HomeHeadlineSilent Majority, “Meledak” ke Prabowo-Gibran? 

Silent Majority, “Meledak” ke Prabowo-Gibran? 

Dengarkan Artikel Ini:

Audio ini dibuat menggunakan AI

Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 menunjukkan adanya fenomena kelompok silent majority yang dinilai berpihak pada pasangan calon (paslon) nomor urut dua Prabowo-Gibran. Mengapa demikian? 


PinterPolitik.com 

Hasil hitung cepat atau quick count Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 menyatakan pasangan calon (paslon) nomor urut dua Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka unggul jauh diantara kandidat lainnya. 

Dari hasil quick count beberapa lembaga, Prabowo-Gibran memperoleh rentang perolehan mulai dari 56 hingga 59 persen suara nasional. 

Ini jauh dibandingkan dengan hasil survei elektabilitas beberapa hari jelang Pilpres 2024 diselenggarakan, di mana Prabowo-Gibran hanya meraih 50 hingga 52 persen suara. 

Ketua Tim Kampanye Daerah (TKD) Jawa Barat (Jabar) Prabowo-Gibran, Ridwan Kamil (RK) mengucapkan terima kasih kepada masyarakat yang telah memilih paslon nomor urut dua itu. 

Menariknya, RK menyebut jika fenomena silent majority telah menunjukkan pengaruhnya di Pilpres 2024.

pks tantang ridwan kamil

Fenomena silent majority pernah digambarkan dalam serial televisi “The West Wing” yang tayang mulai tahun 1999 sampai tahun 2006 lalu. 

Serial ini mengikuti kisah Presiden Amerika Serikat (AS) dan stafnya yang berdedikasi saat mereka menjalankan tugas negara dan menghadapi berbagai tantangan politik dan pribadi. 

Selama delapan musim, “The West Wing” menggambarkan berbagai isu politik dan sosial yang relevan pada masanya dan tampaknya tetap relate dengan zaman sekarang ini. 

Hal itu termasuk kebijakan dalam dan luar negeri, kampanye pemilu, perang, masalah etika, serta hubungan antara pemerintah dan media. 

“The West Wing” menciptakan narasi tentang bagaimana keputusan politik yang diambil oleh pemerintah. 

Meskipun mungkin tidak selalu populer di kalangan khalayak umum, sering kali keputusan itu didasarkan pada keyakinan bahwa hal tersebut akan mendukung kepentingan mayoritas publik yang diam dan mungkin tidak bersuara secara langsung. 

Jika serial “The West Wing” direfleksikan pada kejadian politik Indonesia saat ini, mungkin saja apa yang dialami oleh Prabowo-Gibran selama masa kampanye bisa menggambarkan apa yang terjadi dalam serial tersebut. 

Terutama terkait dengan keputusan yang kiranya menjadi kepentingan mayoritas publik, seperti solusi mengatasi tingginya angka stunting di Indonesia. 

Dalam visi misi mereka, Prabowo-Gibran mencanangkan program makan siang dan susu gratis bagi anak Indonesia untuk mengatasi hal itu. 

Program yang kiranya tidak populer ini menimbulkan kontroversi di khalayak umum karena berkaitan dengan anggaran yang terbatas. 

Baca juga :  The War of Jakarta: Presidents vs Governors  

Namun, program ini tetap diyakini sebagai solusi mengatasi stunting oleh paslon nomor dua itu, dan juga akan mendukung kepentingan mayoritas masyarakat Indonesia. 

Meskipun menimbulkan banyak pertanyaan dan kontroversi di publik, jika melihat hasil quick count tampaknya program itu menjadi program yang banyak di dukung oleh masyarakat yang tidak aktif di medsos atau kelompok silent majority

Lantas, mengapa silent majority dapat berpengaruh dalam sebuah pemilihan umum (pemilu)? Utamanya bagi Prabowo-Gibran? 

Diam itu Emas? 

Silent majority merupakan istilah yang pertama kali dipopulerkan oleh Presiden AS ke-37 Richard Nixon pada tahun 1969. 

Nixon menggunakan istilah itu untuk merujuk pada kelompok mayoritas yang diam dan tidak menunjukkan pendapatnya di depan publik ketika menolak perang Vietnam untuk mendukungnya dalam pilpres. 

Nixon saat itu berjanji kepada masyarakat yang tampaknya setuju ini untuk menghentikan perang jika dirinya terpilih menjadi Presiden AS. Hasilnya pun, Nixon berhasil memenangkan Pilpres AS saat itu. 

Silent majority sendiri dapat diartikan sebagai kelompok mayoritas yang cenderung tidak terlibat secara aktif dalam aktivitas politik publik, namun memiliki pengaruh yang signifikan dalam pemilihan umum. 

Ilmuan sosial asal Jerman Elisabeth Noelle-Neumann dalam bukunya yang berjudul The Spiral of Silence: Public Opinion, Our Social Skin memperkenalkan teori spiral of silence yang berkaitan erat dengan istilah silent majority. 

Teori spiral of silence menguraikan bagaimana individu cenderung menahan diri untuk menyatakan pendapat yang berbeda dengan mayoritas, karena takut diisolasi atau diabaikan oleh masyarakat. 

