Site icon PinterPolitik.com

Siasat Pilpres Tanpa Jokowi

Siasat Pilpres Tanpa Jokowi

Presiden Joko Widodo (Foto: Reuters)

Bagaimana jadinya jika Pilpres 2019 nanti tanpa Jokowi sebagai petahana?


PinterPolitik.com

[dropcap]E[/dropcap]naknya jadi Presiden Jokowi. Genderang perang Pilpres 2019 belum ditabuh, ia sudah panen dukungan. Nyaris semua partai politik peserta Pemilu sudah jauh-jauh hari menyatakan dukungan pada Mantan Gubernur Jakarta tersebut.

Sekilas, jalan menuju 2019 sudah lapang bagi orang nomor satu tersebut. Dukungan minimal untuk memenuhi syarat presidential threshold 20 persen sudah dalam genggaman. Apalagi, ada dua partai besar yaitu Golkar dan PDIP berada di perahunya.

Akan tetapi, bukan politik namanya jika tidak ada kejutan. Saat ini Jokowi boleh saja merasa aman dengan dukungan parpol di sakunya. Akan tetapi, bisa saja ia justru ditinggalkan oleh parpol-parpol pendukungnya. Pergantian dukungan di detik-detik terakhir  memang kerap dilakukan parpol di negeri ini.

Jika hal itu terjadi, maka Pilpres 2019 terancam tanpa diikuti oleh calon petahana. Sulit untuk membayangkan Jokowi menyeberang ke kubu lawan yang digawangi Gerindra dan PKS. Apa jadinya Pilpres tanpa Jokowi?

Pilpres Tanpa Petahana

Menjadi kandidat petahana adalah hal yang amat menguntungkan bagi kandidat yang menghadapi suatu pemilihan. Segala sumber daya mulai dari modal hingga jejaring lebih mudah dikendalikan dari posisi ini. Hal serupa berlaku bagi dukungan parpol, petahana umumnya lebih menarik bagi parpol-parpol yang ada.

Sangat jarang terjadi petahana yang tidak melaju untuk masa jabatan yang kedua. Kalaupun ini terjadi, umumnya karena kandidat petahana tersebut memiliki popularitas atau tingkat kepuasan yang amat rendah. Dr. David Lees, peneliti dari Warwick University misalnya mengatakan bahwa petahana tidak dapat kembali maju karena gagal memenuhi janjinya pada kampanye sebelumnya. Hal ini dialami misalnya oleh mantan Presiden Prancis Francois Hollande beberapa waktu lalu.

Sulit untuk membayangkan jika calon petahana terganjal melaju untuk periode kedua meski memiliki popularitas yang tinggi. Hal ini dapat menunjukkan bahwa kuasa rakyat masih jauh di bawah kehendak partai dalam menentukan orang nomor satu di negeri ini.

Sebagai petahana, popularitas Jokowi masih yang teratas jika dibandingkan nama-nama lainnya. Di berbagai survei, nama sang RI-1 masih berada di puncak dan nyaris tidak tergoyangkan. Sulit untuk melihat posisi puncak tersebut akan tersalip dalam waktu dekat.

Kondisi serupa berlaku pada tingkat kepuasan di bawah sang petahana. Pada survei SMRC Januari lalu misalnya, kepuasan pada pemerintahan Jokowi mencapai 74,3 persen. Sementara pada survei Indo Barometer Februari lalu, kepuasan pada kepemimpinan Jokowi mencapai 60,4 persen.

Jika Jokowi begitu populer di berbagai survei, apa yang dapat membuat pilpres nanti tanpa Jokowi? Apa yang dapat menyebabkan Mantan Gubernur Jakarta itu kalah sebelum bertanding di 2019?

Jokowi Pilih-pilih Wakil

Jauh-jauh hari, Jokowi sudah memanen dukungan dari berbagai parpol. Dua partai besar berhaluan nasionalis, Golkar dan PDIP tidak ingin ketinggalan kereta. Mereka segera mengumumkan Jokowi sebagai capres yang mereka usung di 2019.

Meski sudah mengantongi dukungan dari Partai Beringin dan Banteng, posisi Jokowi bisa saja masih belum aman. Kedua partai ini memiliki riwayat mencabut dukungan di detik-detik terakhir. Bukan tidak mungkin Jokowi akan mengalami nasib serupa seperti Ridwan Kamil yang kehilangan dukungan dari kedua partai berhaluan nasionalis ini.

Ridwan Kamil kehilangan dukungan dari kedua parpol tersebut karena memiliki masalah dalam pemilihan wakil. Dengan Golkar misalnya, ia sudah disodorkan nama Daniel Muttaqin, tapi ia menggantung tawaran itu terlalu lama. Kondisi serupa terjadi dengan PDIP yang dikabarkan batal mendukung Emil karena menolak nama Anton Charliyan.

Skenario Pilpres tanpa Jokowi dapat terjadi apabila terdapat masalah dalam penentuan cawapres bagi Mantan Walikota Solo tersebut. Seperti diketahui, sejauh ini Jokowi disodorkan sejumlah nama calon RI-2 dari berbagai parpol. Jokowi bisa saja terhempas dari pertarungan di 2019 nanti jika tidak berhasil menyetujui satu nama yang disodorkan oleh parpol-parpol pendukungnya.

Masing-masing parpol tentu ingin agar nama kader mereka ada di kursi RI-2. Posisi tersebut cenderung seksi bagi mereka, karena dapat mengerek suara mereka di pemilihan selanjutnya.

