HomeNalar PolitikSimpang Siur Suara Yusril

Simpang Siur Suara Yusril

Heboh, kata Yusril, Jokowi sudah bisa digulingkan dari jabatan presidennya karena besarnya utang negara sudah melebihi batas yang ditentukan. Usut punya usut, pernyataan tersebut justru bertentangan dengan kenyataan dan aturan yang dimaksud. Simpang siurnya suara Yusril tersebut mirip dengan simpang siurnya nasib Yusril di dunia politik tanah air.


Pinterpolitik.com

“[dropcap size=big]U[/dropcap]tang Indonesia sudah di atas 50 persen mestinya Presiden sudah bisa impeachment. Jadi Jokowi baiknya mengeluarkan Perppu supaya hutang ‎negara bisa melebihi 50 persen.”

Kalimat tersebut diucapkan oleh Yusril Ihza Mahendra, Selasa (25/7/2017), di Gedung Bank Bukopin, Jakarta. Menurut Yusril, masyarakat bisa melakukan penggulingan terhadap Presiden Jokowi karena pemerintah telah melanggar Undang-undang (UU) Keuangan yang membatasi total utang pemerintah secara keseluruhan tidak boleh melebihi 30 persen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Didengar sekilas, pernyataan Yusril memang mengagetkan. Namun demikian, ucapannya itu bukan berarti tidak mengandung kontroversi. Pertama, soal persentase utang negara. Menurut Yusril, utang Indonesia sudah di atas 50 persen. Padahal, menurut Menteri Keuangan, Sri Mulyani, April 2017 silam, utang Indonesia saat ini ‘hanya’ berada di angka 27 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) yang sebesar Rp 12.406 triliun.

Kedua, soal Undang-undang Keuangan Negara. Menurut Yusril, batas utang negara adalah sebesar 50 persen. Sebaliknya, jika menilik aturan tentang utang negara yang tercantum dalam Undang-undang Undang-undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, pernyataan Yusril tidak tepat. Pasal 12 ayat 3 UU tersebut menyebutkan, “Jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60% dari Produk Domestik Bruto.”

Dari sini dapat dilihat bahwa, pernyataan Yusril baik tentang nominal utang negara maupun batas maksimum yang dapat diambil pemerintah bertolak belakang dengan kenyaatan dan aturan yang ada. Dan dengan demikian, gembar-gembor Yusril tentang impeachment presiden tidak akan bermakna apa-apa lagi. Lantas, apa maksud Yusril berkata demikian? Apakah dia hanya ingin menyenggol kuasa yang sedang dipegang Jokowi-JK?

Kiprah Penulis Pidato Presiden

Pria kelahiran Belitung Timur, 5 Februari 1956, itu memang bukan pemain baru di dunia politik Indonesia. Dia pernah menjadi penulis pidato tiga presiden, dari Soeharto, B.J. Habibie, hingga Susilo Bambang Yudhoyono. Yusril mengaku, dia lah penulis teks pidato pernyataan Soeharto berhenti dari jabatan Presiden Indonesia, Mei 1998. Namanya juga sempat diajukan sebagai calon presiden usungan Poros Tengah yang dibentuk Amien Rais saat sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 1999. Namun, ia mengurungkan niatnya setelah Amien lebih mengedepankan Abdurrahman Wahid (Gus Dur). “Daripada saya ribut dengan orang NU, silakan Gus Dur jadi presiden,” kata Yusril kepafa Marissa Anita dalam program Indonesia Satu.

Sebelum terjun ke dunia politik, Yusril berkarir sebagai pengajar di UI pada mata kuliah Hukum Tata Negara, Teori Ilmu Hukum, dan Filsafat Hukum dan dari universitas itu juga ia mendapat gelar Guru Besar Ilmu Hukum. Salah satu buku yang pernah ditulis Yusril berjudul Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam: Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jamaat-i-Islami (Pakistan) (Jakarta: Paramadina, 1999).

Baca juga :  Ridwan Kamil dan "Alibaba Way"

Selain sebagai penulis pidato presiden, Yusril juga pernah menjabat sebagai Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia era Gus Dur, Menteri Hukum dan Perundang-undangan era Megawati, dan Menteri Sekretaris Negara Indonesia era SBY.Simpang Siur Suara Yusril

Bulan Bintang Jatuh

Hukum dan Islam memang sulit dipisahkan dari kehidupan Yusril. Cicit dari bangsawan Kesultanan Johor, Haji Thaib, ini menempuh studi sarjana di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI). Lalu, ia melanjutkan studi magister di University of the Punjab, Pakistan kemudian doktoral di Ilmu Politik Universitas Sains Malaysia. Pada tahun 1998, Yusril mendirikan Partai Bulan Bintang (PBB), sebuah partai berasas Islam  yang hendak meneruskan cita-cita partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).

