Site icon PinterPolitik.com

Siasat Tiongkok Dekati Provinsi

Presiden Tiongkok Xi Jinping (Foto: Bloomberg.com)

Presiden Tiongkok Xi Jinping (Foto: Bloomberg.com)

Sebagai mitra dagang dan investor terbesar kedua di Indonesia, Tiongkok mulai melirik potensi ekonomi di sejumlah provinsi di Nusantara. Bahkan beberapa tahun terakhir Tiongkok diketahui melakukan manuver dengan menjalin hubungan langsung dengan 12 provinsi di Indonesia. Apakah ada siasat tertentu di baliknya?


PinterPolitik.com

Hubungan yang terjalin antara Beijing dengan beberapa provinsi di Indonesia memang bukanlah hal yang baru. Seperti yang diketahui, Tiongkok telah memupuk hubungan seperti itu selama beberapa tahun, terutama sejak Belt and Road Initiative (BRI) mulai diterapkan di Indonesia.

Hubungan ini diketahui semakin intens dan bentuk kerja samanya pun makin beragam. Saat ini terdapat beberapa mega proyek Beijing yang sedang dilakukan dengan bekerja sama langsung dengan beberapa provinsi di Indonesia.

Di antaranya adalah proyek pengembangan Kawasan Ekonomi Khsusus (KEK) di Bintan Kepulauan Riau dan Bitung Sulawesi Utara, proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Bengkulu, pembangunan jalan tol lintas sumatera di Sumatera Utara hingga kerja sama pengembangan pariwisata di Bali dan NTB.

Baca Juga: Jokowi, Tiongkok, dan Bayangan Nazi

Perkembangan di atas menunjukkan bahwa Tiongkok dalam hubungannya dengan Indonesia tidak hanya terlibat dengan pemerintah pusat di Jakarta, melainkan juga dengan pemerintah daerah.

Artikel yang diterbitkan The Diplomat yang berjudul China’s Growing Ties With Indonesian Provinces memaparkan bahwa mendekatkan diri dengan provinsi-provinsi di Indonesia merupakan bagian dari tujuan diplomasi Tiongkok.

Lebih lanjut, dalam artikel ini juga menyebut bahwa diplomasi ini bertujuan untuk melancarkan implementasi BRI di Indonesia.

BRI, Jebakan?

Sejak Presiden Tiongkok Xi Jinping memperkenalkan Belt and Road Initiative  pada tahun 2013, muncul banyak spekulasi mengenai motif sebenarnya Tiongkok untuk memperkenalkan inisiatif tersebut.

Henrik Hallgren dalam Security and Economy on the Belt and Road: Three Country Case Studies memaparkan bahwa para ahli percaya ada motif lain dari proyek BRI yang dilakukan Beijing terhadap beberapa negara, seperti motif politik, geo-ekonomi dan keamanan.

Bahkan melihat perkembangannya di beberapa negara Asia, dalam artikel tersebut mengungkapkan  beberapa pengamat curiga bahwa BRI akan menjadi bentuk lain dari kekuatan neo-kolonial dan versi modern kolonialisme.

Terkait tudingan neo-kolonialisme, pada tahun 2018 Perdana Menteri (PM) Malaysia saat itu Mahathir Mohamad membatalkan proyek-proyek yang didanai oleh Tiongkok di beberapa negara bagian Malaysia. Di saat yang sama, Ia juga memperingatkan akan versi baru dari neo-kolonialisme.

Survei Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS) pada Januari lalu juga menunjukkan kekhawatiran terhadap makin besarnya pengaruh Tiongkok dan program BRI. Survei yang melibatkan 1.008 responden dari sepuluh negara Asia Tenggara ini menunjukkan mayoritas responden juga khawatir terhadap ambisi geostrategis Tiongkok.

Sebanyak 70 persen responden menilai pemerintah di negaranya harus berhati-hati dalam negosiasi proyek-proyek infrastruktur BRI. Responden dari Malaysia, Filipina, dan Thailand, sebagaimana dikutip Reuters, menilai hal ini penting agar pemerintah tidak terjerat utang.

Temuan ini diperkuat oleh hasil riset yang dilakukan lembaga riset asal Amerika Serikat (AS), C4ADS yang menyimpulkan proyek-proyek BRI Tiongkok hampir di semua negara, tidak didorong oleh kesepakatan ekonomi saling menguntungkan bagi rakyat di negara penerima proyek seperti diklaim oleh Beijing.

