Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto menekankan pada pentingnya penguasaan teknologi pertahanan Indonesia dalam suatu rapat di Kementerian Pertahanan (Kemhan) pada Mei 2021 lalu. Ancaman perang modern seperti apa yang ingin diantisipasi oleh Prabowo?
“An RMA as when a nation’s military seizes an opportunity to transform its strategy, military doctrine, training, education, organization, equipment, operations and tactics to achieve decisive military results in fundamentally new ways” – William Cohen, mantan Menteri Pertahanan Amerika Serikat (AS)
Kutipan pernyataan dari mantan Menteri Pertahanan (Menhan) Amerika Serikat (AS) di atas secara garis besar menjelaskan bahwa RMA (revolution in military affairs) atau revolusi militer itu terjadi karena adanya upaya dari kekuatan militer sebuah negara untuk melakukan perubahan dengan tujuan untuk menghasilkan cara-cara terbaru. Konsep revolusi militer ini semakin berkembang khususnya saat momentum perang antara AS dengan beberapa negara seperti Kuwait, Serbia dan Irak.
Menghadapi ketiga perang tersebut, negara adidaya AS sudah mampu mengoptimalkan teknologi untuk memperoleh informasi tentang kekuatan musuh. Alhasil, serangan yang dilancarkan kepada pihak lawan juga bisa lebih tepat sasaran tanpa menyasar kepada pihak lain.
Momentum ini pula yang menjadi sebuah awal bagi AS dalam menggunakan senjata jarak jauh untuk meredam perlawanan musuh. Menurut tulisan Martin van Creveld dalam buku The Oxford History of Modern War, perkembangan teknologi dalam persenjataan mulai berkembang pesat dengan munculnya intercontinental ballistic missilies (ICBMs) yang masing-masing bisa berfungsi baik di darat, laut dan udara.
Modifikasi persenjataan bahkan terus berkembang hingga adanya temuan senjata pemusnah massal yang menggunakan energi nuklir. Namun, inovasi teknologi persenjataan tidak hanya berhenti sampai di situ saja seiring dengan definisi perang yang semakin berkembang menyesuaikan zaman.
Kondisi inilah yang menjadi fokus dari Menhan RI Prabowo Subianto. Ia menilai bahwa saat ini istilah perang bukan lagi spesifik yang mengarah kepada perang dengan menggunakan senjata konvensional. Namun, tren perang yang dimaksudkan oleh Prabowo adalah lebih didominasi oleh perang teknologi yakni meliputi perang ilum pengetahuan dan teknologi (IPTEK), perang siber, hingga perang intelijen.
Semua istilah perang tersebut lebih mengarah kepada perang yang tidak memprioritaskan alat utama sistem persenjataan atau alutsista konvensional. Atas dasar inilah Prabowo menilai bahwa perlu bagi negara untuk mengoptimalkan para intelektual khususnya yang fokus dalam teknologi.
Hal ini mengacu pada adanya ancaman yang semakin berkembang seperti drone nirawak hingga ancaman siber. Maka, melihat ancaman yang semakin tidak kasat mata ini, apakah Indonesia sudah siap? Mengapa Prabowo merasa perlu untuk merespons ancaman tersebut?
Belum Memadai?
Apabila melihat kondisi Indonesia saat ini sepertinya sulit untuk mencari para ilmuwan yang berkecimpung di sektor IPTEK untuk berkontribusi untuk meredam ancaman dari luar. Hal ini tidak lepas dari sejumlah indikator yang memperlihatkan bahwa Indonesia masih belum meletakkan fokus utama terhadap sektor perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Direktur Program Indef Esther Sri Astuti menegaskan bahwa dana research and development (R&D) atau penelitian dan pengembangan (litbang) Indonesia masih tertinggal dibandingkan dengan Malaysia dan Vietnam. Bahkan, R&D Indonesia masih jauh tertinggal dari Singapura, Jepang, dan Korea. Alhasil, indeks inovasi dan teknologi Indonesia masih berada di sekitar peringkat 70.
Tidak hanya itu, mantan Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristek) Bambang Brodjonegoro juga mengakui bahwa peringkat indeks kompetisi global Indonesia dalam bidang inovasi turun dari peringkat 45 menjadi 50 pada tahun 2019. Beberapa faktor yang memengaruhi hal tersebut yaitu meliputi kualitas sumber daya manusia (SDM), fokus dalam melakukan penelitian, hingga anggaran untuk melakukan penelitian. Tiga faktor ini cukup berpengaruh kuat terhadap perkembangan kualitas inovasi teknologi di Tanah Air.
Sementara itu, berdasarkan data dari Global Innovation Index (GII) pada tahun 2020, peringkat Indonesia masih berada di posisi bawah yakni urutan ke-85 dari 131 negara paling inovatif di dunia. Kondisi ini tidak lepas dari salah satu faktor penting seperti masih adanya fenomena tumpang tindih terkait hasil penelitian dan inovasi di Indonesia. Dampaknya pun menyasar kepada pemborosan keuangan negara karena hasil penelitiannya tidak memuaskan sehingga tujuan untuk inovasi menjadi tidak tercapai.
Di samping itu, pembubaran Kementerian Riset dan Teknologi (Kemristek) juga dinilai cukup berpengaruh terhadap perkembangan inovasi dan teknologi di Tanah Air. Banyak pihak yang mengatakan bahwa peleburan Kemristek menjadi sebuah tanda bahwa pemerintah tidak memprioritaskan pengembangan riset dan inovasi.
