Wacana cohabitation yang keras berhembus memasuki babak baru. Jika sebelumnya Partai Demokrat dianggap sebagai pintu masuk bagi terwujudnya jalan tengah posisi itu kini disebut-sebut diambil alih oleh PDIP. Tentu saja wacana yang digulirkan tidak tekstual. Namun, ajakan bagi kubu Prabowo-Sandi untuk merapat ke koalisi pemerintahan Jokowi-Ma’ruf akan menjadi fenomena menarik, hal yang oleh beberapa pihak disebut sebagai “politik kumpul kebo” alias “kumbo”.
PinterPolitik.com
“It is enough that the people know there was an election. The people who cast the votes decide nothing. The people who count the votes decide everything”.
:: Joseph Stalin (1878-1953) ::
Wacana percepatan Kongres PDIP menjadi berita politik terbaru di tengah sengkarut sidang gugatan Pilpres 2019 yang kini tengah dibahas di Mahkamah Konstitusi (MK). Isu ini menjadi pergunjingan yang menarik karena melahirkan banyak penafsiran.
Pasalnya, Kongres PDIP seharusnya baru akan dilaksanakan pada tahun 2020 dan umumnya diikuti dengan proses pemilihan Ketua Umum. Dengan percepatan Kongres yang disebut-sebut akan terjadi pada bulan Agustus 2019, wacana peralihan posisi Ketua Umum pada akhirnya tak bisa dihindari dari perdebatan.
Apalagi Megawati Soekarnoputri sudah sejak November 2018 lalu menyebut dirinya ingin pensiun dari posisinya di pucuk partai banteng itu.
Namun, perdebatan lain yang mengemuka justru berhubungan dengan posisi politik PDIP jelang periode kedua pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Beberapa pihak menyebutkan bahwa percepatan Kongres tersebut dianggap sebagai strategi untuk membendung potensi mantan Wali Kota Solo itu mendekat ke kubu politik lain.
Manuver politik Partai Demokrat misalnya yang mulai mendekat ke Jokowi dan oleh beberapa pihak disebut ingin menjadi penghubung antara Jokowi dengan Prabowo Subianto, dianggap sebagai “ancaman” secara politik bagi PDIP.
Bahasa politik yang berubah-ubah di antara dua partai tersebut memang menyiratkan masih peliknya diplomasi politik yang terjadi antara partai yang dipimpin Megawati Soekarnoputri dengan partai pimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tersebut.
Demokrat lewat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan sang adik Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas) memang telah bertemu Megawati di momen Lebaran. Namun, saling serang soal wacana Demokrat yang ingin ada pembubaran koalisi memang bisa dipahami sebagai gambaran kondisi politik yang riil terjadi, terutama dengan Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf Amin secara keseluruhan sebagai satu kesatuan.
Sekalipun PDIP kerap memandang positif wacana dan upaya yang dilakukan oleh Demokrat dalam mendekat ke kubu Jokowi, namun bisa dipastikan konteks tersebut tidaklah dalam keadaan yang aman-aman saja untuk partai banteng tersebut.
Sinyal regenerasi partai disebut-sebut sebagai alasan dipercepatnya kongres V PDIPNantikan artikel selengkapnya di Pinterpolitik.com
Posted by Pinter Politik on Monday, June 17, 2019
Demokrat memang disebut-sebut sedang mengupayakan cohabitation – istilah untuk pemerintahan bersama – di mana Jokowi dan Prabowo bisa terlibat bersama-sama dalam kekuasaan eksekutif.
Terminologi ini memang tidak diaplikasikan secara text book atau tekstual, mengingat cohabitation umumnya terjadi di negara yang menganut sistem semi-presidensial, di mana ada presiden dan perdana menteri yang menjadi pucuk kekuasaan tertinggi negara.
Informasi yang beredar memang menyebutkan bahwa Demokrat melihat cohabitation sebagai solusi terbaik dalam konteks masyarakat Indonesia yang kini terpolarisasi dan sudah berujung pada konflik pada 22 Mei 2019 lalu.
