Pasca aksi teror yang terjadi di Surabaya dan Sidoarjo, muncul perdebatan terkait sinergi di lembaga intelijen yang tidak terjadi. Akibatnya, kejadian tersebut tidak diprediksi dan ketakutan yang timbul di masyarakat seolah sama dengan yang terjadi pada abad pertama masehi.
PinterPolitik.com
“Nothing, nothing justifies terrorism.”
:: Mahmoud Darwish (1941-2008), sastrawan Palestina ::
[dropcap]K[/dropcap]etika Imam Besar Jonathan dibunuh dalam sebuah aksi teror, semua mata mengarah pada Sicarii, kelompok “teroris” pertama yang tercatat dalam sejarah, yang hidup pada abad pertama masehi. Mereka disebut “teroris” karena aksi kelompok ini adalah berjuang bagi kemerdekaan orang-orang Yahudi dari penguasa Romawi.
Namun, karena aksi tersebut dilakukan di muka umum dengan teknik membunuh menggunakan sicea (pisau kecil), ketakutan yang ditimbulkan oleh kelompok ini begitu terasa di masyarakat.
Ketakutan itu baru terulang sepuluh abad kemudian ketika di wilayah Persia muncul kelompok “teroris” lain yang disebut Hashâshīn – dalam budaya pop lebih dikenal sebagai Order of Assassins. Ini sama halnya dengan kemunculan para Ninja di akhir era Shogun Ashikaga, menjelang awal kejayaan era Shogun Tokugawa pada abad ke-15.
Kini, kisah ketakutan yang ditimbulkan oleh kelompok-kelompok sejenis Sicarii seolah sedang melanda Indonesia. Dalam beberapa hari terakhir, pemberitaan di media massa dan pergunjingan di media sosial penuh dengan aksi pengeboman yang terjadi di beberapa gereja dan kantor polisi di Surabaya dan Sidoarjo, Jawa Timur. Hingga tulisan ini dibuat, aksi-aksi teror ini menewaskan total 21 orang, dengan 9 orang di antaranya merupakan pelaku.
Kejadaian ini menegaskan bawha pemeri tah gagal melindungi warganya. Kecolongan Berkali-kali. Terlihat adanya kelemahan. Fungsi Intelijen dipertanyakan. BIN ngapain ??
— Irvandi Azlin (@irvandiazlin) May 14, 2018
Layaknya aksi terorisme pada umumnya, kini kecemasan melanda masyarakat di berbagai daerah. Walaupun dalam konteks yang berbeda dengan kisah Sicarii, Hashâshīn, maupun Ninja, luapan kecemasan ini membuat banyak pihak mempertanyakan posisi negara. Apakah negara telah gagal memberikan rasa aman pada masyarakat?
Akibat ketidakmampuan aparat mendeteksi aksi yang demikian, kritik pun bermunculan. Salah satunya datang dari Ketua Umum Partai Nasdem, Surya Paloh yang mengkritik Badan Intelijen Negara (BIN) yang disebutnya gagal melaksanakan fungsinya dalam mengidentifikasi teror tersebut secara dini.
Ia bahkan menyebut kejadian ini bukanlah “kecolongan”, melainkan “kelalaian”. Ini sekaligus menegaskan bahwa kelompok teroris berhasil meng-outmaneuver – menghindari atau mengelabui – aparat penegak hukum, termasuk lembaga intelijen. Perdebatan baru pun muncul, apa benar intelijen gagal melaksanakan fungsinya? Benarkah intelijen Indonesia “lemah”?
Teror, Kegagalan Intelligent Community
Pemerintah melalui Kepala Staf Presiden, Moeldoko dan Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo membantah tudingan bahwa aksi pengeboman di beberapa tempat tersebut membuktikan lemahnya intelijen Indonesia. Keduanya beralasan kasus seperti ini terjadi mendadak. Negara-negara maju sekalipun masih sering kecolongan aksi-aksi teror dan pengeboman.
