Dengarkan artikel ini:
Audio ini dibuat menggunakan AI.
Apresiasi dan pujian kandidat di Pilkada Jakarta 2024 Pramono Anung dan Rano Karno, maupun beberapa elite PDIP dalam beberapa waktu terakhir kepada Anies Baswedan dinilai merupakan siasat politik tertentu. Bahkan, pujian itu dinilai menjadi “jebakan” bagi Anies. Mengapa demikian?
Kendati semua hal mungkin saja dalam politik, kedekatan Anies Baswedan dan PDIP menjelang penutupan pendaftaran kandidat di Pilkada 2024 memantik sedikit efek kejut sekaligus membuka ruang tafsir yang begitu luas. Utamanya, yang menggarisbawahi bahwa PDIP kemungkinan hanya menjerumuskan serta memberi harapan palsu kepada Anies.
Kehangatan PDIP dan Anies sendiri tercermin dari beberapa pujian PDIP kepada Anies pasca sang eks Mendikbud itu menyambangi DPP PDIP pada hari Sabtu, 24 Agustus lalu.
Urung dicalonkan sebagai calon Gubernur Jakarta di menit-menit akhir, Anies tetap mendapat tone positif, bahkan pujian, dari beberapa elite PDIP, serta dari duet mereka di Jakarta, yakni Pramono Anung dan Rano Karno.
Ihwal itu kemudian menimbulkan pertanyaan mengenai motif PDIP serta apa simbiosis di antara keduanya di balik mempertontonkan kemesraan yang mustahil terjadi, setidaknya dalam tujuh tahun ke belakang.
Terbaru, pujian Pramono yang mengakui bahwa Jakarta International Stadium (JIS) merupakan salah satu prestasi Anies berbanding terbalik dengan kritisi elite PDIP di masa lalu yang bahkan menyebut JIS “abal-abal”.
Akhir pekan kemarin, Bang Rano memuji Anies sebagai salah satu Gubernur Jakarta yang membuat The Big Durian menjadi tempat yang aman nyaman bagi semua orang.
Kembali, pertanyaan besarnya adalah mengapa PDIP, baik melalui Pramono, Rano, maupun elite mereka lainnya, tampak memberikan citra atau impresi kedekatan dengan Anies? Lalu, apa dampaknya bagi kedua belah pihak?
PDIP Lebarkan Sayap?
Interpretasi umum yang pertama muncul ke permukaan di balik pertanyaan sebelumnya adalah bahwa Pramono-Rano dan PDIP berusaha mengakuisisi ceruk suara loyalis Anies di Jakarta.
Tak bisa dipungkiri, 2.653.762 suara yang mendukung Anies di Pilpres 2024 serta statusnya sebagai Gubernur Jakarta petahana, membuat absennya ia di kontestasi meninggalkan swing voters atau massa mengambang yang diperkirakan cukup besar.
Loyalis Anies di Jakarta kini dihadapkan pada opsi rumit apakah harus menggunakan hak politiknya untuk mendukung Ridwan Kamil-Suswono, Pramono-Rano, Dharma Pongrekun-Kun Wardana, atau tak menentukan sikap sama sekali.
Ketika menggelar narasi dan berusaha mencocokkannya dengan pilihan yang ada, tak ada satu pun yang kiranya representatif bagi loyalis Anies.
Celah ini lah yang kemungkinan berusaha dieksploitasi PDIP melalui duet Pramono-Rano melalui konstruksi narasi “manis” kepada Anies belakangan ini.
Sukar dibayangkan sebelumnya, ceruk Islam perkotaan yang memiliki irisan konservatif sebagai elemen dominan di balik loyalis Anies boleh jadi menjadi segmen yang kali ini berusaha dipenetrasi PDIP di Pilkada Jakarta 2024.
Tentu, dengan kalkulasi yang mengakomodir kepentingan mereka di Jakarta 2024, plus, tak menutup kemungkinan proyeksi membuka ruang gerak dan menutup celah potensi rival sulit mereka di 2029.
Mengapa itu bisa terjadi?
Pertama, PDIP dan Anies memiliki common enemy yang sama di level nasional dan Jakarta, yakni Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus.