Sementara beberapa sumber informasi terbaru justru menyebutkan bahwa cohabitation – yang maknanya mirip-mirip dengan “kumpul kebo” ini – sedang giatnya diupayakan oleh PDIP. Konteks ini tentu menarik, mengingat PDIP sebagai partai pemenang seolah terlihat tidak ingin mengambil kekuasaan sepenuhnya. Ini seolah menjadi political twist atau perubahan alur politik partai banteng ini, yang cenderung menggunakan strategi politik yang lebih soft.
Pertanyaanya adalah akankah PDIP mampu kembali mengungguli Demokrat dalam konteks perebutan posisi ini?
“Kumbo”, Strategi PDIP vs Demokrat?
Politik kumpul kebo – mungkin bisa disingkat menjadi “kumbo” – itulah bahasa yang digunakan oleh wartawan senior Kompas, Trias Kuncahyono sebagai judul dalam kolomnya beberapa hari lalu. Kumbo dipakai Trias untuk menggambarkan cohabitation.
Kumpul kebo memang istilah yang cukup populer di lidah orang Indonesia untuk menggambarkan sepasang laki-laki dan perempuan yang hidup satu atap tanpa ikatan perkawinan. Cohabitation itu sendiri memang punya makna yang sama dengan kumbo. Terminologi ini berasal dari bahasa Latin, co- yang berarti “bersama”, dan habitare yang berarti “tinggal”.
Gaya hidup cohabitation ini – di mana orang-orang hidup bersama di luar ikatan pernikahan – memang menjadi hal yang cukup populer di negara-negara Barat beberapa waktu terakhir, utamanya untuk mereka-mereka yang merasa ikatan perkawaninan dengan konsekuensi legal yang ditimbulkannya sebagai hal yang cenderung memberatkan dan membebani.
Sebagai catatan, di negara-negara maju, tren kumbo alias kumpul kebo ini meningkat karena orang-orang merasa tanggung jawab pernikahan sebagai hal yang “berat”, terutama jika pernikahan tersebut berujung pada perceraian.
Kata kebo dalam “kumpul kebo” sebenarnya berasal dari bahasa Belanda “gebouw” yang berarti bangunan atau rumah. Karena lidah orang Indonesia yang lebih familiar dengan kata kebo sebagai sebutan tidak baku untuk hewan kerbau, maka istilah itulah yang digunakan.
Dalam tulisan sebelumnya di PinterPolitik terkait cohabitation, dijelaskan bahwa Prancis adalah negara tempat model pemerintahan cohabitation muncul. (Baca: Depak PDIP, Cohabitation Jokowi-Prabowo?)
Nama calon kandidat pengganti Mega mulai bermunculan. Siapa kandidat yang paling berpeluang?Nantikan artikel selengkapnya di PinterPolitik.com
Posted by Pinter Politik on Monday, June 17, 2019
Kala itu, pada tahun 1986, Presiden Franqois Mitterrand yang berasal dari kelompok sosialis dan Perdana Menteri Jacques Chirac dari kelompok kanan yang didukung oleh mayoritas suara di National Assembly atau parlemen rendah Prancis, membentuk pemerintahan bersama. Kondisi ini ditandai oleh power yang dimiliki oleh presiden dan perdana menteri hampir sama kuatnya.
Dalam konteks kondisi pasca Pilpres 2019 – terutama pasca kerusuhan 22 Mei 2019 – istilah ini sempat muncul di beberapa kolom di The Jakarta Post. Yang terakhir, tulisan dari Harya S. Dillon – anak dari tokoh HAM dan sosial ekonomi, H.S. Dillon – menyebutkan bahwa cohabitation bisa terjadi jika ada konsesi. Istilah terakhir diartikan sebagai pengakuan kubu yang kalah atas kemenangan kubu yang lebih unggul.
Artinya, dalam konteks Jokowi, kumbo hanya bisa terjadi dan menyaratkan pengakuan kekalahan dari Prabowo dan Sandi. Jika kumbo adalah tujuannya dan konsesi menjadi syaratnya, dengan sendirinya kondisi politik nasional memang akan menjadi lebih tenang – tentunya jika Prabowo-Sandi pada akhirnya bersedia mengambil opsi tersebut.
