Site icon PinterPolitik.com

Siasat Nasdem di Balik Jokowi 3 Periode?

Siasat Nasdem di Balik Jokowi 3 Periode?

Presiden Jokowi berikan penolakan tegas terhadap wacana penambahan periode jabatan presiden (Foto: Sumatratimes)

Di periode kedua kepemimpinannya, Presiden Jokowi tampak menjalankan strategi politik akomodatif dengan intens. Akan tetapi, berbagai “kebisingan” politik, seperti munculnya wacana penambahan periode jabatan presiden, nampaknya menunjukkan strategi tersebut tidak ekuivalen dengan terciptanya kestabilan politik – hal yang sebetulnya menjadi tujuan akhir dari politik akomodatif. Lantas, apakah ini menunjukkan telah terjadi illusion of control dalam koalisi pemerintah?


PinterPolitik.com

Dua bulan terakhir ini, wacana terkait penambahan masa jabatan presiden telah menjadi “bola banas” yang ditanggapi oleh banyak pihak. Statusnya yang benar-benar “tidak populer” membuat banyak pihak memandang sinis dan negatif wacana tersebut.

Apalagi, adanya sejarah di era sebelumnya, katakanlah saat Soeharto masih berkuasa, yang tidak dibatasi masa jabatannya membuat publik berspekulasi bahwa wacana ini menjadi indikasi akan kembalinya sistem politik seperti di era Orde Baru.

Wacana ini sendiri, disebut pertama kali mencuat ke publik setelah Sekjen Partai Nasdem, Johnny G. Plate pada Oktober 2019 lalu memberikan usul bahwa pembahasan masa jabatan presiden semestinya menjadi salah satu isu yang dibahas MPR dalam rangka melakukan amandemen terhadap UUD 1945.

Di luar pro-kontra terkait wacana ini, sebuah pendapat dari politikus PKS, Muhammad Nasir Djamil nampaknya membuat konteks isu ini menjadi jauh lebih menarik.

Menurut Nasir, wacana ini sebenarnya adalah test the water alias “cek ombak” atau wacana yang dihembuskan untuk melihat reaksi publik ataupun pihak tertentu. Tentu pertanyaannya, siapa pihak yang ingin dilihat reaksinya dari penghembusan wacana ini?

Jika menyebut test the water ini ditujukan untuk melihat reaksi publik, sepertinya itu tidak cukup beralasan. Pasalnya, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa wacana penambahan masa jabatan presiden mestilah mendapat penolakan keras dari masyarakat karena adanya ingatan buruk terhadap pemerintahan otoriter di era Orde Baru. Dengan kata lain, untuk apa menguji reaksi sesuatu yang telah diketahui?

Menimbang pada hal tersebut, sepertinya test the water ini lebih ditujukan untuk melihat reaksi dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) sendiri. Akhirnya terbukti, secara terbuka mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut menyatakan penolakannya dengan memberi satire bahwa wacana tersebut seperti “ingin menampar mukanya” sebagai produk pemilihan langsung.

Tidak sebatas itu, Presiden Jokowi bahkan menyebut di balik penghembusan wacana tersebut terdapat pihak tertentu yang sedang mencari muka ataupun ingin menjerumuskannya.

Menariknya, selepas penolakan tegas tersebut, Nasdem memberikan bantahan bahwa wacana tersebut tidak berasal dari partainya, ataupun memberi klarifikasi bahwa wacana tidak ditujukan kepada Presiden Jokowi.

Melihat pada reaksinya terhadap pernyataan tegas Presiden Jokowi, apakah itu menunjukkan Nasdem adalah pihak yang disebutkan oleh sang presiden?

Pesan Amarah Jokowi?

Melihat gaya komunikasinya, Presiden Jokowi adalah tipe pemimpin yang menyampaikan pernyataan tegas hanya pada saat tertentu. Dalam beberapa kesempatan, terlihat jelas bahwa pernyataan tegas Presiden Jokowi selalu merupakan respon atas fenomena ataupun hal yang spesifik membuat dirinya “marah”.

Dengan pandangan serupa, Deborra Basaria, psikolog klinis dari Universitas Tarumanegara juga mengutarakan bahwa Presiden Jokowi adalah sosok yang tahu kapan harus bersikap tegas, dan bukannya sosok emosial yang sembarangan dalam memberikan pernyataan di hadapan publik.

Beberapa momen pernyataan tegas tersebut misalnya terlihat dalam orasinya di Yogyakarta pada Maret 2019 lalu yang menyebut akan melawan berbagai pihak yang selama ini telah memfitnah dan menjelekkan dirinya. Begitupun juga terkait pernyataannya yang akan “menggigit balik” para mafia yang banyak mengganggu pembangunan yang dijalankan oleh pemerintah.

Artinya, pernyataan tegas Presiden Jokowi, apalagi sampai menggunakan satire “menampar mukanya”, tentu mengindikasikan telah terjadi hal serius yang membuat dirinya merasa sangat tidak nyaman.

Peka terhadap indikasi kemarahan Presiden Jokowi, Nasdem nampak memberikan respon cepat seperti memberi bantahan bahwa wacana tidak berasal dari partainya ataupun menyebut wacana tersebut tidak ditujukan kepada Jokowi.

