Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati memunculkan sinyal bahwa pemerintah berencana untuk memberlakukan pajak karbon pada individu ataupun badan usaha yang memiliki barang atau aktivitas yang menghasilkan emisi karbon. Siasat apa yang ada di balik pemberlakuan pajak karbon ini?
Pemerintah baru-baru ini berencana menerapkan pajak karbon kepada individu maupun badan usaha. Rencana tersebut akan dituangkan dalam revisi Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Rencana ini diketahui sudah masuk ke dalam program legislasi nasional (prolegnas) tahun 2021. Adapun rencana tarif pajak yang akan dikenakan adalah sebesar Rp 75 per kilogram (kg) karbon dioksida (CO2) atau satuan yang setara serta diberlakukan untuk barang-barang yang mengandung karbon atau aktivitas yang menghasilkan emisi karbon.
Selain itu, dalam sebuah rapat bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati juga memberikan sinyal bahwa pajak karbon akan menjadi salah satu jenis pungutan yang baru. Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia (WB) tersebut juga mengatakan bahwa pungutan ini berhubungan dengan eksternalitas terhadap lingkungan.
Namun, detail kepastian mengenai berapa tarif pajak yang akan dikenakan serta objek yang akan dikenakan pajak akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah (PP). Sementara, detail mengenai subjek pajak karbon serta tata cara teknis seperti perhitungan, pemungutan, pembayaran atau penyetoran, pelaporan, hingga mekanisme pengenaan pajak karbon akan diatur oleh Peraturan Menteri Keuangan (PMK).
Hasil pengenaan pajak karbon rencananya akan dialokasikan untuk dana pengendalian perubahan iklim. Sebagai informasi, alokasi anggaran untuk pengendalian perubahan iklim dari tahun 2016 hingga 2020 mencapai Rp 89,6 triliun per tahun.
Sementara itu, dana yang dibutuhkan untuk pengendalian perubahan iklim guna mencapai target Nationally Determined Contribution (NDC) atau komitmen iklim Indonesia pada rentang waktu tersebut menurut Sri Mulyani adalah mencapai Rp 3.461 triliun atau rata-rata sebesar Rp 266,2 triliun per tahun.
Dengan gap sebesar 66 persen, tentunya pemerintah membutuhkan dana tambahan agar Indonesia dapat mencapai komitmen iklimnya pada tahun 2030. Potensi pajak karbon di tahun pertama implementasi sendiri ditaksir mencapai hingga Rp 57 triliun atau lebih besar dari potensi pajak perusahaan digital.
Namun, apakah pajak karbon ini menjadi opsi yang bisa diterapkan untuk menutup gap tersebut? Mengapa pajak karbon ini juga menjadi solusi yang cukup sulit diterapkan pada masyarakat Indonesia?
Kegagalan Pasar?
Secara ekonomi, kerusakan lingkungan menyebabkan kerugian material yang tidak sedikit. Hasil studi dari US Agency for International Development (USAID) pada tahun 2016 menunjukkan nilai kerugian ekonomi yang akan ditanggung Indonesia akibat bencana ekologis di tahun 2050 mendatang ditaksir mencapai Rp 132 triliun atau 1,4 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) di tahun tersebut.
Terbaru, studi World Bank terhadap kejadian kebakaran hutan yang dialami oleh Indonesia pada tahun 2019 menyebabkan kerugian sebesar Rp 72,95 triliun atau setara dengan 0,5 persen dari PDB Indonesia.
Kerugian tersebut mengindikasikan adanya kegagalan pasar yang menyebabkan ongkos kerugian akibat eksploitasi sumber daya ditanggung lebih besar dibandingkan manfaat yang dirasakan oleh konsumen. Kegagalan pasar jenis ini disebut sebagai eksternalitas yang bersifat negatif.
Menurut Marcouse dan Martin dalam karyanya yang berjudul The Complete AZ Business Studies Handbook, pelaku usaha sering kali tidak memperhitungkan biaya kerusakan lingkungan dalam ongkos produksinya.