Jurnalis senior asal Selandia Baru, John McBeth dalam tulisannya di Asia Times memang menyebutkan bahwa opsi kumbo kemungkinan besar akan diambil oleh Prabowo. Bahkan, kemungkinan juga akan diikuti oleh partai-partai koalisinya, seperti PKS dan PAN.
Dari sudut pandang tersebut, jelaslah bahwa PDIP bisa memanfaatkan ini untuk mengamankan legitimasi kekuasaan selanjutnya. Beberapa pihak memang menyebutkan bahwa partai banteng tersebut tak ingin peluang mengamankan statusnya sebagai partai berkuasa tergusur oleh kekuatan politik lain.
Dengan kondisi bahwa Partai Demokrat sedang berupaya mengambil peran tersebut, PDIP jelas ingin mencegah kemungkinan menjadi pihak yang dirugikan. Hal ini juga bisa dianggap sebagai belum mampunya diplomasi politik yang terjadi di tataran elite kedua partai tersebut menemukan titik tengahnya.
Perlukah ada cohabitation?
Posted by Pinter Politik on Tuesday, May 28, 2019
Political Twist PDIP
Pendekatan yang lebih lembut yang coba dilakukan oleh PDIP dalam konteks kumbo ini memang menunjukkan bahwa demokrasi di Indonesia tidak mengenal istilah the winner takes all atau pemenang mendapatkan semuanya. Kumbo adalah pendekatan politik the winner embraces all atau pemenang merangkul semuanya.
Lalu, apakah kumbo yang digalang oleh PDIP ini akan menguntungkan semua pihak? Jawabannya adalah tentu saja, jika pihak yang dimaksud adalah Jokowi dan Prabowo. Namun, Partai Demokrat akan sangat mungkin dirugikan, apalagi jika pada akhirnya diplomasi politik dengan Megawati tetap mengalami kebuntuan.
Harapan Demokrat sebetulnya masih ada pada Jokowi secara personal. Pasalnya, selain karena kesamaan platform politik, Jokowi cenderung memandang Demokrat sebagai kekuatan penyeimbang yang sepadan jika ia ingin lepas dari status “petugas partai” yang selama periode pertama kekuasaannya membelenggu hubungannya dengan PDIP.
Namun, dengan konteks political twist – istilah untuk perubahan alur politik yang drastis – yang terjadi pada PDIP, Jokowi tentu akan melihat kumbo dari perspektif yang lebih tinggi, yaitu stabilitas politik nasional.
Beberapa pihak bahkan menyebut konteks hubungan Jokowi dengan Prabowo lewat PDIP akan cenderung lebih mudah terjadi karena masih adanya ikatan dalam Perjanjian Batu Tulis yang telah terikat sejak Pilpres 2009 – sekalipun diingkari oleh PDIP di Pilpres 2014 ketika mengusung Jokowi sebagai capres.
Selain itu, kumbo dengan PDIP akan mudah terjadi jika melihat pejabat-pejabat tinggi di kabinet Jokowi, misalnya Moeldoko dan Ryamizard Ryacudu, yang terlihat berupaya menurunkan tensi politik yang ada.
Pernyataan Moeldoko dan Ryamizard agar Tim Mawar – tim yang diidentikkan dengan Prabowo terkait kerusuhan 1998 – tidak diungkit-ungkit lagi sekalipun hasil investigasi Tempo menyebut tim tersebut terlibat di kerusuhan 22 Mei 2019 misalnya, menunjukkan arah terbentuknya kumbo yang kemungkinan besar memang dimotori oleh PDIP.
Pada akhirnya, kartu politiknya memang kini akan ada salah satunya di Jokowi. Jika percepatan kongres menghasilkan political twist lain – katakanlah Jokowi terpilih menjadi Ketua Umum PDIP menggantikan Megawati misalnya – maka saga Pilpres 2019 ini akan makin seru.
Sebab, rakyat memang telah memberikan suaranya. Namun, seperti kata Stalin di awal tulisan, sering kali mereka-mereka yang menghitung suaralah yang menentukan hasilnya. (S13)