“Partai ini dimaksudkan untuk membangun kembali kekuatan politik Islam modern di Indonesia, Nama Bulan Bintang menggambarkan bahwa partai ini bermaksud untuk menghimpun kembali kekuatan para pendukung eks Masyumi yang dibubarkan Soekarno di tahun 1960. Partai memang menimba inspirasi dan pengalaman Masyumi di masa lalu, dengan tentu memperhatikan sungguh-sungguh situasi yang sudah berubah,” ujar Yusril seperti dilansir dari buku Peran Yusril Ihza Mahendra Dalam Partai Bulan Bintang Di Indonesia Pada Tahun 1998-2009 yang ditulis oleh Neneng Komariah.

Pada Pemilu 1999, PBB memperolah suara 2 persen dan meningkat pada Pemilu 2004 menjadi 2,62 persen. Pada tahun 2004 itu pula PBB mampu merajai perolehan suara di Provinsi Bangka Belitung sebagai partai pemenang. Namun, pada pemilu selanjutnya, suara PBB tidak pernah melebihi 2 persen. Pada Pemilu 2009, PBB hanya meraih 1,7 persen dan menurun pada Pemilu 2014 menjadi 1,46 persen. Hal tersebut juga menyebabkan, saat ini, tidak ada wakil PBB di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) karena partai tersebut tidak lolos parliamentary threshold yang ditetapkan sebesar 3,5 persen pada Pemilu 2014. Padahal, PBB sudah mantap mendeklarasikan Yusril sebagai calon presiden.

Kegagalan pencalonan Yusril juga terulang di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2017. Yusril batal maju calon gubernur lantaran tidak ada pertai besar lain yang mendukungnya. “Yusril ditolak dianggap Ketum PBB, jadi aneh kalau ketum PBB kita dukung, sementara dia tidak punya kursi di DKI. Yang kedua, dia dianggap agak sombong,” ucap Wakil Ketua Umum Partai Demokrat, Syarief Hasan, September 2016.

Menurut pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Ikrar Nusa Bakti, menurunnya perolehan suara PBB mungkin disebabkan oleh Yusril yang terlalu sibuk dengan urusan firma hukumnya, Ihza & Ihza Law Firm. Hal tersebut menyebabkan Yusril kurang melakukan kunjungan ke daerah-daerah untuk kemudian membangkitkan kembali semangat kader PBB. Selain itu, Ikrar juga mengkritik strategi PBB yang berusaha meraup dukungan dari suara golongan Muslim perkotaan.

“Kalau PBB mau bangkit sebetulnya bukan cuma Muslim-muslim di daerah kantong-kantong perkotaan yang sekarang mereka juga harus bertarung dengan Partai Amanat Nasional, tapi juga di daerah kantong-kantong pedesaan mereka juga harusnya giat,” ujar Ikrar.

Baca juga :  Rahasia Triumvirat Teddy, AHY, dan Hegseth?

Mendekat ke Prabowo

Yusril memang penulis pidato presiden, tapi hanya Megawati yang dia tidak layani. Pada Pilpres 2014 pun Yusril menolak bergabung dengan Jokowi dan PDIP. Dia dan PBB lebih memilih masuk dalam Koalisi Merah Putih yang mendukung Prabowo-Hatta.

Beberapa bulan selepas Jokowi dan Jusuf Kalla dilantik sebagai presiden dan wakil presiden, Yusril mengkritik tiga kartu sakti program pemerintah  – Kartu Indonesia Pintar (KIP), Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Keluarga Sejahtera (KJS). Menurut Yusril, penerbitan dasar hukum tiga kartu tersebut tidak jelas. “Penerbitan dan pendistribusian tiga kartu itu harus jelas dasar hukumnya. Karena mengelola negara bukan seperti mengelola warung,” kata Yusril, Kamis (6/11/2014).

Baru-baru ini, selain soal utang negara dan impeachment, Yusril juga menentang kebijakan Perppu Ormas dan ketentuan presidential threshold (Pres-T) 20 persen kursi dan 25 persen suara sah nasional yang disahkan dalam UU Pemilihan Umum (UU Pemilu). Aturan yang sama juga ditentang oleh partainya Prabowo, Gerindra. Saat ini pun, Yusril juga menjadi kuasa hukum Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) guna menghadapi upaya pembubaran organisasi tersebut oleh pemerintah melalui Perppu Ormas.

