Semenjak debat calon presiden (capres) pertama pada pertengahan Desember 2023 lalu, Anies Baswedan terus melancarkan serangan pada pasangan calon (paslon) Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Apa siasat Anies sebenarnya?
“Plan, plot, strategize, but bomb first” – 2Pac, “Bomb First (My Second Reply)
Tahun itu adalah tahun 1996 dan suasana di Amerika Serikat (AS) mulai memanas – setidaknya di dunia hip-hop. Kala itu, rivalitas antara musisi-musisi pesisir barat (West Coast) dan pesisir timur (East Coast) menyentuh puncaknya,
Masing-masing pesisir memiliki penyanyi rap (rapper) andalan mereka. Nama-nama besar seperti 2Pac (West Coast) dan The Notorious B.I.G. alias Biggie (East Coast) menjadi para penulis lirik andal yang saling melemparkan serangan lewat barisan-barisan kata.
Salah satu balasan kata yang dilemparkan 2Pac pada para rappers di East Coast adalah “Bomb First (My Second Reply)” (1996). Di lirik itu, rapper legendaris itu menceritakan serangan terlebih dahulu yang ditujukan pada para rappers di East Coast, seperti JAY-Z dan label Bad Boy Records.
Bukan tidak mungkin, serangan inisiatif dari 2Pac ini mirip-mirip dengan serangan permulaan yang langsung dilancarkan oleh calon presiden (capres) nomor urut satu, Anies Baswedan, kepada pasangan calon (calon) nomor urut dua, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.
Bagaimana tidak? Dalam debat capres pertama yang dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) beberapa waktu lalu, Anies beberapa kali melontarkan pertanyaan soal etika politik hingga fenomena ‘orang dalam’ (ordal).
Perang narasi antara Anies dan Prabowo-pun tidak hanya berhenti di debat, melainkan berlangsung terus di media massa dan media sosial (medsos). Perdebatan ini bahkan sampai terjadi di ruang-ruang komentar dan linimasa.
Namun, pertanyaan yang muncul kemudian bahwa mengapa akhirnya kubu Anies terus-menerus melancarkan serangan ke kubu Prabowo. Mungkinkah ada siasat tertentu di baliknya?
Pilpres 2024: Anies vs Prabowo vs Ganjar
Dalam sastra Tiongkok, ada sebuah periode kisah-kisah romansa yang dikenal sebagai Zaman Tiga Negara (220-280). Kala itu, Dinasti Han runtuh dan digantikan oleh tiga kekuatan, yakni Wei, Shu, dan Wu.
Salah satu pertempuran besar yang terjadi di zaman itu adalah Pertempuran Chibi yang terjadi antara Cao Cao (cikal bakal Wei) melawan koalisi antara Liu Bei (cikal bakal Shu) dan Sun Quan (cikal bakal Wu) pada tahun 208.
Pertanyaannya kemudian adalah mengapa Liu Bei dan Sun Quan akhirnya berkoalisi. Jawabannya adalah adanya musuh yang sama.
Ini bisa juga dijelaskan dengan teori permainan (game theory). Meski biasanya banyak digunakna untuk menjelaskan persaingan di antara dua pihak, permainan yang berisikan tiga pemain juga bisa dijelaskan menggunakan teori ini.
Hal inilah yang berusaha dijelaskan oleh William P. Fox dalam tulisannya yang berjudul Solving the Three Person Game in Game Theory Using Excel. Pada intinya, untuk menyelesaikan permainan yang berisikan tiga pemain, diperlukan cara untuk menghilangkan satu pemain terlebih dahulu.
Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan menghilangkan satu pemain terlebih dahulu. Boleh jadi, cara inilah yang diambil oleh Wu dan Shu untuk mengalahkan Wei, yakni dengan membangun koalisi sehingga permainan menjadi berisikan dua pemain.
Tipe permainan yang sama kurang lebih juga terjadi dalam permainan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Dalam permainan itu, pemain terdiri atas tiga pemain, yakni Anies, Prabowo, dan Ganjar Pranowo.
