Site icon PinterPolitik.com

Siasat PA 212 di RUU HIP

Siasat PA 212 di RUU HIP

Aksi protes yang dilaksanakan untuk menolak Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) pada Juni 2020 lalu. (Foto: Tempo)

Kritik dan demontrasi terhadap Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) beberapa waktu lalu banyak diisi dan dilontarkan oleh kelompok Persaudaraan Alumni (PA) 212. Mungkinkah ada siasat politik di baliknya?


PinterPolitik.com

“I was like, ‘Hah, it’s our time, n***a’” – Drake, penyanyi rap asal Kanada

Bagi penggemar olahraga sepak bola, istilah “comeback” mungkin bukanlah istilah yang asing lagi. Biasanya, istilah ini digunakan untuk menggambarkan bangkitnya kembali sebuah tim guna mengejar ketertinggalan skor dalam sebuah pertandingan.

Dalam sejarah persepakbolaan, berbagai comeback hebat juga terjadi di antara berbagai tim nasional dan klub besar. Salah satunya pernah terjadi pada pertandingan UEFA Champions League yang dihelat di Istanbul, Turki, pada tahun 2005 antara dua klub besar Eropa, yakni Liverpool dan AC Milan.

Pada babak pertama, hampir dipastikan bahwa AC Milan akan menjuarai turnamen tersebut. Bagaimana tidak? Sepanjang babak pertama, klub asal Italia tersebut membobol gawang Liverpool sebanyak tiga kali tanpa balasan.

Namun, seiring berjalannya waktu, Liverpool dapat membalas dengan tiga gol balasan hanya dalam waktu kurang lebih lima menit. Para penggemar sepak bola pun semakin dikejutkan dengan kemenangan Liverpool yang ditorehkan melalui babak adu penalti.

Mungkin, comeback seperti inilah yang juga terjadi dalam lanskap sosio-politik Indonesia. Pasalnya, setelah pada tahun lalu dikecewakan oleh keputusan Calon Presiden 2019-2024 Prabowo Subianto untuk bergabung dengan pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), kini Persaudaraan Alumni (PA) 212 mulai melakukan comeback.

Hal ini mulai terlihat dengan besarnya penolakan masyarakat pada Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP). Kelompok ini tampak mulai ramai kembali melontarkan kritiknya terkait kontroversi seputar RUU tersebut.

Kritik yang dilontarkan tidak jarang terkait juga dengan isu komunisme yang kerap mendapatkan penolakan dari sebagian besar masyarakat Indonesia. Bukan tidak mungkin, kontroversi seputar isu ini akhirnya membuat salah satu partai politik terbesar di Indonesia – yakni PDIP – tampak khawatir.

Bagaimana tidak? PDIP pun merasa polemik RUU HIP ini justru digunakan untuk menyerang mereka dengan politik labelisasi dengan mengidentikkan partai mereka terhadap ajaran komunisme.

Mungkin, polemik RUU HIP ini menjadi pertarungan politik lanjutan antara PA 212 dengan PDIP setelah sebelumnya terlibat dalam “cekcok” politik di beberapa peristiwa, mulai dari kasus penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama (BTP) alias Ahok hingga Pilpres pada tahun 2019 lalu.

Namun, ramainya pertarungan politik seputar RUU HIP ini bukan tidak mungkin turut menjadi siasat dan strategi politik yang dilancarkan oleh PA 212. Kira-kira, siasat seperti apa yang dilancarkan kelompok tersebut? Lantas, apa konsekuensi politik lanjutan yang diperoleh oleh PA 212 dari kontroversi RUU HIP?

Momentum Politik

Kontroversi yang disebabkan oleh RUU HIP bisa jadi digunakan oleh PA 212 untuk menjaga momentum politiknya. Dengan begitu, kelompok tersebut dapat menjaga pengaruhnya dalam diskursus politik Indonesia.

Momentum sendiri merupakan konsep yang banyak dikenal dalam fisika. Dalam ilmu eksak tersebut, momentum diperoleh ketika massa (mass) dikalikan dengan kecepatan (velocity).

Bukan tidak mungkin, konsep pergerakan objek dalam fisika ini dapat digunakan untuk menggambarkan momentum dalam dunia sosial dan politik. Pasalnya, momentum juga kerap digunakan guna menggambarkan laju suatu aktor politik.

Konsep momentum dalam politik juga dijabarkan sedikit oleh Patrick J. Kenney dari Arizona State University dan Tom W. Rice dari University of Vermont dalam tulisan mereka yang berjudul The Psychology of Political Momentum. Dalam tulisan itu, Kenney dan Rice setidaknya menjelaskan bahwa momentum politik adalah suatu situasi ketika seorang aktor politik mendapatkan perhatian besar dari para politisi lain, publik, dan media.

Momentum politik adalah suatu situasi ketika suatu aktor politik mendapatkan perhatian besar dari para politisi lain, publik, dan media. Share on X

Boleh jadi, momentum politik ini bisa menjadi hal penting yang mendukung keberlanjutan dan eksistensi suatu aktor politik dalam kancah dan diskursus masyarakat. Hal inilah yang mungkin dimanfaatkan oleh Deng Xiaoping – pemimpin besar di Republik Rakyat Tiongkok (RRT) pada tahun 1978-1989.