Menurut Yusril, Pres-T tidak dapat diterapkan karena Mahkamah Konstitusi (MK) sudah memutuskan bahwa Pemilihan Umum Legislatif (Pemilu) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun 2019 digelar serentak. Sementara soal Perppu Ormas, Yusril menyebutnya sebagai aturan penjajah. “Ketentuan seperti ini sepanjang sejarah hukum di negeri kita sejak zaman penjajahan Belanda sampai zaman Orde Lama, Orde Baru dan reformasi belum pernah ada, kecuali di zaman Presiden Jokowi ini,” ujar Yusril.

Melihat situasi di atas, ada beberapa hal yang dapat dibaca terkait langkah politik Yusril. Pada Pilpres 2019 yang berselang dua tahun lagi, kabarnya, Jokowi masih dijagokan sebagai calon presiden. Kerasnya sikap Yusril terhadap pemerintah Jokowi bisa jadi cara dia untuk menunjukkan kelemahan petahana nanti, sekaligus langkah mempererat kerja samanya dengan Prabowo dan Gerindra. Sementara itu, guna menyikapi kecilnya suara PBB di Pemilu, Yusril mencoba menggandeng HTI, berhubung PBB dan HTI sama-sama berbasis massa Muslim.

Tepat atau tidaknya langkah Yusril tersebut, yang jelas, ke depan, tantangan yang mesti dihadapi PBB semakin berat. Angka parliamentary threshold Pemilu 2019 naik menjadi 4 persen. Sementara itu, Pres-T ditetapkan 20 persen. Sebagai partai kecil, jika ingin mengajukan calon presiden, mau tidak mau PBB harus berkoalisi. Mengingat kecilnya suara PBB, peluang Yusril dilirik sebagai calon presiden, dan bahkan calon wakil presiden, pun amat tipis. Mampukah Yusril dan PBB menghadapi hal tersebut? Berikan pendapatmu.

(H31)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Rahasia Triumvirat Teddy, AHY, dan Hegseth?

Dengarkan artikel ini: Dibuat dengan menggunakan AI. Terdapat kesamaan administrasi Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump dengan Presiden Prabowo Subianto, yakni mempercayakan posisi strategis kepada sosok...

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

Paloh Pensiun NasDem, Anies Penerusnya?

Sinyal “ketidakabadian” Surya Paloh bisa saja terkait dengan regenerasi yang mungkin akan terjadi di Partai NasDem dalam beberapa waktu ke depan. Penerusnya dinilai tetap selaras dengan Surya, meski boleh jadi tak diteruskan oleh sang anak. Serta satu hal lain yang cukup menarik, sosok yang tepat untuk menyeimbangkan relasi dengan kekuasaan dan, plus Joko Widodo (Jokowi).

Prabowo, Kunci Kembalinya Negara Hadir?

Dalam kunjungan kenegaraan Prabowo ke Tiongkok, sejumlah konglomerat besar ikut serta dalam rombongan. Mungkinkah negara kini kembali hadir?

Prabowo dan “Kebangkitan Majapahit”

Narasi kejayaan Nusantara bukan tidak mungkin jadi landasan Prabowo untuk bangun kebanggaan nasional dan perkuat posisi Indonesia di dunia.

Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sama seperti Donald Trump, Prabowo Subianto kerap diproyeksikan akan terapkan kebijakan-kebijakan proteksionis. Jika benar terjadi, apakah ini akan berdampak baik bagi Indonesia? 

The War of Java: Rambo vs Sambo?

Pertarungan antara Andika Perkasa melawan Ahmad Luthfi di Pilgub Jawa Tengah jadi panggung pertarungan besar para elite nasional.

More Stories

Elit Politik Di Balik Partai Syariah 212

Bermodal ikon '212', Partai Syariah 212 melaju ke gelanggang politik Indonesia. Apakah pembentukan partai ini murni ditujukan untuk menegakan Indonesia bersyariah ataukah hanya sekedar...

Blokir Medsos, Kunci Tangani Terorisme?

Kebijakan pemerintah memblokir Telegram menuai pujian dan kecaman. Beberapa pihak menilai, hal tersebut merupakan bentuk ketegasan pemerintah terhadap mereka yang turut memudahkan jaringan terorisme...

Gatot dan Polemik Hak Politik Militer

Panglima TNI mewacanakan diberikannya kembali hak politik bagi prajurit TNI. Cita-cita institusi atau ambisi pribadi? Pinterpolitik.com Ketakutan akan kembalinya hegemoni militer atas kehidupan bermasyarakat Indonesia kembali...