Beberapa negara Barat pun menuduh BRI sebagai upaya neo-kolonial karena praktik diplomasi jebakan utang (debt-trap diplomacy) yang digunakan Tiongkok untuk mendanai proyek-proyek infrastruktur.

Baca Juga: Diplomasi Vaksin AS-Tiongkok, Sebuah Mitos?

Salah satu negara yang dinilai sudah mengalami jebakan tersebut adalah Sri Lanka. Mereka harus merelakan pengelolaan pelabuhan selama 99 tahun kepada Tiongkok sebagai kompensasi pelunasan utang.

Pelabuhan Hambantota, yang terletak di jalur sibuk Samudera India tersebut secara tidak langsung akan dikontrol langsung oleh pemerintah dan beberapa perusahaan asal Tiongkok.

Namun, istilah “debt-trap” sendiri masih menjadi perdebatan. Guru Besar East China Normal University (ECNU), Jean-Marc F. Blanchard, dalam artikelnya di The Diplomat yang berjudul Revisiting the Resurrected Debate About Chinese Neocolonialism membantah tudingan ini.

Menurutnya, dalam kasus Sri Lanka, misalnya, tidak bisa dikatakan sebagai sebuah “trap” karena telah ada MoU sejak awal. Terkait hal ini apa yang terjadi di Sri Lanka dan di beberapa negara adalah mereka lebih terperangkap ke dalam “jebakan diplomasi” yang dimainkan Tiongkok dalam proses negosiasi.

Lalu, bagaimana Indonesia memaknai hal ini? Apakah ini merupakan ancaman geostrategis atau justru merupakan sebuah peluang?

Ancaman Lokal?

Manuver diplomasi Tiongkok yang secara masif melakukan pendekatan kerja sama secara langsung dengan pemerintahan daerah di Indonesia tak lepas dari sorotan.

Hongyi Lai, peneliti isu Tiongkok dan Asia Tenggara dari School of Politics and International Relations, University of Nottingham memaparkan bahwa mendekati provinsi-provinsi Indonesia adalah tujuan utama diplomasi Tiongkok karena dianggap penting untuk implementasi Belt and Road Initiative.

Menurutnya dengan manuver ini Tiongkok ingin membangun hubungan budaya dengan mendorong upaya “people to people” dan pertukaran budaya di tingkat lokal.

Indonesia merupakan komponen fundamental dari proyek tersebut yang berperan sebagai penghubung utama di Jalur Sutra maritim Tiongkok dan merupakan komponen kedua dari BRI.

Akan tetapi berbagai eksistensi Tiongkok di Indonesia mulai sudah banyak dikritik oleh beberapa pihak.

Ekonom senior Rizal Ramli (RR) memandang Indonesia sudah begitu tergantung bahkan terpengaruh dengan Tiongkok. Ketergantungan tersebut juga terlihat di tengah pandemi Covid-19, di mana investasi Tiongkok meningkat sebesar 9 persen.

Terkait dengan manuver terbaru Tiongkok dengan melakukan kerja sama langsung dengan beberapa daerah,  RR mengingatkan agar dalam bernegosiasi dengan Tiongkok, Indonesia harus berhati-hati agar mampu dikuasai oleh Tiongkok sepenuhnya dalam kelas domestik.

Memang, kehadiran Tiongkok di daerah diprediksi akan memperdalam sentimen masyarakat terhadap Tiongkok.

Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS) memaparkan salah satu isu paling krusial yang menyebabkan tumbuhnya sentimen masyarakat daerah terhadap kehadiran Tiongkok adalah soal tenaga kerja.

Baca Juga: Di Balik Polemik 500 TKA Tiongkok

Berdasarkan laporan Centre for Strategic and International Studies (CSIS), kedatangan TKA Tiongkok di lokasi proyek BRI menimbulkan ketegangan dengan penduduk lokal. Beberapa pejabat daerah bahkan meminta pemerintah pusat untuk membatasi pekerja asing yang masuk karena banyak tenaga kerja lokal di daerah yang merasa kehilangan pekerjaan.