Kala itu, Deng harus menghadapi pergolakan politik yang menolak gagasan reformasi ekonomi yang diusungnya. Lawan Deng kala itu adalah para petinggi Politburo di Partai Komunis Tiongkok yang lebih ingin mempertahankan kontrol negara atas sosial dan ekonomi Tiongkok.

Alhasil, mengacu pada penjelasan David Shambaugh dalam tulisannya yang berjudul Regaining Political Momentum, Deng berusaha mendapatkan kembali momentum politiknya. Upaya ini dilakukannya dengan beralih kembali mencari dukungan publik.

Apa yang dilakukan Deng ini bisa jadi sejalan juga dengan karakterisitik momentum politik yang dijelaskan oleh Kenney dan Rice. Mengacu pada tulisan mereka, momentum politik dapat diperoleh dengan adanya perhatian besar dari publik.

Bila Deng dapat memanfaatkan momentum politiknya guna mengusung reformasi ekonomi di akhir abad ke-20 di Tiongkok, mungkinkah PA 212 juga berencana menggunakan momentum politiknya? Bila Deng ingin mendorong reformasi ekonomi, apa kira-kira yang ingin dicapai oleh PA 212?

Siasat Menuju 2024?

Bisa jadi, seperti Deng, PA 212 juga ingin mendapatkan momentum politik ke depannya. Mungkin, momentum ini dapat dijadikan modal bagi kelompok tersebut dalam memengaruhi dinamika Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.

Pasalnya, setelah Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 lalu, kelompok ini tampak tengah kehilangan momentum politik. Apalagi, PA 212 sempat terpukul setelah calon presiden (capres) dukungannya – Prabowo Subianto – memutuskan untuk bergabung dengan pemerintahan Jokowi dan menjadi Menteri Pertahanan (Menhan).

Bila berkaca pada peta politik 2019 lalu, PA 212 bisa dibilang memiliki momentum politik yang cukup besar. Bagaimana tidak? Setelah ramai kasus penistaan agama oleh mantan Gubernur DKI Jakarta Ahok (BTP) beberapa tahun silam, kelompok ini mendapatkan dukungan publik yang besar, perhatian media yang lebih, dan pujian para politisi.

Bisa jadi, semenjak Pilkada DKI Jakarta 2017, momentum politik itulah yang mengantar PA 212 sehingga dapat memengaruhi kancah politik nasional Indonesia. Pada kampanye Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga Uno, misalnya, kehadiran PA 212 dapat dianggap penting untuk menggerakkan kekuatan massa.

Bukan tidak mungkin, PA 212 kini membutuhkan momentum politik lanjutan. Kelompok ini tidak dapat dipungkiri juga membutuhkan patron politik baru selepas bergabungnya Prabowo ke pemerintah.

Berbagai pihak menyebut PA 212 kini telah menuju pada Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Meski begitu, terlepas dukungan tersebut jatuh pada Anies atau tidak, bukan tidak mungkin RUU HIP kini menjadi tambahan bagi momentum lanjutan bagi PA 212 pada perhelatan pesta politik besar pada tahun 2024 mendatang.

Maka dari itu, dengan adanya polemik RUU HIP ini, PA 212 bisa jadi ingin memanfaatkan momentum politik agar tetap berpengaruh di tengah dinamika politik terkini. Apalagi, perhatian publik, politisi, dan media terhadap isu ini juga tidak dapat dianggap kecil.

Mengacu pada penjelasan Kenney dan Rice di tulisan mereka, momentum politik ini juga berkaitan dengan bandwagon effect di masyarakat. Hal ini terjadi melalui lima proses psikologis, seperti contagion (penularan), supporting the winner(mendukung pemenang), strategic voting (pemilihan strategis), cue-taking (mengambil petunjuk), dan inevitability (tak terhindarkan).

Lima proses ini – menurut Kenney dan Rice – dapat memengaruhi outcome atau hasil dari Pemilu. Maka dari itu, momentum politik dapat menciptakan kemungkinan besar bagi kemenangan aktor politik tersebut.

Meski begitu, tampaknya, upaya PA 212 untuk mendapatkan momentum politiknya masih terbatas pada isu-isu agama dan identitas. Pasalnya, sebenarnya, masih banyak isu fundamental lain yang sebenarnya dapat disasar oleh PA 212, seperti kenaikan iuran BPJS Kesehatan, isu pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pemutusan hubungan kerja (PHK) massal di tengah pandemi Covid-19, hingga Perppu Corona.

Terlepas dari itu semua, PA 212 tetap saja dapat memperoleh momentum politik yang berguna di masa mendatang. PDIP sendiri tampak kewalahan dengan serangan label komunisme yang kini melekat padanya. Menarik untuk dinantikan kelanjutan dari laga PA 212 melawan PDIP ini. (A43)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version