Namun, jika berkaca ke belakang, nyatanya tuduhan lemahnya kerja intelijen ini juga muncul saat bom Sarinah terjadi awal 2016 lalu. Saat itu BIN yang masih dipimpin oleh Sutiyoso juga dianggap gagal melaksanakan tugas dan fungsinya. Sutiyoso beralasan bahwa kewenangan BIN sangat lemah karena tidak diperbolehkan melakukan penangkapan terduga teror – walaupun beberapa pihak mengkritik pernyataan ini karena masih menggunakan pendekatan intelijen gaya lama.
Mantan Asisten dan Juru Bicara Kepala BIN, Muchyar Yara dalam wawancara dengan PinterPolitik justru menyoroti hal yang berbeda. Menurutnya, aksi-aksi teror yang terjadi belakangan ini punya korelasi yang sangat kuat dengan tidak berjalannya revitalisasi kerja intelijen pasca reformasi.
Ia menuturkan bahwa ada dampak yang sangat besar ketika penanggulangan aksi-aksi teroris tidak lagi melibatkan TNI. Sebagai catatan, pasca Reformasi 1998, kewenangan untuk menindak aksi-aksi terorisme diberikan kepada Kepolisian. Masalahnya, pasca kepolisian mengambil alih tugas ini, dampaknya terasa pada ketersediaan informasi intelijen.
Menurut Muchyar, informasi dan data base terorisme yang dimiliki oleh Kepolisian tidaklah selengkap apa yang dimiliki oleh TNI. Faktanya, TNI – khususnya Angkatan Darat – telah mengumpulkan data base jaringan dan segala potensi atau riak yang mungkin muncul dari gerakan yang berbasis fundamentalisme agama ini, bahkan sejak gerakan separatisme yang ingin mendirikan negara Islam macam Darul Islam (DI) atau Tentara Islam Indonesia (TII) terjadi.
Data base terorisme ini punya fungsi yang sangat penting untuk mendeteksi potensi teror yang mungkin muncul. Menurut Muchyar, aksi-aksi terorisme yang terjadi saat ini punya hubungan yang sangat erat dengan gerakan sejenis di masa lampau, baik secara biologis maupun ideologis.
Secara biologis, sebagian besar pelaku teror saat ini punya hubungan darah atau kekerabatan dengan tokoh-tokoh gerakan serupa di masa lampau, sama halnya juga secara ideologis atau spiritualis. Kelebihan ini juga dapat terjadi karena dalam kurun waktu yang cukup lama, TNI telah “menginfiltrasi” organisasi atau kelompok yang berpotensi mendatangkan teror. Dengan demikian, pendeteksian aksi-aksi teror tentu saja lebih mudah dilakukan sejak dini.
Persoalannya, hal tersebut kini tidak lagi berkontribusi terhadap penanggulangan teror dalam negeri karena Kepolisian mendominasi pemberantasan terorisme. Sementara, TNI sangat sedikit dilibatkan di dalamnya.
Selain itu, pasca reformasi, revitalisasi kerja intelijen di bawah BIN tidak berjalan dengan baik. Informasi intelijen seputar terorisme tidak mampu disinergikan antara Badan Intelijen Strategis (BaIS) milik TNI, Badan Intelijen dan Keamanan Polri (Baintelkam Polri), serta intelijen di Imigrasi dan juga Kejaksaan.
Ada banyak faktor yang dapat menjadi penyebabnya, mulai dari tidak adanya mekanisme kerja sama yang diinginkan bersama, hingga karena masih adanya ego sektoral yang berbasis kepentingan masing-masing pihak.
Akibatnya, konsepsi yang dikenal sebagai intelligent community atau komunitas intelijen ini tidak juga berjalan sekalipun hal ini telah digariskan sejak pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Persoalan ini kemudian diperparah dengan berlarut-larutnya pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Anti Terorisme di DPR yang salah satu poin pembahasannya adalah terkait pelibatan TNI ke dalam gerakan pemberantasan terorisme tersebut.
Kalau saya boleh bilang, pemerintah beserta aparatur keamanan seperti polisi wabilkhusus intelijen telah gagal melindungi masyarakat. Padahal, projek penanggulangan terorisme dananya begitu besar.
