Sebuah perusahaan keamanan asal Israel mengungkapkan akan adanya malware yang disebut berasal dari Tiongkok yang mengincar untuk memata-matai pemerintah Indonesia. Mengapa Tiongkok ingin memata-matai Indonesia?
PinterPolitik.com
“Where there’s smoke, there’s fire” – James Bond, From Russia With Love (1963)
Bagi penggemar film laga (action), kisah yang menceritakan dunia intelijen dan mata-mata mungkin bukanlah plot film yang asing lagi. Tokoh mata-mata yang dikenal dengan kode 007 misalnya menjadi salah satu karakter film yang populer di berbagai belahan dunia sejak beberapa dekade yang lalu.
Dengan keahlian bela dirinya dan didukung berbagai teknologi, James Bond kerap beraksi untuk menyaring informasi – bahkan menyerang markas musuh. Bukan tidak mungkin aksi-aksi Bond ini membuat jantung kita berdebar-debar dengan banyaknya ancaman yang muncul dalam pekerjaannya.
Tak hanya James Bond, Ethan Hunt juga kerap beraksi di luar negeri demi negaranya yang tercinta. Franchise layar lebar yang dikenal sebagai Mission: Impossible tersebut sering kali berpusar pada Hunt dan kawan-kawannya yang menggunakan berbagai teknologi canggih ketika mengintograsi tahanan-tahanannya.
A cybersecurity company in Israel has identified the hacking software Aria-body as a weapon wielded by a group of hackers, called Naikon, that has previously been traced to the Chinese military https://t.co/eoE0tS39Lf
— The New York Times (@nytimes) May 7, 2020
Aksi mereka – baik Bond maupun Hunt – pasti terdengar seru dan asyik untuk ditonton. Namun, bagaimana bila aksi-aksi mereka ini juga didasarkan pada fenomena dan situasi di dunia nyata?
Mungkin, upaya spionase seperti Bond dan Hunt inilah yang tengah dilakukan oleh Tiongkok. Kabarnya, sebuah kelompok hacker Naikon – yang disebut berafiliasi dengan militer Republik Rakyat Tiongkok (RRT) – telah menyebarkan sebuah malware yang bernama Aria-body.
Malware ini disebut-sebut dapat mengambil informasi dari komputer pengguna yang terinfeksi. Selain itu, malware ini telah disebar ke Australia dan berbagai negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Di Indonesia sendiri, malware ini disebut-sebut telah mengincar beberapa lembaga negara, seperti Kementerian Luar Negeri (Kemlu) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Menanggapi ancaman malware ini, Kemlu akhirnya meminta pegawainya untuk berhati-hati dalam mengakses berbagai dokumen.
Desakan juga mencuat agar beberapa badan dan lembaga yang berkaitan dengan keamanan siber – seperti Badan Intelijen Negara (BIN) dan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) – dapat bergerak cepat dan tanggap dalam mengatasi masalah ini. Pasalnya, bukan tidak mungkin rahasia negara milik Indonesia dapat bocor ke tangan negara lain.
Namun, bila benar Tiongkok melakukan upaya spionase ini, mengapa negara tersebut menyasar Indonesia? Bukankah pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dikenal memiliki hubungan yang dekat dengan negara Tirai Bambu tersebut?Dinamika politik apa yang kira-kira mendasarinya?
Pentingnya Intelijen
Upaya untuk memata-matai yang diduga dilakukan oleh Tiongkok tentunya berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Bond dan Hunt. Tanpa harus mengirimkan agen yang ahli bela diri, negara Tirai Bambu tersebut bisa jadi telah mengulik informasi yang cukup strategis.
Dalam hubungan internasional, upaya untuk memata-matai ini juga sebenarnya bukanlah hal yang baru. Sejak lama, negara-negara – layaknya manusia pada umumnya – selalu memiliki rasa penasaran dan kecurigaan terhadap satu sama lain.
Hal inilah yang berusaha dijelaskan oleh Robert Jervis – profesor Hubungan Internasional dari Columbia University – dalam tulisannya yang berjudul Intelligence and International Politics. Dalam tulisan itu, dijelaskan bahwa dunia intelijen turut mengambil peran sentral dalam kebijakan dan hubungan luar negeri.
Negara-negara perlu meraba-raba dan mencari tahu siapa yang bisa menjadi teman dan siapa yang bisa berakhir sebagai musuh melalui informasi rahasia yang dimiliki oleh negara lain. Share on XBahkan, upaya untuk memata-matai dianggap sebagai salah satu instrumen yang kerap digunakan. Biasanya, motivasi yang mendasari upaya tersebut adalah untuk menyaring informasi yang dibutuhkan. Layaknya hubungan pertemanan pada umumnya, upaya untuk saling menyembunyikan cerita atau kisah antara satu sama lain kerap membuat ketidakpercayaan malah tumbuh. Alhasil, kita bisa saja mencurigai teman kita sendiri yang mungkin berbicara di belakang kita.
Refleksi pertemanan tersebut tentu juga terjadi dalam politik internasional. Pasalnya, dalam politik internasional, para aktor (seperti negara) perlu meraba-raba dan mencari tahu siapa yang bisa menjadi teman dan siapa yang bisa berakhir sebagai musuh melalui informasi rahasia yang dimiliki oleh negara lain.