Hal ini disampaikan oleh mantan Deputi II Kepala Staf Kepresidenan Yanuar Nugroho yang mengemukakan bahwa langkah pembubaran tersebut juga memberikan sinyal bahwa tidak ada perencanaan terkait hal-hal yang sifatnya strategis dalam bidang riset dan inovasi.
Melihat berbagai faktor tersebut, maka sepertinya Indonesia masih belum memiliki fondasi yang kuat perihal teknologi dan inovasi untuk meredam ancaman. Terlebih dengan berjalannya waktu dan perkembangan teknologi, maka perang juga mengalami perubahan yang cukup signifikan.
Dalam tulisan Ajey Lele yang berjudul Asymmetric Warfare: A State vs Non State Conflict, dijelaskan bahwa karakter sebuah perang mulai berubah pasca peristiwa 9/11. Bentuk perang yang awalnya lebih kepada perang dengan kontak senjata langsung dengan kekuatan militer kini semakin bergeser.
Pergeseran bentuk perang jelas terlihat pada awal abad ke-21, yaitu dengan munculnya asymmetric war atau perang asimetris. Lantas, apakah Indonesia siap untuk menghadapi kehadiran perang baru di abad ke-21 ini?
Prabowo dan Perang di Masa Depan
Eksistensi perang asimetris sebenarnya mulai terlihat pada saat momentum gagalnya AS dalam menaklukkan Vietnam Utara yang dipimpin oleh Ho Chi Minh pada tahun 1955-1975. Melalui perang gerilya, Vietnam Utara mampu mengalahkan pasukan AS yang didukung dengan alutsista militer yang mumpuni.
Berdasarkan tulisan Andrew Mack yang berjudul Why Big Nations Lose Small Wars: The Politics of Asymmetric Conflict, sebuah perang asimetris suatu kelompok kecil atau negara kecil yang berhasil mengalahkan negara besar dengan kekuatan militer yang mumpuni tidak hanya sekedar menang di medan perang melainkan mampu memberikan pengaruh terhadap situasi politik negara yang kalah. Hal ini terwujud dari maraknya penolakan dari masyarakat AS terhadap perang Vietnam karena dianggap gagal meskipun sudah mengerahkan banyak pasukan dan menggunakan anggaran besar untuk persenjataan militer.
Dalam hal ini suatu nilai yang bisa diambil adalah suatu kekuatan kecil atau negara kecil ternyata mampu mengalahkan kekuatan besar tanpa harus mengerahkan kekuatan militer. Perang asimetris mengajarkan bahwa efektivitas mampu mengalahkan kuantitas jika penggunaan sumber daya bisa dilakukan dengan optimal dan tepat sasaran.
Di era modern seperti saat ini, negara-negara di dunia tidak lagi memprioritaskan perang konvensional untuk mencapai tujuannya. Kemajuan teknologi dan inovasi kini menjadi salah satu prioritas yang dipandang negara-negara sebagai aspek penting dalam menghadapi perang di masa depan.
Salah satu contoh negara yang gencar memprioritaskan teknologi dan inovasi ialah Singapura. Negara tetangga Indonesia ini sudah mengaplikasikan dan mengintegrasikan teknologi dalam sistem pertahanan untuk meredam ancaman perang modern.
Tulisan berjudul Adaption or Innovation for Singapore’s Armed Forces? karya Michael Raska menjelaskan bahwa Singapura telah memodernisasi kekuatan militernya agar mampu meredam ancaman yang bersifat hybrid atau perang yang mengedepankan penggunaan teknologi sebagai ‘senjata’. Hal ini dilakukan untuk membentuk Singapura menjadi negara yang superior dari segi teknologi militer di antara negara-negara lain termasuk negara tetangga di ASEAN.
Melihat situasi ini, maka tidak heran jika Menhan Prabowo menekankan untuk mengoptimalkan sumber daya manusia yang berprofesi sebagai ilmuwan khususnya di sektor teknologi. Tujuannya, selain mempersiapkan Indonesia dalam menghadapi perang masa depan tetapi juga untuk menjadikan posisi Indonesia sebagai negara yang disegani oleh negara-negara lain.
Selain itu, jika mengacu pada esensi perang asimetris yang semakin efektif dengan penggunaan teknologi, wajar apabila Indonesia sebaiknya mulai fokus untuk memperkuat teknologi dan inovasi. Boleh jadi, inilah alasan mengapa Prabowo kini gencar melakukan diplomasi pertahanan dengan sejumlah negara – seperti AS, Prancis, Austria, Tiongkok, dan sebagainya.
Sejumlah ahli dan pengamat menyebutkan bahwa upaya diplomasi ini merupakan cara Prabowo memodernasi teknologi alutsista yang dibutuhkan. Noto Suoneto dan Ananta Evander dalam tulisannya di The Diplomat menyebutkan bahwa salah satu komponen pembahasan yang kerap dibawa oleh Prabowo adalah perjanjian transfer teknologi.
Bukan tidak mungkin, dengan transfer teknologi, Indonesia menjadi memiliki kapabilitas lebih dalam memanfaatkan teknologi modern di bidang pertahanan dan keamanan. Menarik untuk terus diikuti bagaimana buah yang dihasilkan dari berbagai petualangan Prabowo ini. (G69)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.