Padahal, sebagaimana yang dikatakan oleh Cullis dan Jones dalam bukunya berjudul Public Finance and Public Choice: Analytical Perspectives, optimal atau tidaknya konsumsi yang dilakukan oleh individu tidak hanya dipengaruhi oleh barang atau jasa yang dikonsumsinya saja, melainkan juga dipengaruhi oleh aktivitas individu lainnya.
Praktik-praktik ekonomi yang tidak memasukkan prinsip berkelanjutan juga akan membuat barang-barang publik seperti misalnya udara dan air bersih menjadi barang yang eksklusif. Dengan demikian, eksternalitas yang bersifat negatif akan membuat kegagalan pasar yang lain yaitu terbatasnya manfaat barang publik yang dirasakan oleh masyarakat luas.
Seharusnya, menurut Shawn Cunningham dalam Understanding Market Failures in An Economic Development Context, barang-barang publik memiliki sifat non-eksklusif atau bisa dinikmati oleh semua orang tanpa terkecuali.
Untuk menanggulangi kegagalan pasar tersebut, maka pemerintah melakukan intervensi pada pasar lewat pendekatan kebijakan. Di Indonesia, pemerintah salah satunya mulai mencoba melakukan intervensi lewat pengenaan pajak karbon.
Penelitian Arief Anshory Yusuf pada 2008 menunjukkan bahwa pendekatan pajak karbon ini dirasa lebih tepat dibandingkan dengan pendekatan ekonomi pasar seperti misalnya pemberian insentif. Namun, pertanyaan lain tetap perlu dijawab. Apakah mungkin pajak jenis ini diterapkan di Indonesia? Apa saja hambatan bisa saja yang dihadapi oleh pemerintah
Mungkinkah Berhasil?
Dian Ratnawati dalam Carbon Tax sebagai Alternatif Kebijakan Mengatasi Eksternalitas Negatif Emisi Karbon di Indonesia juga menuturkan bahwa pengenaan pajak karbon dirasa lebih efektif karena dapat secara langsung memotong emisi dari barang-barang yang dikenakan pajak karbon. Di sisi lain, menurut peneliti dari Zero Carbon Energy for the Asia-Pacific ANU Grand Challenge Project, Paul Burke, negara-negara yang menerapkan kebijakan Pajak Karbon terbukti dapat mengurangi emisinya dari waktu ke waktu.
Walaupun tujuan pajak karbon adalah untuk mengurangi emisi gas karbon, terdapat potensi kegagalan dalam keberhasilan penerapannya. Studi dari Karine Nyborg dalam Will Green Taxes Undermine Moral Motivation menunjukkan bahwa pajak karbon kurang efektif dalam mengubah efek perilaku yang diinginkan yaitu motivasi intrinsik dari konsumen untuk menghindari efek eksternalitas negatif akibat pola konsumsinya.
Hal ini dikarenakan masyarakat merasa sudah membayar pajak karbon, maka masyarakat mengartikannya sebagai ‘lisensi’ untuk lebih sering terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang menyebabkan eksternalitas negatif dari lingkungan.
Studi dari Manuel Grieder dkk dalam The Behavioral Effects of Carbon Taxes–Experimental Evidence juga mendukung temuan dari Karine Nyborg. Meskipun skema redistribusi penghasilan kepada masyarakat dari hasil Pajak Karbon diberlakukan, perubahan perilaku konsumsi yang berisiko menghasilkan efek eksternalitas negatif cenderung tidak memiliki dampak yang besar.
Namun, apabila skema ini diberlakukan, maka setidaknya dapat memberikan efek pada dukungan politik dari masyarakat terhadap penerapan kebijakan tersebut.
Sebagai negara dengan populasi terbesar keempat terbesar di dunia, tentunya kontribusi Indonesia sangat signifikan dalam mengurangi emisi karbon global. Di antara negara berkembang sendiri, Indonesia menempati urutan ke-7 dalam total emisi karbon dioksida dari fosil bahan bakar dan menempati urutan ke-2, setelah Tiongkok, jika emisi karbon dioksida dari perubahan penggunaan lahan disertakan.
Oleh karena itu, kemampuan Indonesia untuk mengendalikan emisi menjadi perhatian global yang besar. Pajak karbon bisa menjadi salah satu jalan Indonesia, tapi potensi gagal dari kebijakan ini perlu juga pemerintah perhatikan. (V71)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.