HomeNalar PolitikSiasat Nadiem “Rayu” Megawati?

Siasat Nadiem “Rayu” Megawati?

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim baru saja bertemu dengan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Lantas, adakah makna khusus di balik pertemuan itu, khususnya terkait isu reshuffle yang sedang santer mengemuka?


PinterPolitik.com

Asumsi Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Ali Mochtar Ngabalin mengenai akan segera dilakukannya reshuffle (perombakan) Kabinet Indonesia Maju dalam waktu dekat nyatanya meleset.

Kemarin, Ngabalin mengoreksi asumsinya itu dengan mengungkapkan bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) belum akan melakukan reshuffle kabinet dikarenakan masih menata kelembagaan.

Sebelumnya, Ngabalin menjadi “orang dalam” pertama yang mengungkapkan wacana itu ke permukaan. Perkara yang seketika menimbulkan beragam penafsiran dan spekulasi soal pos menteri mana saja yang akan berganti.

Seperti yang telah diketahui, inisiasi Kepala Negara untuk melebur Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) ke dalam Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) telah disetujui DPR. Penataan ulang aspek kelembagaan dengan formasi baru itulah yang dinilai menjadikan reshuffle tak serta merta dapat segera dilakukan.

Baca Juga: Saatnya Nadiem Tiru Dora?

Namun di balik berbagai penafsiran dan spekulasi yang ada, terdapat satu pergerakan menarik dari menteri yang relate dengan peleburan serta tata ulang kementerian di Kabinet Indonesia Maju teranyar.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim baru saja menyambangi Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Pertemuan yang berlangsung kemarin itu terdokumentasikan dan diunggah di akun Instagram pribadi eks-bos Gojek tersebut.

Nadiem sendiri mengaku berdiskusi dengan Megawati mengenai strategi mempercepat program Merdeka Belajar dan Profil Pelajar Pancasila yang menjadi bagian dari visi dan misi kerjanya.

Dalam kesempatan berbeda, Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP Hasto Kristiyanto menjelaskan bahwa Nadiem menyambangi Megawati untuk berkonsultasi mengenai banyak hal.

Pertemuan berkala dengan sejumlah menteri pun disebut Hasto wajar dilakukan dengan kapasitas Megawati sebagai sosok dengan pengalaman mumpuni dalam politik dan pemerintahan tanah air.

Kendati demikian, jika melihat lebih dalam dengan berkaca pada relevansi isu, urgensi kekinian, serta intisari diskusi yang diungkapkan Nadiem, pertemuan tersebut agaknya lumrah untuk dipandang sebagai manuver yang tidak biasa. Terlebih ketika secara matematis, hampir dapat dipastikan pertemuan itu merupakan inisiatif sang Mendikbud.

Lantas, mengapa Nadiem menginisiasi pertemuan dengan seorang Megawati Soekarnoputri di momentum saat ini? Serta, apa yang dapat dimaknai di baliknya?

Bukan Nadiem yang Dulu?

Nadiem Makarim tampaknya belum dapat dikatakan sosok yang matang, khususnya dalam panggung politik dan pemerintahan. Khalayak tentu masih ingat sejumlah kontroversi yang meliputi perjalanan Nadiem di awal kariernya sebagai menteri, utamanya mengenai hal-hal yang bersifat prosedural.

Pada Desember 2019 lalu, Nadiem mendapat sejumlah kritikan tajam saat menghadiri sebuah acara resmi, yakni pelantikan Rektor Universitas Indonesia (UI), Profesor Ari Kuncoro, dengan mengenakan celana jeans dan sepatu loafers.

Kemudian dalam kesempatan berbeda, Nadiem kembali menuai sorotan ketika beberapa kali menggunakan istilah dalam bahasa Inggris, yang mungkin serupa dengan kekhasan anak jaksel, saat rapat kerja (raker) bersama Komisi X DPR RI.

Baca juga :  AHY, the New “Lee Hsien Loong”?

Frasa seperti “spirit”, “combine”, dan “push” sempat tersisip dari untaian kalimat penjabaran Nadiem soal restrukturisasi Kemendikbud berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2019 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kemendikbud.

Baca Juga: Dibenturkan, Nadiem Tetap Tak Terbendung?

Nadiem lantas diingatkan mengingat rapat tersebut adalah rapat resmi yang tercatat dalam Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Oleh karenanya, penggunaan Bahasa Indonesia dalam presentasi adalah hal penting yang juga dijadikan teladan bagi Mendikbud.

Belum lagi, eks konsultan manajemen di McKinsey & Company tersebut kerap menggunakan kalimat “saya siap didebat” dalam memulai pemaparannya. Sebuah impresi yang barang tentu menimbulkan kesan bahwa pandangannya seolah yang paling benar.

Tiga sampel di atas kiranya cukup untuk menyiratkan bahwa salah satu persoalan terbesar Nadiem sebagai Mendikbud adalah soal komunikasi, jam terbang, hingga pemahaman atas hal-hal prosedural maupun perkara “adat istiadat” politik.

