Site icon PinterPolitik.com

Siasat Sri Mulyani “Kontrol” BI

Siasat Sri Mulyani “Kontrol” BI

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati (dua dari kiri) bersama Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo (dua dari kanan), Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso (kiri) dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Halim Alamsyah (kanan) memberikan keterangan pers di Jakarta pada Januari 2020 lalu. (Foto: Antara)

Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) usulkan revisi terhadap Undang-Undang (UU) tentang Bank Indonesia (BI). Mungkinkah wacana aturan ini membuat Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati dan pemerintah mampu mengontrol BI?


PinterPolitik.com

“Don’t make me get back to my ways. My power, they’ll never take” – Beyoncé, penyanyi R&B asal Amerika Serikat (AS)

Bagi para penggemar kisah, komik, dan film pahlawan super, tim yang bernama Avengers pasti bukanlah hal yang asing lagi. Bagaimana tidak? Avengers merupakan salah satu franchise film yang populer di berbagai belahan dunia.

Film yang berjudul Avengers: Endgame (2019), misalnya, menjadi salah satu film paling populer di Amerika Serikat (AS) dan dunia secara keseluruhan. Film itu mengisahkan kumpulan pahlawan super yang berusaha mengalahkan sosok jahat yang bernama Thanos.

Sebenarnya, Avengers sendiri memiliki perjalanan yang cukup panjang sebelum akhirnya harus melawan Thanos. Bahkan, persoalan politik juga memengaruhi perjuangan mereka.

Masalah politik yang mereka hadapi diceritakan dalam film Captain America: Civil War (2016). Kala itu, independensi Avengers menjadi perdebatan.

Tim pahlawan super ini diminta untuk menyepakati Sokovia Accord yang membuat mereka harus bertanggung jawab kepada negara. Pasalnya, Avengers dinilai bertindak sewenang-wenang – hingga menimbulkan banyak korban jiwa – dalam melawan musuh-musuhnya.

Alhasil, para Avengers harus berdebat satu sama lain. Captain America, misalnya, menilai independensi timnya harus tetap terjaga. Sementara, Iron Man menilai tim pahlawan super ini harus bertanggung jawab akan kesalahan-kesalahannya.

Persoalan yang mirip tampaknya juga tengah dihadapi oleh Bank Indonesia (BI). Pasalnya, Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengusulkan agar Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia direvisi.

Dalam revisi tersebut, disebutkan bahwa Dewan Moneter akan dibentuk guna menyusun kebijakan moneter. Dewan ini berisikan Menteri Keuangan (Menkeu) sebagai ketua, menteri bidang perekonomian lainnya, Gubernur BI, Deputi Senior BI, dan Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Sontak saja, banyak pihak akhirnya mempermasalahkan usulan revisi UU BI ini. Sejumlah ahli menilai bahwa revisi itu tidak diperlukan. Bahkan, beberapa juga menilai bahwa kehadiran Dewan Moneter dapat mengganggu independensi BI sebagai bank sentral.

Selain ada revisi UU yang diusulkan oleh BI, pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) juga dikabarkan tengah menyiapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Reformasi Sistem Keuangan. Adanya wacana Perppu ini juga diungkapkan oleh Menkeu Sri Mulyani Indrawati.

Perihal perdebatan ini, ada beberapa pertanyaan yang sepertinya perlu dijawab. Mengapa independensi BI sebagai bank sentral menjadi penting? Lantas, mengapa pemerintahan Jokowi dan DPR masing-masing mendorong Perppu dan UU yang akan mengusik peran BI?

Politik Bank Sentral

Perdebatan terkait revisi UU BI dan Perppu tersebut sebenarnya berangkat dari adanya anggapan bahwa BI sebagai bank sentral perlu berjalan secara independen tanpa pengaruh dari pemerintah dan lembaga lainnya. Pasalnya, independensi ini dianggap penting agar kepentingan politik tertentu tidak memengaruhi bank sentral dalam menjalankan kebijakan moneter.

Pentingnya independensi bank sentral ini turut dijelaskan oleh Carl E. Walsh dari University of California, Santa Cruz, dalam tulisannya yang berjudul Central Bank Independence. Setidaknya, Walsh menjelaskan bahwa independensi ini berkaitan erat dengan kebebasan para pengambil kebijakan moneter dari pengaruh politik dan pemerintah dalam menjalankan fungsinya.

Asumsi ini berpusat pada keyakinan bahwa bank sentral perlu menjalankan tugasnya dalam menjaga keadaan moneter, seperti inflasi. Dengan kebebasan tersebut, bank sentral dapat secara penuh berfokus dalam menjaga kestabilan moneter.

Adanya independensi bank sentral ini juga membagi dua fungsi yang berbeda antara bank sentral sendiri dan pemerintah. Bila bank sentral menjalankan kewenangan moneter, pemerintah dapat berfokus pada kebijakan dan otoritas fiskal, seperti pajak.

Walsh mencontohkan independensi bank sentral yang dimiliki oleh Federal Reserve – atau dikenal sebagai The Fed – di Amerika Serikat (AS). Dalam tulisannya, dijelaskan bahwa independensi The Fed ini berada pada tingkatan di mana bank sentral AS ini dapat menginterpretasikan tujuan-tujuan sendiri secara operasional.

Independensi bank sentral negara Paman Sam dari pengaruh politik dan pemerintah ini setidaknya terlihat dari bagaimana “permusuhan” antara Presiden AS Donald Trump dan The Fed terjalin. Pasalnya, Trump tidak pernah segan untuk mengkritik kebijakan-kebijakan moneter yang diberlakukan oleh The Fed yang dipimpin oleh Jerome Powell.

