Melalui Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) mewacanakan kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty) jilid kedua di masa mendatang. Ada siasat strategis apa di balik kebijakan pajak ini?
“I mean, sure, there’s some bills and taxes I’m still evading” – Drake, “The Ride” (2011)
Di dunia yang serba fana ini, bisa dibilang tiada satupun barang dan jasa yang bisa mudah diperoleh secara cuma-cuma. Bagaimana tidak? Hampir semua hal memerlukan daya pada tingkat tertentu agar bisa dilalui lebih lancar.
Pajak Jadian (PJ), misalnya, menjadi salah satu momok bagi mereka yang akhirnya tidak lagi berstatus jomblo. Biasanya, PJ ini dimintakan pada salah seorang teman yang baru saja jadian.
Pajaknya pun umumnya berbentuk traktiran makanan dan minuman. Boleh jadi, PJ diadakan agar teman-teman merestui hubungan baru tersebut supaya bisa langgeng.
Tidak hanya restu dan doa melalui PJ, biaya lebih juga diperlukan apabila menginginkan fasilitas dan pelayanan publik yang baik. Pada umumnya, fasilitas dan pelayanan publik yang baik akan ditopang oleh pembiayaan negara yang bersumber dari pajak yang dibayarkan masyarakat.
Maka dari itu, bagi pemerintah – seperti di Indonesia, penerimaan pajak merupakan salah satu “bahan bakar” penting bagi jalannya pemerintahan. Dengan menerima pajak, pemerintah akhirnya bisa menyusun anggaran demi melancarkan kebijakan-kebijakannya.
Uniknya, penerimaan pajak dari pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dikabarkan mengalami penurunan di tengah pandemi Covid-19. Pada Januari 2021 lalu, misalnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa realisasi penerimaan pajak mengalami kontraksi sebesar 15,3 persen.
Baca Juga: Tax Amnesty, Konglomerat Tambah Kaya?
Alhasil, pemerintah pun berusaha mencari sejumlah cara agar realisasi ini dapat ditingkatkan. Salah satu wacana yang akan dilakukan pemerintahan Jokowi ialah dengan meningkatkan pajak pertambahan nilai (PPN) yang rencananya akan dimulai di tahun depan.
Tidak hanya peningkatan dari PPN, pemerintah dikabarkan juga kembali akan memberlakukan pengampunan pajak (tax amnesty) jilid kedua – setelah sebelumnya pernah dilakukan para periode 2016-2017. Wacana ini pun sudah diumumkan oleh Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto.
Sontak saja, wacana kebijakan tax amnesty jilid kedua ini menuai pro dan kontra. Di satu sisi, ada anggapan bahwa kebijakan ini dapat kembali merepatriasi dana dari negara-negara lain. Di sisi lain, ada penilaian bahwa tax amnesty jilid kedua ini tidak akan mampu menutupi defisit anggaran pemerintah yang melebar akibat pandemi Covid-19.
Di luar pro dan kontra yang ada, bukan tidak mungkin ini menjadi wacana yang masuk akal bagi pemerintah, khususnya dengan penerimaan pajak yang minus. Meski begitu, tidak dipungkiri juga bahwa kebijakan ini dapat memiliki konsekuensi politik di luar negeri.
Konsekuensi politik luar negeri apa yang dapat timbul dari kebijakan tax amnesty jilid kedua ini bila benar dilakukan? Apakah ini menjadi salah satu kepentingan strategis bagi pemerintahan Jokowi?
Tiru Langkah Tiongkok?
Kebijakan pengampunan pajak seperti ini sebenarnya tidak sekali ini saja diambil. Sejumlah negara lain pun memiliki pengalaman dalam menerapkan berbagai skema pengampunan pajak.
Australia, misalnya, menjadi salah satu negara tetangga yang pernah memberlakukan tax amnesty. Pada tahun 2014, Australian Taxation Office (ATO) mengumumkan pemberlakuan tax amnesty bagi pajak pendapatan luar negeri (offshore income).
