Dengarkan Artikel Ini:
Partai NasDem saat ini menjadi sorotan setelah tidak ikut serta dalam interupsi usulan hak angket dalam rapat paripurna DPR RI Selasa, 5 Maret 2024 kemarin. Padahal, sebelumnya Partai NasDem cukup vokal terhadap usulan hak angket kecurangan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Mengapa demikian?
Dalam Rapat Paripurna ke-13 DPR RI yang diselenggarakan pada Selasa, 5 Maret 2024 kemarin, tiga fraksi melakukan interupsi untuk mengusulkan hak angket terhadap kecurangan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Ketiganya adalah PDIP, PKB dan PKS.
Uniknya, ada dua fraksi lainnya yang berada dalam koalisi pasangan calon (paslon) Ganjar-Mahfud dan Anies-Cak Imin, yakni PPP dan Partai NasDem belum menyatakan sikap secara resmi dalam sidang paripurna tersebut.
Padahal, salah satu dari dua partai itu, yakni Partai NasDem sebelumnya termasuk partai yang cukup vokal dalam menyuarakan hak angket.
“Labilnya” partai besutan Surya Paloh itu kiranya juga terlihat dari pendapat beberapa elite mereka di DPR yang terlihattidak kompak satu sama lain.
Sebelum Rapat Paripurna, anggota DPR fraksi Partai NasDem Ahmad Sahroni mengatakan bahwa sikap mereka menunggu PDIP.
Namun, pernyataan Sahroni itu langsung “diveto” oleh anggota DPR fraksi Partai NasDem lainnya Sugeng Suparwoto yang menyatakan jika langkah mereka tidak tergantung dari PDIP.
Menurut Sugeng saat ini partainya masih menunggu keputusan resmi perhitungan suara Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mengajukan hak angket.Menariknya, jawaban Sugeng berbeda lagi dengan anggota fraksi Partai NasDem yang lain, yakni Taufik Basari.
Dia mengatakan jika Partai NasDem saat ini sedang mempersiapkan langkah yang lebih konkret dengan mengumpukan tanda tangan semua anggota fraksi.
Dengan perubahan sikap partai dalam usulan hak angket dan berbagai perbedaan jawaban yang disampaikan para elite, tampaknya mengindikasikan ada dinamika terjadi dalam partai itu.
Lantas, mengapa Partai NasDem kiranya berubah sikap terkait usulan hak angket? Apa yang kiranya terjadi dalam internal Partai NasDem?
Kepentingan Partai Lebih Besar?
Dunia politik selalu dinamis, sehingga dikenal adagium “tidak ada kawan dan lawan yang abadi, tapi hanya kepentingan”. Sebuah hal yang menggambarkan semua aktor politik bisa berubah kapan pun tergantung dari kepentingan mana yang akan mereka perjuangkan.
Kiranya hal ini juga yang terjadi pada Partai NasDem. Perubahan sikap mereka terhadap usulan hak angket tampaknya memperlihatkan ada kepentingan lain yang lebih penting dibandingkan sekadar mengusut kecurangan Pemilu 2024.
Partai NasDem boleh jadi sedang memainkan strategic ambiguity atau ambiguitas strategi yang berarti tindakan atau kebijakan yang sengaja dirancang atau disampaikan secara tidak jelas atau ambigu, sehingga memberikan ruang interpretasi yang beragam bagi pihak-pihak yang terlibat.
Ambiguitas dapat memberikan fleksibilitas dalam mengubah kebijakan atau posisi politik tanpa terlalu banyak tekanan dari berbagai pihak.
Setidaknya, ada dua kemungkinan dan kepentingan yang sedang diperjuangkan Partai NasDem pasca Pemilu 2024 ini.
Pertama, Partai NasDem tampaknya sedang mencari aman mengingat posisinya yang masih menjadi partai pendukung Presiden Joko Widodo (Jokowi), namun berbeda haluan di Pilpres 2024.
Sepesifik di case Jokowi, Partai NasDem tampaknya sadar jika hak angket ini berhasil diajukan, maka pemerintahan mantan Wali Kota Solo yang saat ini mereka dukung akan terancam. Sehingga, Partai NasDem kiranya akan bermain zona aman terkait hak angket.
Dengan bermain di zona aman, Partai NasDem kiranya sedang memperlihatkan kesetiaan mereka pada pemerintahan Jokowi.
Hal itu kiranya tercermin dari pernyataan para elite partai yang berbeda-beda, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya.