Salah satu perdebatan antara Trump dan The Fed berpusar pada suku bunga acuan (interest rate). Ketika sang presiden ingin suku bunga menjadi lebih rendah, bank sentral AS tersebut malah menaikkan suku bunga guna menekan laju inflasi.

Keinginan Trump ini disebut-sebut didasarkan pada kepentingan politiknya. Pasalnya, suku bunga yang rendah dianggap dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi – salah satu indikator ekonomi yang ingin ditonjolkan oleh sang presiden.

Mungkin, perbedaan kepentingan antara pemerintah dan bank sentral inilah yang akhirnya mendasari manuver yang dilakukan oleh Presiden Republik Rakyat Tiongkok (RRT) Xi Jinping terhadap People’s Bank of China (PBoC). Manuver politik tersebut dilakukan untuk menjamin pengaruh Partai Komunis Tiongkok di PBoC.

Hal ini dilakukan dengan cara menunjuk Guo Shuqing sebagai Gubernur PBoC. Guo yang ditunjuk Xi ini menggantikan Yi Gang yang bukan merupakan anggota dari Partai Komunis Tiongkok.

Bila pengaruh politik di bank sentral dapat terjadi di AS dan Tiongkok, lantas, bagaimana dengan Indonesia? Apakah revisi UU dan Perppu yang masing-masing diwacanakan oleh DPR dan pemerintahan Jokowi ini turut memengaruhi independensi BI sebagai bank sentral?

Siasat Sri Mulyani?

Munculnya wacana revisi UU dan Perppu yang masing-masing didorong oleh Baleg DPR dan pemerintah ini bukan tidak mungkin dapat memengaruhi independensi BI. Namun, tanpa revisi UU dan Perppu tersebut, independensi dari bank sentral Indonesia tersebut sebenarnya juga telah dipertanyakan.

Perry Warjiyo yang diangkat sebagai Gubernur BI pada tahun 2018 silam, misalnya, bukan tidak mungkin juga dipengaruhi oleh kepentingan politik yang dibawa pemerintah. Pasalnya, mantan Deputi Gubernur BI tersebut kala itu merupakan calon tunggal yang diajukan oleh Presiden Jokowi.

Perry sendiri berasal dari almamater yang sama dengan Presiden Jokowi, yakni Universitas Gadjah Mada (UGM). Tidak hanya itu, Gubernur BI tersebut juga disinyalir menerapkan kebijakan-kebijakan yang mendorong pemerintah, seperti tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi yang digaungkan Jokowi.

Bukan tidak mungkin, diajukannya Perry sebagai calon tunggal pada tahun 2018 silam tersebut merupakan upaya pemerintah untuk meningkatkan pengaruhnya pada BI. Pasalnya, bila disimak rekam jejak Agus Martowardojo – Gubernur BI sebelumnya, pemerintahan Jokowi malah mendapatkan sejumlah kritik.

Sinyal bahwa ada ketidakpuasan Menkeu Sri Mulyani – dan pemerintahan Jokowi – terhadap BI juga disebut-sebut turut melatarbelakangi keinginan pemerintah untuk menerapkan Perppu Reformasi Sistem Keuangan. Kabarnya, Jokowi sendiri tidak puas dengan respons BI, OJK, dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dalam menangani ancaman resesi ekonomi akibat pandemi Covid-19.

Sinyal akan belum adanya kesamaan visi antara Kemenkeu, BI, OJK, dan LPS ini juga sempat disebutkan oleh Sri Mulyani. Menurut Menkeu, koordinasi antarlembaga ini lebih banyak didasarkan pada aturan yang dibuat pada masa normal. Sementara, saat ini dapat disebut sebagai masa genting karena adanya ancaman keterpurukan ekonomi akibat pandemi Covid-19.

Bukan tidak mungkin, independensi bank sentral ini menjadi terabaikan dalam upaya mengatasi dampak ekonomi pandemi Covid-19 ini. Pendapat yang sama ini juga pernah diungkapkan oleh Sir John Redwood dalam tulisannya yang berjudul End of Myth of ‘Independent’ Central Banks.

Redwood setidaknya menjelaskan independensi ini menjadi semakin sulit akibat diperlukannya koordinasi antara pemerintah dan bank sentral guna mengatasi persoalan pandemi dengan menerapkan campuran kebijakan moneter dan fiskal. Tulisan itu mencontohkan beberapa bank sentral di negara lain, seperti PBoC di Tiongkok dan The Fed di AS, yang bekerja sama dengan pemerintah.

Selain itu, diberikannya hak Sri Mulyani untuk ikut menyusun kebijakan moneter bersama BI bisa jadi kini tengah dibutuhkan oleh Indonesia. Pasalnya, sang Menkeu sendiri merupakan sosok yang memiliki pengalaman panjang dalam bidang moneter.

Sri Mulyani merupakan mantan Direktur Eksekutif International Monetary Fund (IMF). IMF sendiri adalah lembaga internasional yang bekerja guna mendorong kerja sama moneter internasional, menjaga stabilitas finansial, dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Maka dari itu, peran Sri Mulyani sebagai Ketua Dewan Moneter nantinya bisa saja menjadi upaya pemerintahan Jokowi untuk menyinergikan koordinasi antarlembaga ini – apalagi di tengah ancaman resesi global yang disebabkan oleh pandemi Covid-19.

Meski begitu, gambaran kemungkinan yang mendasari akan adanya wacana revisi UU BI dan Perppu Reformasi Sistem Keuangan di tulisan ini belum tentu benar adanya. Yang jelas, dampak ekonomi akibat Covid-19 kini merupakan ancaman bersama, baik bagi pemerintah, BI, maupun lembaga keuangan lainnya. (A43)

Exit mobile version