirnya Prabowo kini menggunakan politik simpati yang berkesesuaian dengan budaya politik Jawa. Narasi perdamaian dan kerukunan yang kerap dilontarkan Prabowo menjadi salah satu contoh politik simpati yang sejalan.

Hal yang sama juga pernah dibahas dalam tulisan PinterPolitik.com yang berjudul “Prabowo Kalah Karena Kurang ‘Jawa’?”. Dalam tulisan itu, dijelaskan bahwa Prabowo membutuhkan nilai-nilai yang sejalan agar bisa memenangkan pilpres.

Well, pada akhirnya, istilah zaman sekarang baper (bawa perasaan) bukanlah hal yang hanya digunakan sebagai bahasa gaul saja. Dalam politik, penggunaan perasaan agar baper ini bisa jadi krusial, setidaknya bagi Prabowo dalam Pilpres 2024. Bukan begitu? (A43)


Baca juga :  Indonesia First: Doktrin Prabowo ala Mearsheimer? 
spot_imgspot_img

#Trending Article

Kok Megawati Gak Turun Gunung?

Ketua Umum (Ketum) PDIP, Megawati Soekarnoputri hingga kini belum terlihat ikut langsung dalam kampanye Pilkada. Kira-kira apa alasannya? 

Berani Prabowo Buka Pandora Papers Airlangga?

Ramai-ramai bicara soal kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen yang disertai dengan protes di media sosial, tiba-tiba juga ramai pula banyak akun men-share kembali kasus lama soal nama dua pejabat publik – Airlangga Hartarto dan Luhut Pandjaitan – yang di tahun 2021 lalu disebut dalam Pandora Papers.

“Sekolam” Ahok, Kesaktian Anies Luntur?

Keputusan Anies Baswedan meng-endorse Pramono Anung-Rano Karno di Pilkada Jakarta 2024 memantik interpretasi akan implikasi politiknya. Utamanya karena Anies pada akhirnya satu gerbong dengan eks rivalnya di 2017 yakni Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan PDIP serta tendensi politik dinasti di dalamnya, termasuk yang terjadi pada Pramono.

Siasat Prabowo Akui Sengketa LCS

Pemerintahan Prabowo disorot karena ‘akui’ klaim tumpang tindih LCS dalam joint statement Tiongkok. Mungkinkah ada siasat strategis di baliknya?

Rahasia Triumvirat Teddy, AHY, dan Hegseth?

Terdapat kesamaan administrasi Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump dengan Presiden Prabowo Subianto, yakni mempercayakan posisi strategis kepada sosok berpangkat mayor. Kiranya, terdapat rahasia tertentu di balik kesamaan itu yang dapat mendukung support dalam dimensi tertentu ke pemerintahan masing-masing. Mengapa demikian?

Anies Di-summon PKS!

Ahmad Syaikhu in a battle against Dedi be like, “I summon Anies Baswedan!”  #Anies #AniesBaswedan #PilkadaJawaBarat #AhmadSyaikhu #IlhamHabibie #PKS #pinterpolitik #infografis #politikindonesia #beritapolitik #beritapolitikterkini

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

More Stories

Siasat Prabowo Akui Sengketa LCS

Pemerintahan Prabowo disorot karena ‘akui’ klaim tumpang tindih LCS dalam joint statement Tiongkok. Mungkinkah ada siasat strategis di baliknya?

Prabowo, Kunci Kembalinya Negara Hadir?

Dalam kunjungan kenegaraan Prabowo ke Tiongkok, sejumlah konglomerat besar ikut serta dalam rombongan. Mungkinkah negara kini kembali hadir?

Prabowo dan “Kebangkitan Majapahit”

Narasi kejayaan Nusantara bukan tidak mungkin jadi landasan Prabowo untuk bangun kebanggaan nasional dan perkuat posisi Indonesia di dunia.