Tentunya, tak hanya guna memuaskan rasa penasaran, informasi rahasia yang tersaring melalui jejaring mata-mata dan intelijen dapat memberikan kekuatan (power) tersendiri bagi penyaring informasi. Informasi sendiri memegang peran sentral dalam dinamika politik antarnegara.
Pentingnya perolehan informasi rahasia seperti ini dapat dicontohkan dengan upaya Inggris dalam Perang Dunia II. Guna mendapat posisi yang lebih menguntungkan, pemerintah Inggris akhirnya membangun sebuah komputer yang bekerja untuk memecahkan kode-kode informasi yang dimiliki oleh Jerman Nazi.
Dengan komputer atau mesin Enigma yang dibangun oleh Alan Turing, kode-kode rahasia yang disalurkan oleh Jerman Nazi dapat dipecahkan. Alhasil, Inggris mendapatkan keuntungan strategis tertentu dalam pertempuran-pertempurannya dengan negara yang kala itu dipimpin oleh Adolf Hitler.
Upaya pengulikan informasi seperti ini juga kerap digunakan oleh Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet dalam Perang Dingin. Melalui informasi intelijen, negara Paman Sam akhirnya mengetahui akan adanya potensi senjata nuklir Soviet di Kuba – berujung pada peristiwa Krisis Rudal Nuklir Kuba yang dikenal menegangkan.
Bila intelijen dan informasi rahasia begitu penting bagi sebuah negara – khususnya untuk memberikan keuntungan strategis, mengapa Tiongkok merasa perlu untuk mengintai Indonesia? Apa yang dimiliki negara kepulauan terbesar di Asia Tenggara ini sehingga membuat negara Tirai Bambu itu merasa perlu untuk mengulik informasi?
Tiongkok Mulai Insecure?
Seperti apa yang telah dijelaskan oleh Jervis, Tiongkok sebagai aktor politik internasional juga merasa perlu untuk mengetahui siapa-siapa saja yang dapat menjadi kawan maupun lawan. Dalam hal ini, Indonesia bisa jadi tak terkecualikan.
Boleh jadi, hal ini didasari oleh kebijakan-kebijakan luar negeri Indonesia sendiri. Seperti yang kita ketahui, Indonesia dan Tiongkok memiliki klaim yang tumpang tindih di Laut Natuna Utara – atau Laut China Selatan.
Klaim nine-dashed line milik Tiongkok disebut-sebut melintasi perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia di utara Kepulauan Natuna. Klaim yang tumpang tindih ini akhirnya berujung pada insiden-insiden di antara dua negara yang tak hanya sekali saja terjadi – yakni pada tahun 2016 dan akhir tahun 2019.
Bukan tidak mungkin informasi dan langkah pemerintah Indonesia dirasa perlu bagi kepentingan strategis Tiongkok. Apalagi, negara tersebut sempat mempermasalahkan penggantian nama wilayah itu yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia.
Namun, apakah hanya itu yang membuat Tiongkok merasa perlu? Apakah perubahan kebijakan luar negeri Indonesia turut memengaruhi?
Asumsi itu bisa saja turut menjadi motivasi untuk memata-matai Indonesia. Pasalnya, akhir-akhir ini, pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) disebut-sebut mulai “membuka diri” terhadap masuknya pengaruh AS di Indonesia.
Hal ini terlihat dari bagaimana AS disebut-sebut menjadi biang di balik pembatalan belanja persenjataan dan alat utama sistem pertahanan (alutsista) Indonesia dari Rusia dan Tiongkok. Kabarnya, pemerintah Indonesia membatalkan pembelian jet tempur dan sistem rudal dari Rusia, serta sejumlah kapal patroli dari Tiongkok.
Sebagai gantinya, AS tampaknya telah menawarkan beberapa alusista kepada Indonesia. Beberapa di antaranya adalah sejumlah pesawat F-35 produksi AS.
Tak mengherankan pula bila Tiongkok merasa semakin insecure dengan kedekatan Jokowi dan Presiden AS Donald Trump. Dalam sebuah percakapan telepon, presiden AS tersebut pun menjanjikan sejumlah mesin ventilator sebagai bagian dari penanganan pandemi virus Corona (Covid-19) di Indonesia.
Mungkin, akibat adanya kabar inilah, Tiongkok akhirnya baru-baru ini mengirimkan lagi beberapa bantuan – berupa alat pelindung diri (APD) dan alat medis lainnya – kepada Indonesia. Bantuan tersebut pun langsung disambut oleh Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto dan Duta Besar Tiongkok untuk Indonesia Xiao Qian.
Bukan tidak mungkin perubahan kebijakan luar negeri Jokowi ini menjadi salah satu motivasi bagi Tiongkok untuk melancarkan upaya spionase terhadap Indonesia. Terlebih, dalam beberapa tahun sebelumnya, negara tersebut telah menjalin hubungan yang lebih dekat dengan Indonesia di bawah masa pemerintahan Jokowi yang pertama.
Meski begitu, gambaran akan kemungkinan ini belum tentu benar terjadi. Pasalnya, hanya negara pelancar spionase itu sendiri yang mengetahui rahasia dan alasan di baliknya. Menarik untuk dinanti kelanjutan kisah mata-mata ini. (A43)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.