Skema pengampunan pajak ini disebut sebagai voluntary disclosure. Mekanisme pelaporan pajak ini dilakukan dengan membuka informasi terkait pendapatan wajib pajak dengan insentif berupa pengurangan hingga penghilangan sanksi (penalty).
Biasanya, kebijakan-kebijakan seperti ini dilakukan untuk mengurangi penghindaran pajak bagi para wajib pajak. Dengan penghilangan penalty, wajib pajak diharapkan bisa terdorong untuk melaporkan pendapatannya pada aparat pajak.
Kebijakan voluntary disclosure seperti ini tidak hanya pernah dilakukan Australia. Negara besar lainnya di Asia, yakni Republik Rakyat Tiongkok (RRT) juga pernah memberlakukan praktik-praktik voluntary disclosure di wilayahnya.
Baca Juga: SIN Pajak, ‘Obat’ Sri Mulyani?
Noam Noked dari Chinese University of Hong Kong dan Yan Xu dari University of New South Wales dalam tulisan mereka yang berjudul Proposal for Voluntary Disclosure Procedures in China menjelaskan bahwa sejumlah kantor pajak di negara tersebut sudah menerapkan mekanisme serupa. Dengan mekanisme voluntary disclosure, wajib pajak yang sebelumnya tidak patuh (noncompliant) akhirnya bisa mendapatkan pengurangan dan penghilangan sanksi.
Biasanya, aparat pajak di Tiongkok akan mengumumkan program pengampunan pajak ini bagi sektor tertentu dan dalam periode waktu tertentu. Mungkin, mekanisme kebijakan pengampunan pajak ini mirip dengan mekanisme pemutihan yang bisa menghilangkan denda atau sanksi bagi mereka yang sebelumnya menghindari pajak.
Menariknya, mekanisme dan skema voluntary disclosure inilah yang kabarnya akan diterapkan oleh pemerintahan Jokowi dalam kebijakan tax amnesty jilid kedua. Berdasarkan informasi yang didapat oleh Wakil Ketua Komite Tetap Bidang Perpajakan Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia Herman Juwono, voluntary disclosure inilah yang akan diberlakukan dalam wacana pengampunan pajak di masa mendatang sebagai lanjutan dari program tax amnesty jilid pertama pada tahun 2016-2017.
Lantas, bila pemerintah Indonesia benar menerapkan pengampunan pajak berupa voluntary disclosure, apakah ada konsekuensi lanjutan dari kebijakan tersebut? Mungkinkah ada kepentingan strategis yang terpenuhi?
Perebutan Geo-ekonomi?
Menariknya, kebijakan tax amnesty jilid kedua ini bisa saja memiliki konsekuensi secara geopolitik. Dalam hal ini, keputusan ini bisa bersinggungan dengan geo-ekonomi yang juga terkait dengan hubungan antarnegara.
Geo-ekonomi sendiri merupakan sebuah konsep yang dicetuskan oleh Edward Luttwak, seorang strategis dan ahli Hubungan Internasional kelahiran Rumania. Meski belum ada definisi pasti yang disepakati, konsep ini dapat dipahami sebagai penggunaan instrumen-instrumen ekonomi untuk kepentingan-kepentingan geopolitik.
Tentu, terdapat banyak instrumen ekonomi yang bersentuhan dengan hubungan internasional dan geopolitik – mulai dari investasi langsung (foreign direct investment/FDI), kebijakan dagang, hingga perpajakan. Boleh jadi, dengan menggunakan instrumen ekonomi, negara dapat memperoleh jenis kekuatan yang disebut oleh John J. Mearsheimer – profesor politik di University of Chicago – sebagai kemampuan material (material capabilities).