— Herriy Cahyadi (@herricahyadi) May 13, 2018
Padahal, menurut Muchyar, sudah saatnya TNI kembali dilibatkan dalam gerakan pemberantasan terorisme ini karena ancaman teror yang ada saat ini bukan lagi hanya berhubungan dengan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Kamtibmas) saja, tetapi sudah melibatkan faktor dari luar.
Dengan demikian, gerakan anti terorisme yang ada saat ini tidak lagi sesuai dengan kondisi isu keamanan yang sedang terjadi. Hal ini sejalan dengan yang pernah disampaikan oleh Jenderal (Purnawirawan) Gatot Nurmantyo saat dirinya masih menjabat sebagai Panglima TNI. Gatot bahkan menyebut “bodoh” jika negara masih menggunakan Undang-Undang Anti Terorisme yang berlaku saat ini – tentu saja salah satunya dalam hubungan terciptanya komunitas intelijen tersebut.
Fakta bahwa TNI memiliki data base teroris yang jauh lebih lengkap tentu saja menjadi catatan utama. Persoalan revitalisasi lembaga intelijen ini juga mutlak dibutuhkan untuk mengembalikan sinergi antara semua aparat yang bertanggungjawab dalam pemberantasan terorisme.
Jika demikian, sangat mungkin persoalan ketiadaan sinergi antara lembaga-lembaga intelijen punya pengaruh yang besar terhadap menguatnya aksi-aksi terorisme belakangan ini.
Strategic Intelligent, Pelibatan TNI Mutlak?
Dalam konsep strategic intelligent, semua proses pengumpulan data, pemrosesan dan analisis adalah kerja yang utuh untuk menentukan langkah yang tepat dalam rangka menjaga keamanan nasional. Oleh karena itu, pelibatan TNI dalam mengatasi ancaman keamanan nasional yang demikian menjadi hal yang mutlak dibutuhkan.
Intelijen mungkin gagal mengatasi masalah ini, tetapi selayaknya hal tersebut menjadi catatan pentingnya intelligent community diciptakan. Stephen Marrin dalam tulisannya di jurnal Intelligence and National Security menyebut sangat penting adanya bagi sebuah negara untuk menciptakan intelligent community sebagai bagian dari upaya menciptakan keamanan nasional.
Dengan demikian, konsepsi intelijen strategis secara keseluruhan dapat tercipta. Faktanya, kerja intelijen yang baik dan maksimal akan berdampak bagi sebuah negara secara keseluruhan – demikian tulis J.M. Webb dalam reviewnya terhadap buku Intelligence Theory: Key Questions and Debates tulisan Peter Gill. Negara yang makmur dan berjaya adalah yang mampu memaksimalkan kerja intelijen dan memastikan situasi keamanan nasionalnya terkendali.
Memperkuat posisi TNI dalam pemberantasan terorisme memang mutlak diperlukan. Namun, skema keterlibatan tersebut perlu dipikirkan secara matang. Di negara demokrasi seperti Indonesia, mungkin sulit untuk memberikan kesempatan pada militer terlibat langsung menumpas terorisme. Tetapi, jika persoalan yang ada hanya melibatkan ketersediaan data base, tidak ada salahnya revitalisasi intelligent community ini diwujudkan, dan memberikan porsi yang lebih besar kepada TNI untuk terlibat.
Pada akhirnya, pemberantasan terorisme memang tidak bisa hanya dipercayakan pada satu stakeholder saja. Terorisme dari awal mulanya ada memang bertujuan untuk mendatangkan ketakutan kepada masyarakat.
Sicarii, Hashâshīn, Ninja, atau kisah fiksi tentang Akatsuki dalam komik, hingga aksi-aksi bom bunuh diri yang terjadi hari-hari ini merupakan perwujudan teror kepada masyarakat. Kerja intelijen mengambil peran yang penting dalam upaya ini. Tentu saja tujuannya untuk kembali memberikan rasa aman pada masyarakat karena seperti kata Mahmoud Darwish di awal tulisan ini, tidak ada hal yang membenarkan terorisme. (S13)