Teori ini memprediksi bahwa orang-orang yang merasa bahwa pendapat atau sikap mereka berbeda dari yang dianggap mayoritas akan cenderung menahan diri untuk menyuarakan pendapat mereka. 

Sementara itu, orang-orang yang merasa bahwa pendapat atau sikap mereka sejalan dengan mereka yang dianggap mayoritas akan lebih berani untuk menyuarakan pendapat dan sikap mereka. 

Akibatnya, pendapat yang dianggap minoritas cenderung terkubur atau disilenced dalam masyarakat, sementara pendapat yang dianggap mayoritas semakin kuat. 

Meskipun teori spiral of silence ini tidak secara langsung berkaitan dengan konsep silent majority, keduanya memiliki hubungan yang relevan dalam konteks dinamika opini publik dan politik. 

Silent majority sering kali dianggap sebagai mayoritas diam yang mungkin merasa terdorong untuk tetap diam atau menahan diri dalam menyatakan pendapat mereka karena tekanan sosial yang serupa seperti yang dijelaskan dalam teori spiral of silence

Baca juga :  Last Battle for the Swing Voters

Fenomena ini tampaknya memang benar-benar terjadi di Pilpres 2024 saat berkaca pada hsil quick count semua lembaga survei kredibel. Dalam hal ini, paslon yang merasakan dampak positif dari fenomena silent majority ini adalah Prabowo-Gibran. 

Lalu, siapa saja para silent majority ini sebenarnya? 

infografis bali didominasi prabowo

Kamuflase Undecided Voters? 

Para pendukung yang menjadi bagian dari silent majority ini tampaknya adalah mereka yang selama ini menjadi pemilih yang belum pasti menentukan pilihan mereka atau undecided voters. 

Selain itu, silent majority pun kemungkinan adlah mereka yang merasa khawatir untuk “diasingkan” oleh lingkungan sosialnya, baik di dunia maya maupun nyata, jika memilih Prabowo-Gibran karena alasan tertentu,. 

Hal ini bukan tidak mungkin membuat mereka “berkamuflase” menjadi undecided voters dalam survei elektabilitas sebelum Pilpres 2024. 

Bukti dari keberadaan silent majority ini kiranya bisa terlihat dari hasil survei lembaga analisis medsos, Drone Emprit pada bulan Februari pasca debat terakhir Pilpres 2024.  

Hasil survei itu menunjukkan bahwa Anies mendapat sentimen positif terbesar di media sosial sebesar 86 persen, sementara Prabowo mendapatkan sentimen negatif tertinggi sebesar 48 persen. 

Bahkan, dalam kampanye akbar hari terakhir di Jakarta, lokasi kampanye Anies di Jakarta International Stadium (JIS) mendapat interaksi tertinggi di platform medsos Twitter/X dengan 77 persen. 

Dibandingkan dengan Gelora Bung Karno (GBK) yang menjadi lokasi kampanye akbar Prabowo yang hanya mendapat interaksi sebesar 23 persen di platform medsos X. 

Berdasarkan hasil analisis Drone Emprit dan hasil quick count Pilpres 2024 kiranya memperkuat pernyataan Ridwan Kamil yang menyatakan jika mereka yang termasuk silent majority telah merubah arah politik nasional dengan keputusan mereka pada hari pencoblosan kemarin. 

Hal ini bisa dilihat survei Litbang Kompas pada Desember 2023, misalnya, mencatat angka pemilih bimbang atau undecided voters Pilpres 2024 mencapai 28,7 persen. 

Sementara itu, Arus Survei Indonesia (ASI) menyebut pemilih yang masih dapat berubah atau swing voters mencapai 44 persen. 

Dengan jumlah tersebut, bisa dilihat betapa berpengaruhnya para undecided dan swing voters jika benar menjadi silent majority yang mendukung Prabowo-Gibran. 

Hal ini menunjukkan bahwa meskipun diam dalam publik, silent majority kiranya memang memiliki pengaruh yang signifikan dalam hasil Pilpres 2024. (S83) 

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Ketua DPR, Golkar Lebih Pantas? 

Persaingan dua partai politik (parpol) legendaris di antara Partai Golkar dan PDIP dalam memperebutkan kursi Ketua DPR RI mulai “memanas”. Meskipun secara aturan PDIP paling berhak, tapi beberapa pihak menilai Partai Golkar lebih pantas untuk posisi itu. Mengapa demikian?

Anies “Alat” PKS Kuasai Jakarta?

Diusulkannya nama Anies Baswedan sebagai calon gubernur (cagub) DKI Jakarta oleh PKS memunculkan spekulasi jika calon presiden (capres) nomor urut satu ini hanya menjadi “alat” untuk PKS mendominasi Jakarta. Benarkah demikian?

Pemilu 2024, Netralitas Jokowi “Diusik” PBB? 

Dalam sidang Komite Hak Asasi Manusia (HAM) PBB, anggota komite Bacre Waly Ndiaye mempertanyakan netralitas Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait lolosnya Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden (cawapres) dari Prabowo Subianto. Lalu, apa yang bisa dimaknai dari hal itu?