Kedua, Partai NasDem tampaknya juga membuka kemungkinan bergabung dengan koalisi pendukung Prabowo-Gibran.
Dengan bungkamnya Partai NasDem dalam rapat paripurna, ini seakan menandakan mereka membuka diri dari berbagai kemungkinan, termasuk bergabung dengan koalisi politik Prabowo-Gibran.
Hal ini tak terlepas dari peran Ketua Umum (Ketum) mereka, Surya Paloh yang merupakan seorang pebisnis, yang mana biasanya dikenal pragmatis dalam banyak situasi.
Dina Gerdeman dalam tulisannya These Entrepreneurs Take a Pragmatic Approach to Solving Social Problems di Harvard Business School, menjelaskan pengusaha memiliki kecenderungan menggunakan pendekatan pragmatis ketika menyelesaikan masalah.
Itu tentu saja bertolak dari upaya untuk mengamankan bisnis yang tengah berjalan.
Berkaca dari penjelasan tersebut, maka tidak mengherankan jika sikap Partai NasDem terhadap usulan hak angket mengalami perubahan.
Partai NasDem tampaknya akan menunggu tawaran politik dari kubu Prabowo-Gibran jika mereka bergabung. Terlebih, dukungan Partai NasDem juga dibutuhkan oleh Prabowo-Gibran untuk memperkuat pemerintahan mereka.
Kedua kemungkinan di atas akan kembali serta tergantung pada komunikasi dan lobi politik yang dilakukan Partai NasDem kepada pihak-pihak terkait.
Lobi Tingkat Tinggi?
Jika benar tidak ikut sertanya NasDem dalam usulan hak angket dipengaruhi oleh adanya komunikasi politik terhadap berbagai kemungkinan dan peluang, maka kiranya hal itu hanya akan diketahui atau bahkan diatur oleh segelintir elite saja.
Burhanudin Muhtadi dalam bukunya yang berjudul Populisme, Politik Identitas, dan Dinamika Elektoral: Mengurai Jalan Panjang Demokrasi Prosedural menjelaskan jika keputusan yang terkait pilpres dilakukan secara tertutup atau dikenal dengan istilah smoke-filled room.
Istilah smoke-filled room dipopulerkan pada awal abad ke-20. Ketika merokok masih menjadi praktik umum di ruang publik, tidak jarang para politisi berkumpul di ruangan yang dipenuhi asap cerutu untuk berdiskusi dan mengambil keputusan tentang masalah-masalah penting.
Smoke-filled room digunakan untuk menggambarkan situasi di mana politisi atau individu kuat berkumpul di ruang pribadi tertutup untuk membuat keputusan atau negosiasi penting tanpa pengawasan publik.
Dalam konteks komunikasi politik yang dilakukan NasDem demi kepentingan membuka peluang yang lebih menguntungkan partai mereka tampaknya hanya akan dibuat dan diketahui oleh beberapa elite Partai NasDem dan pihak lain.
Bahkan, bukan tidak mungkin sangat sedikit pihak di internal Partai NasDem nantinya yang akan dilibatkan secara langsung mengenai pembuatan keputusan strategis itu.
Entah itu nantinya akan tetap konsisten mengusulkan hak angket dan bergabung bersama PDIP, PKS dan PKB. Atau, kemungkinan bergabung dengan kubu Prabowo-Gibran dan masuk dalam susunan partai pendukung pemerintahan 2024-2029 nantinya.
Namun yang perlu diketahui, meskipun Surya Paloh merupakan sosok yang pragmatis, dirinya terkenal konsisten terhadap sosok yang dia dukung. Setidaknya, tergambar sejak 2014 Paloh mendukung Presiden Jokowi.
Meskipun posisi Partai NasDem dalam pemerintahan sempat “digoyang”, tapi Paloh tetap menunjukkan kesetiaannya dan konsistensinya dalam mendukung Presiden Jokowi sampai masa jabatannya berakhir.
Jika Paloh membawa Partai NasDem bergabung dengan Prabowo-Gibran ini menunjukkan pertama kalinya dia tidak konsisten dalam mendukung sosok yang diusungnya dalam pilpres.
Kembali, menarik untuk ditunggu langkah politik Partai NasDem selanjutnya setelah menunjukkan adanya perubahan sikap terhadap usulan hak angket dengan memutuskan bungkam dalam Rapat Paripurna DPR kemarin. (S83)