Akan tetapi, selaku pihak yang disebut pertama kali menghembuskan wacana ini, sulit untuk tidak mengaitkan pernyataan tegas Presiden Jokowi tersebut tidak ditujukan kepada Nasdem.

Apalagi, hubungan keduanya memang terlihat mengalami panas-dingin selepas Nasdem terlihat menunjukkan manuver politik dengan mendekati PKS. Kabarnya, manuver tersebut dilakukan Nasdem karena kecewa dengan masuknya Ketua Umum (Ketum) Partai Gerindra Prabowo Subianto, ke dalam jajaran kabinet.

Pertemuan Nasdem dan PKS tersebut kemudian melahirkan berbagai pemberitaan di media massa yang memperlihatkan rangkulan erat Ketum Nasdem Surya Paloh dengan Presiden PKS Sohibul Iman. Menanggapi hal tersebut, Presiden Jokowi kala itu kemudian memberikan satire yang menyebutkan bahwa Surya Paloh tidak pernah merangkulnya seerat merangkul Sohibul Iman.

Kini hubungan Presiden Jokowi dengan Nasdem nampaknya kembali memanas setelah pesan “amarah” yang ditujukan sang presiden atas wacana penambahan periode jabatan presiden.

Namun, pesan “amarah” tersebut sepertinya tidak hanya ditujukan kepada Nasdem semata, melainkan kepada setiap pihak yang menghembuskan wacana tersebut ke hadapan publik. Menariknya, pihak-pihak tersebut adalah para pendukung Presiden Jokowi atau mereka yang disebut “koalisi pemerintah”.

Atas fenomena ini, sebenarnya terdapat hal serius yang menjadi “lampu kuning” kepada Presiden Jokowi atas koalisi yang telah dibentuknya. Lantas, masalah apakah itu?

Ilusi Kontrol Jokowi?

Untuk menopang kestabilan politik, Presiden Jokowi nampaknya menggunakan strategi politik akomodatif yang intens. Idealnya, distribusi “kue kekuasaan” ini dilakukan agar berbagai “kebisingan” politik dapat diredam. Ini adalah kompensasi yang diberikan agar pihak-pihak di lingkaran kekuasaannya dapat menjaga kestabilan kekuasaan sang presiden.

Namun, munculnya wacana seperti penambahan periode jabatan presiden yang telah menjadi “bola panas” di tengah masyarakat, sepertinya memperlihatkan strategi tersebut tidak menemui bentuk idealnya.

Hal ini sebenarnya lumrah, seperti apa yang dikemukakan oleh Judy Nadler dan Miriam Schulman, menimbang pada adanya perbedaan kepentingan dan loyalitas yang inheren dalam diri individu dan kelompok, terjadinya konflik kepentingan atau conflict of interest adalah suatu hal yang tidak terhindarkan.

Apalagi, adanya perbedaan agenda besar, katakanlah misalnya soal perdebatan amandemen terbatas UUD 1945 dari PDIP versus amandemen menyeluruh dari Nasdem dalam tubuh koalisi pemerintah tentu membuahkan konflik kepentingan. Mengutip pernyataan Sundaraaman Srinivasan, konflik kepentingan semacam itu, di mana terdapat perbedaan agenda besar, adalah konflik kepentingan terburuk dalam politik.

Menimbang pada hal tersebut, jika Presiden Jokowi mengidamkan bentuk ideal untuk meredam kegaduhan politik, kemungkinan besar sang presiden telah mengalami apa yang disebut dengan illusion of control atau ilusi kontrol.

Profesor Psikologi, Ellen J. Langer dalam berbagai penelitiannya menunjukkan bahwa terdapat tendensi psikologis di mana seseorang merasa dapat mengendalikan situasi ketika berada di suatu keadaan yang telah dikenalinya atau telah dikondisikan.

Artinya, jika Presiden Jokowi merasa dapat meredam kebisingan politik selepas mendistribusikan kekuasaan, di mana itu adalah apa yang disebut dengan situasi yang dikenali atau terkondisikan, maka pada titik tersebut besar kemungkinkan telah terjadi ilusi kontrol.

Ilusi kontrol boleh jadi membuat Presiden Jokowi menurunkan derajat awas terkait adanya fakta bahwa setiap partai politik mestilah memiliki agenda besar tertentu.

Dengan kata lain, fakta manuver politik yang dilakukan oleh Nasdem sebenarnya mengindikasikan bahwa Presiden Jokowi kemungkinan tidak memiliki kontrol politik yang cukup terhadap koalisi yang telah dibentuknya. Indikasi ini tentunya adalah “lampu kuning” bahwa kurangnya kontrol politik tersebut juga dapat terjadi pada partai politik lainnya.

Pada akhirnya, dapat dipahami bahwa penolakan tegas Presiden Jokowi atas wacana penambahan periode jabatan presiden menunjukkan bahwa tidak terjadi suara yang harmoni di dalam tubuh koalisi pemerintah. Dengan demikian, itu boleh jadi adalah indikasi kuat bahwa Presiden Jokowi tidak memiliki kontrol yang cukup atas partai-partai anggota koalisinya, khususnya Nasdem. (R53)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Mau tulisanmu terbit di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version