Dalam bukunya yang berjudul The Tragedy of Great Power Politics, Mearsheimer membagi dua jenis kekuatan, yakni kekuatan laten (ekonomi dan populasi) dan kekuatan aktual (kemampuan militer). Meski sebagian besar berfokus pada kekuatan militer, bukan tidak mungkin kekuatan ekonomi juga memengaruhi dinamika politik antarnegara.
Boleh jadi, elemen geo-ekonomi ini juga memengaruhi dinamika politik internasional di sekitar Indonesia. Pasalnya, kebijakan tax amnesty yang diberlakukan oleh pemerintah Indonesia bisa menciptakan “disrupsi” ekonomi pada tingkat tertentu di negara-negara lain.
Bukan tidak mungkin, dengan memberlakukan kebijakan pajak tersebut, Indonesia berusaha ‘merebut kembali’ kekuatan geo-ekonomi yang selama ini laten bagi Indonesia, yakni dengan merepatriasi uang-uang warga Indonesia yang menumpuk di negara lain. Pasalnya, uang tersebut bisa menjadi kekuatan ekonomi (material) bagi Indonesia dalam menjalankan kebijakan-kebijakannya, termasuk di bidang politik luar negeri.
Baca Juga: Pajak Karbon, Solusi Polusi Jakarta?
Perebutan geo-ekonomi di balik tax amnesty ini paling tampak terjadi antara Indonesia dan negara tetangganya, Singapura. Sebagai negara yang menjadi pusat kemewahan di Asia Tenggara, Singapura disebut banyak menjadi tempat tujuan bagi kekayaan-kekayaan warga Indonesia.
Kepanikan Singapura ini pernah terlihat ketika pemerintahan Jokowi memberlakukan tax amnesty jilid pertama pada tahun 2016-2017. Bahkan, kabarnya, bank-bank di negara pulau tersebut pernah berupaya untuk menjegal kebijakan tax amnesty Indonesia dengan melaporkan peserta pengampunan pajak dengan tudingan transaksi mencurigakan.
Selain itu, sejumlah bank Singapura kala itu juga menawarkan insentif dan tawaran menarik bagi mereka yang tidak menjadi peserta tax amnesty. Ada yang menyebutkan bahwa Singapura pernah menjanjikan kewarganegaraan apabila tidak mengikuti pengampunan pajak Indonesia.
Bisa jadi, perebutan ini terjadi akibat potensi geo-ekonomi yang dapat diperoleh Indonesia dari tax amnesty kala itu. Pasalnya, terdapat salah satu laporan McKinsey yang menyebutkan bahwa uang tunai dan aset warga negara Indonesia yang disimpan di perbankan Singapura bisa mencapai triliunan rupiah.
Dengan potensi geo-ekonomi sebesar itu, bisa saja pemerintah Indonesia mendapatkan economic power yang lumayan besar juga. Tentunya, kemampuan material ini bisa ditranslasikan oleh pemerintahan Jokowi ke dalam berbagai kebijakan di bidang lain – misal yang bersinggungan dengan apa yang disebut Mearsheimer sebagai kekuatan aktual.
Bukan tidak mungkin, meski masih dibayangi pandemi Covid-19, situasi keamanan kawasan di Asia Tenggara juga sekaligus dibayangi oleh persaingan geopolitik antara dua negara adidaya, yakni Tiongkok dan Amerika Serikat (AS). Tentu, situasi ini bisa menciptakan dilema keamanan bagi Indonesia dan ASEAN secara keseluruhan.
Terlepas dari adanya dimensi geopolitik di balik kebijakan tax amnesty, bentuk pengoptimalan kekuatan ala Mearshimer seperti apa yang akan diambil Indonesia juga bergantung pada arah kebijakan pemerintahan Jokowi ke depannya. Lagipula, tax amnesty jilid kedua ini juga masih sebatas wacana dan baru akan dibahas bersama DPR. Mari kita nantikan saja kelanjutannya. (A43)
Baca Juga: Keberhasilan & Kegagalan Tak Terduga Tax Amnesty
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.