Dengan memainkan narasi positif terhadap Anies, PDIP tampaknya mengaktualisasikan pepatah sekali dayung dua pulau terlampaui dalam konteks merebut ceruk suara loyalis Anies, serta sebagai representasi antitesis KIM Plus di Jakarta dengan berbagai isu yang mengiringinya.
Kedua, PDIP mungkin tengah menerapkan salah satu esensi yang tersirat dalam esai Tiongkok Thirty Six Stratagem yang digunakan untuk menggambarkan serangkaian siasat yang digunakan dalam politik, perang, dan interaksi sosial.
Dalam siasat ke-24, Jiǎ tú fá Guó atau yang berarti mencari lintasan aman untuk menjajah Kerajaan Guo mungkin sedang diimplementasikan oleh PDIP.
Secara tersurat, siasat itu adalah meminjam sumber daya sekutu untuk menyerang musuh bersama. Sesudah musuh dikalahkan, gunakan sumber daya tersebut untuk menempatkan sekutu untuk diserang demi kemenangan.
Di titik ini, menarik simpati loyalis Anies dengan memberikan impresi positif mungkin hanya dimanfaatkan PDIP secara elektoral di Pilkada 2024 saja.
Hal itu dikarenakan, secara ideologis dan riwayat masa lalu, cukup sulit kiranya mendamaikan loyalis, akar rumput, dan simpatisan PDIP yang terluka karena isu identitas yang digaungkan Anies di PIlkada 2017 silam.
Pada akhirnya, PDIP dan Pramono-Rano mungkin hanya secara sporadis menyelaraskan narasi dengan Anies di Jakarta, dan tidak secara frontal terus dilakukan.
Di sisi lain, benefit politik dari narasi positif tampaknya tak signifikan bagi Anies. Justru, Anies bisa terjerumus jika terus terbuai pujian dan mengikuti irama politik PDIP.
Ujian Konsistensi Anies?
Saat Pramono, Rano, dan elite PDIP memberikan apresiasi dan pujian, di saat itu pula Anies berpotensi memperoleh kemudaratan.
Justru jika semakin dekat dengan PDIP terlalu dalam, Anies bisa dicap standar ganda, inkonsisten, dan memiliki topeng yang terlalu banyak.
Mengacu pada analisis dramaturgi Erving Goffman dalam The Presentation of Self in Everyday Life dijelaskan bagaimana individu dalam kehidupan sosial sering kali memainkan peran yang berbeda di depan audiens yang berbeda. Namun hal itu tak selalu bermakna baik.
Jika Anies terlalu dekat atau bahkan teridentifikasi sebagai bagian integral dari PDIP, ia bisa saja dilihat sebagai aktor yang memainkan terlalu banyak peran. Ihwal yang berisiko menimbulkan persepsi sebagai orang yang tidak tulus atau inkonsisten dalam berpolitik dan memperjuangkan nilainya.
Di sisi lain, hal itu berbeda dengan PDIP yang kemungkinan hanya memainkan irama politik di ranah narasi, bukan secara praktikal dengan merekrut Anies sebagai kader.
Apalagi, jika benar-benar memberikan panggung kepada Anies, PDIP juga bisa dikatakan “bunuh diri”. Hal itu mengingat dua hal, yakni PDIP yang berambisi come back di 2029 serta Anies yang berpotensi menjadi rival mereka di Pilpres tahun yang sama.
Anies tercatat dan mengakui tak pernah bertemu dengan pemilik hak tunggal keputusan PDIP, yakni Megawati Soekarnoputri dalam beberapa waktu belakangan. Pun dengan pernyataan Megawati sendiri yang kurang positif terhadap Anies.
Dengan kata lain, PDIP boleh jadi sama sekali tak tertarik merangkul Anies secara formal dan hanya memanfaatkan buaian narasi positif untuk setidaknya menarik sebagian massa mengambang Anies di Jakarta.
Dengan mendekati Anies tanpa komitmen politik formal, PDIP bisa menarik segmen loyalis Anies tanpa kehilangan identitas ideologis mereka. Hal ini mengurangi risiko alienasi dari basis tradisional PDIP yang mungkin masih memandang Anies dengan skeptis.
Menarik untuk menantikan apakah irama politik yang dimainkan PDIP terhadap Anies akan membuat duet Pramono-Rano merengkuh hasil maksimal di Pilkada Jakarta. (J61)