Lantas, bagaimana caranya agar permainan tiga pemain di Pilpres 2024 ini bisa selesai, yakni dengan menghilangkan satu pemain terlebih dahulu. Secara sistem, sebenarnya Pilpres biasanya akan mengarah ke sana, yakni menjadikan pemilihan terdiri atas dua putaran – bila tidak ada kandidat yang memperoleh 51 persen suara.
Tentu, ada beberapa cara untuk meniadakan satu pemain. Dan, mungkin, Anies-pun melakukan sejumlah cara agar bisa memperbesar kemungkinanaya.
Kira-kira, siasat apa yang tengah disiapkan oleh Anies? Mengapa akhirnya Anies terus-menerus menyerang Prabowo-Gibran?
Ganjar, Target Anies Sesungguhnya?
Dalam kontestasi pemilihan umum (pemilu), kunci utamanya adalah bagaimana cara memenangkan para pemilih. Merekalah yang akhirnya diperebutkan oleh para kandidat satu sama lain.
Layaknya pejabat dan tentara dari tiga negara di zaman Tiongkok kuno, masing-masing pendukung memiliki kesetiaan mereka di Pilpres 2024. Mereka akan mengategorisasikan diri pada kandidat atau partai politik (parpol) tertentu.
Ini bisa dijelaskan dengan teori identitas sosial dari Henri Tajfel dan John Turner. Dalam tulisan berjudul An Integrative Theory of Intergroup Conflict, mereka menjelaskan bahwa setiap individu akan mengategorisasikan diri ke kelompok identitas sosial yang paling sesuai bagi mereka.
Bagaimana caranya? Jawabannya adalah dengan melakukan komparasi sosial. Dengan membandingkan, individu tersebut akan menemukan nilai-nilai mana saja yang sama dan berbeda dengan individu-individu lain.
Dalam tiga kerajaan di Tiongkok tadi, misalnya, warga-warga kerajaan masing-masing akan mengategorisasikan diri sesuai dengan tiga kelompok identitas tersebut, yakni Wu, Shu, dan Wei. Semakin ada kesamaan, semakin mereka bisa bersatu membangun koalisi tersebut.
Lantas, apa hubungannya dengan pemilu? Setiap kandidat dan parpol tentunya memiliki nilai dan identitas mereka masing-masing. Para pemilih juga akan menyesuaikan diri mereka berdasarkan persamaan dan perbedaan antar-kandidat.
Inilah yang dijelaskan oleh Leonie Huddy dan Alexa Bankert dalam tulisan mereka yang berjudul Political Partisanship as a Social Identity. Dalam tulisan itu, dijelaskan bahwa dukungan politik juga merupakan salah satu bentuk identitas sosial.
Kemudian, bagaimana caranya penjelasan Huddy dan Bankert ini bisa diaplikasikan dalam konteks Pilpres 2024? Hampir sama dengan kasus Cao Cao melawan Sun Quan dan Liu Bei, ada satu kesamaan yang dimiliki oleh pendukung Ganjar dan Anies, yakni sama-sama memiliki musuh yang dominan, yakni Prabowo yang memiliki elektabilitas tertinggi (hingga tulisan ini dibuat).
Kesamaan ini bukan tidak mungkin akhirnya menimbulkan kesamaan nilai – misal melalui nilai-nilai yang terkandung dalam kritik-kritik Anies soal demokrasi, ordal, hingga oposisi. Boleh jadi, ini akan membentuk kategorisasi sosial yang berbeda.
Bukan tidak mungkin juga Anies juga tengah memanfaatkan posisi Ganjar dan Mahfud MD yang disebut-sebut memiliki branding politik yang abu-abu. Mengacu ke tulisan PinterPolitik.com berjudul Ganjar Perlu Branding Politik Baru?, Ganjar tengah bingung memosisikan diri sebagai oposisi atau sebagia bagian dari pemerintah.
Bila para pendukung Ganjar semakin merasa menemukan banyak kesamaan dengan Anies, bukan tidak mungkin, Anies akan memiliki elektabilitas lebih tinggi. Dan, bisa saja, putaran kedua akan terjadi antara Prabowo dan Anies. (A43)