Sentimen terkait isu ini semakin melebar bahkan berbanding lurus dengan peningkatan keterlibatan Tiongkok yang disertai dengan peningkatan kedatangan TKA dalam proyek di daerah.

Terbaru, di beberapa wilayah seperti Konawe dan Kendari, aksi massa secara besar-besaran tidak bisa dihindarkan bahkan berujung dengan bentrok dengan aparat keamanan dan para TKA langsung.

Massa yang merupakan warga daerah menolak kedatangan TKA Tiongkok yang dianggap sebagai “ancaman” bagi mereka dalam hal ekonomi dan budaya.

Lalu, apa solusinya?

Perkuat Negosiasi

Belajar dari pemaparan-pemaparan di atas, jelas kita harus waspada dengan manuver Tiongkok ini.

Akan tetapi, di satu sisi melihat pentingnya posisi Indonesia dalam proyek BRI  juga bisa dilihat sebagai peluang yang baik untuk mengembangkan konektivitas dan infrastruktur, serta memperkuat posisi di pasar global.

Tulisan Muhammad Zulfikar Rakhmat yang berjudul Indonesia to allow 500 Chinese workers to enter the country amid Covid-19 pandemic: Why it is a bad move memaparkan bahwa Indonesia harus lebih tegas dalam melakukan kesepakatan negosiasi dengan Tiongkok.

Jika perjanjian menimbulkan banyak kerugian untuk pemerintah, Indonesia perlu belajar dari Malaysia yang bisa melakukan perjanjian ulang dengan Tiongkok. Hal ini dilakukan oleh Malaysia untuk menghindari penalti dari Tiongkok sebesar US$ 5 miliar dari biaya penghentian proyek.

Indonesia perlu belajar dari negara lain dalam menetapkan ketentuan untuk kerja sama bilateral dengan Tiongkok. Jika Tiongkok tidak bersedia memenuhi ketentuan tersebut, maka pemerintah harus berani memberikan ultimatum untuk tidak melanjutkan proyek.

Pemerintah pusat dalam kasus ini harus tetap mengawasi bahkan mengambil peran lebih dari tiap perjanjian antara Beijing dan Jakarta.

Dalam kasus “debt-trap”, misalnya, hal ini bisa dihindari sejak awal jika kita mempunyai posisi yang tegas dan kemampuan diplomasi yang baik pada saat penandatanganan MoU.

Dengan melihat pola dari berbagai kasus sebelumnya, beberapa pengamat menilai bahwa Beijing sangat lihai dalam membaca situasi dari negara atau pihak ketiga.

Kelemahan dalam hal diplomasi saat melakukan perjanjian itu akan menjadi senjata utama bagi Tiongkok dalam menjebak calon negara tersebut ke dalam “debt-trap”.

Dalam kasus ini, Tiongkok disinyalir merencanakan perjanjian langsung dengan beberapa pemerintah daerah di Indonesia karena menganggap mereka tidak mempunyai sumber daya manusia (SDM) yang mumpuni dalam membaca perjanjian ini.

Baca Juga: TKA Tiongkok, Trump Perlu Ditiru?

Indikasi ini menguat karena temuan dari CSIS mengungkap salah satu isu besar dalam implentasi proyek BRI di daerah adalah kurangnya kapasitas pemerintah daerah untuk merencanakan dan melaksanakan proyek-proyek besar, termasuk proyek infrastruktur.

Bahkan masih ada keraguan tentang kemampuan mereka untuk memahami kontrak dari perusahaan besar nasional atau internasional.

Temuan ini mungkin bisa melegitimasi dugaan Jean-Marc F. Blanchard bahwa Tiongkok menggunakan kelemahan SDM negara atau daerah penerima proyek untuk menekan dan menjebak penerima dana tersebut ke dalam “debt-trap”.

Dari sini kita melihat proyek BRI ini bisa diibaratkan seperti dua sisi mata pisau. Di satu sisi bisa membawa keuntungan ekonomi bagi negara, namun disisi lain bisa dilihat sebagai ancaman dari sisi geopolitik dan ekonomi.

Pada kesimpulannya, Indonesia perlu lebih hati-hati dalam menghadapi manuver terbaru Tiongkok ini, penguatan dalam proses diplomasi dan negosiasi proyek bisa menjadi kunci untuk meminimalisir hal terburuk terjadi. (A72)

Exit mobile version