Jokowi tentu tidak ingin sembarangan memilih wakil. Sebagai presiden yang dicitrakan amat baik di media, tentu ia ingin memiliki pasangan dengan reputas yang baik pula. Ia tentu tidak ingin dibebani oleh pasangan yang memiliki beban di masa lalu dan masa kini.

Sikap hati-hati Jokowi dalam memilih pasangan dapat berbuah bahaya baginya. Parpol-parpol ini tentu ingin memiliki kursi empuk di sebelah Jokowi. Jika ia terlalu banyak menetapkan kriteria dan menolak calon yang diajukan parpol, bukan tidak mungkin ia kehilangan dukungan.

Yang paling berbahaya tentu adalah Partai Golkar dan PDIP. Sebagai partai dengan persentase suara paling besar, mereka tentu akan merasa terhina jika Jokowi terlalu banyak melakukan pertimbangan. Bukan tidak mungkin mereka pada akhirnya menarik dukungan seperti yang terjadi pada Ridwan Kamil.

PDIP Paksa Calon Sendiri?

Salah satu nama yang santer diberitakan menjadi cawapres bagi Jokowi adalah Kepala BIN Budi Gunawan (BG). Mantan Wakapolri tersebut tiba-tiba hangat dibicarakan menjadi salah satu kandidat pada pesta demokrasi di 2019 nanti.

Beberapa media mengabarkan bahwa PDIP mempertimbangkan nama Kepala BIN tersebut untuk menjadi pasangan Jokowi. Partai yang identik dengan warna merah ini memang dikenal memiliki kedekatan dengan BG melalui Ketua Umum mereka Megawati Soekarnoputri.

Jika citra baik yang jadi pertimbangan Jokowi, boleh jadi nama BG bukan menjadi pasangan yang ideal baginya. BG terlanjur dikenal sebagai perwira polisi yang bermasalah. BG misalnya gagal menjadi Kapolri karena ditetapkan menjadi tersangka korupsi rekening gendut oleh KPK. Namanya semakin tercoreng karena disebut-sebut memimpin aksi pelemahan terhadap KPK.

Citra positif Jokowi tentu tidak sejalan dengan BG yang terlanjur dicap negatif oleh masyarakat. Oleh karenanya, bisa saja Jokowi mengatakan tidak pada calon kemungkinan disodorkan PDIP tersebut.

Dalam beberapa kesempatan, PDIP kerap bersikukuh memajukan kandidatnya sendiri jika jagoannya tersebut ditolak oleh calon yang ia coba pinang. Hal ini bisa saja berlaku kembali jika Jokowi menolak dijodohkan dengan BG di 2019 nanti. Artinya, PDIP bisa saja akan memaksa diri mencalonkan BG menjadi capres jika Jokowi menolak Kepala BIN tersebut menjadi wakilnya.

Disinyalir, Golkar akan mengikuti langkah PDIP jika partai tersebut mengalihkan dukungan ke BG. Belakangan, aroma kedekatan kedua partai ini semakin tercium. Apalagi, BG sendiri memang dikenal cukup lihai membangun relasi dengan partai-partai di DPR seperti Golkar.

Salah satu kader elit Golkar misalnya, Bambang Soesatyo (Bamsoet) pernah memberikan dukungan pada Mantan Wakapolri tersebut. Saat BG dicalonkan menjadi Kapolri, Bamsoet dan Golkar menilai BG merupakan sosok yang tepat untuk posisi tersebut. Selain itu, Ketua DPR ini juga pernah membela bahwa kasus rekening gendut BG hanyalah isu belaka.

Pernyataan tersebut bisa saja menjadi bukti bahwa BG mampu membangun relasi yang baik dengan Golkar. Oleh karena itu, tidak akan sulit bagi BG dan PDIP untuk meyakinkan partai beringin ini untuk berada dalam satu gerbong.

Jika sudah begitu, maka dukungan Jokowi yang semula sudah cukup akan berkurang. Sejauh ini, jika diminus PDIP dan Golkar, Jokowi hanya mengumpulkan dukungan dari partai-partai menengah yaitu Nasdem, PPP, dan Hanura. Jika dijumlahkan, persentase ketiganya hanya mencapai 18,51 persen saja. Jumlah tersebut masih belum cukup untuk memberi dukungan pada Jokowi.

Sulit untuk membayangkan jika Jokowi mendapat dukungan dari kubu seberang  yang digawangi Gerindra, PKS, dan -mungkin- PAN. Gerindra tampaknya masih bernafsu mendorong Ketua Umum mereka Prabowo Subianto merengkuh kursi RI-1. Apalagi, Jokowi kerap masih dianggap musuh bebuyutan bagi poros ini. Praktis, harapan Jokowi melaju di Pilpres dengan tiket dari mereka nyaris tertutup.

Memang masih ada Partai Demokrat dan PKB yang belum menunjukkan sikap apapun. Meskipun demikian, belakangan PKB dikabarkan berniat membangun poros alternatif bersama Demokrat. Oleh karena itu, Jokowi sulit berharap berlebihan pada kedua partai ini.

Sangat janggal jika Pilpres nanti tanpa Jokowi  atau petahana. Popularitas bisa saja tidak berarti jika tidak berhasil menyenangkan hati partai sekaliber Golkar dan PDIP. Jokowi harus putar otak agar bisa menyenangkan mereka jika tidak menerima calon seperti BG. Jadi, mungkinkah Pilpres nanti tanpa Jokowi? (H33)

Exit mobile version