Dalam buku yang berjudul The Revival of Tradition in Indonesian Politics, Jamie S. Davidson dan David Henley menjabarkan bagaimana terbentuknya sejumlah tradisi atau adat istiadat politik dan pemerintahan di Indonesia.

Dimensi politik Indonesia saat ini sangat dipengaruhi oleh konstruksi warisan ideologis dan adat istiadat tertentu yang terbentuk sejak lama. Terdapat kombinasi tradisional dan kultural, yang mulai terbangun bahkan ketika era kolonialisme Belanda sukses melakukan penetrasi sosial politik kepada masyarakat lokal Indonesia dengan menekankan pendekatan kultural atau penghormatan terhadap adat dan nilai-nilainya.

Tetap menjunjung tinggi ketokohan sosok tertentu yang dihormati dalam masyarakat, mengikuti norma hukum lokal dalam berbagai persoalan, serta nilai-nilai tradisional lainnya menjadi pakem yang dinilai membuat kolonialisme cukup langgeng di Nusantara.

Nilai dan “adat” itu kemudian terus bertahan dan salah satunya menciptakan decentralized despotism atau despotisme yang terdesentralisasi, dengan semakin mempertegas prominennya sosok tertentu yang dihormati dalam pembuatan keputusan di ranah politik, yang juga memiliki esensi kontrol dan proteksi secara luas.

Dalam dimensi politik saat ini, Davidson dan Henley menyebut hal itu menjadi dasar legitimasi politik dan organisasi politik yang cenderung mengistimewakan elite, terutama tokoh senior, yang berperan dan dipercaya sebagai pemegang keputusan.

Adat istiadat politik itulah yang kiranya mulai dipahami oleh Nadiem di balik pertemuannya dengan Megawati Soekarnoputri. Pertemuan dua tokoh beda generasi itu memang berlangsung di tengah isu reshuffle setelah DPR menyepakati inisiasi Presiden Joko Widodo untuk melebur Kemenristek ke dalam Kemendikbud, serta pembentukan Kementerian Investasi.

Dan ketika Nadiem kemungkinan telah memahami hal tersebut, pertemuan dengan Megawati boleh jadi dapat diartikan sebagai penetrasi atau pendekatan berlandaskan adat istiadat politik sebagai bagian dari survival sang Mendikbud di kabinet.

Pendekatan kepada sosok Megawati yang dinilai merupakan elite atau tokoh senior pembuat keputusan atau dapat mempengaruhi dinamika pembuatan keputusan politik dan pemerintahan kekinian, bisa saja Nadiem nilai perlu untuk dilakukan dalam momentum saat ini.

Baca juga :  Politik Hukum Jokowi dan Sejahtera Hakim

Baca Juga: Ujung “Salah Hitung” Nadiem

Terlebih, Nadiem juga terus dirundung isu minor bertubi-tubi, di mana yang terbaru ialah perkara kamus sejarah Indonesia terbitan kementeriannya yang tak mencantumkan nama pendiri Nahdlatul Ulama (NU), KH Hasyim Asyari.

Lalu, apakah esensi pertemuan di tengah momentum reshuffle itu menjadi indikasi awal transformasi seorang Nadiem Makarim menjadi sosok yang lihai dalam bermanuver yang sifatnya politik?

Model Kompromi Teknokrat?

Brenna Marea Powell dan Graziella Moraes Silva dalam publikasinya yang berjudul Technocrats’ Compromises menyatakan bahwa teknokrat kerap diposisikan untuk secara langsung mempengaruhi kebijakan tetapi mereka sering melakukannya dalam konteks ketidakpastian teknis dan politik.

Powell dan Silva kemudian menyodorkan konsep technocratic compromise sebagai gagasan kompromis yang ditempuh para teknokrat di pemerintahan sebagai navigasi tujuan profesional mereka di tengah ketidakpastian tersebut.

Aktor teknokratis dikatakan juga bergulat dengan tiga motivasi, yakni profesional, politik, dan ideologis. Motivasi profesional mencakup keinginan akan legitimasi profesional, serta otonomi (dan sumber daya) untuk membuat keputusan yang tepat.

Sementara, motivasi politik berkutat pada komitmen, keselarasan visi politik, hingga kebutuhan pragmatis untuk memastikan bahwa pilihan kebijakan sesuai dengan agenda aktor politik kekuasaan. Di sisi lain, motivasi ideologis mencakup komitmen normatif terhadap pandangan tertentu tentang keadilan atau tatanan sosial.

Nadiem yang notabene merupakan menteri yang berasal dari kalangan profesional dan dapat dikategorikan sebagai teknokrat kemungkinan juga mengimplementasikan kompromi seperti yang dijelaskan di atas.

Apalagi, ketidakpastian yang disinggung Powell dan Silva pada konteks Nadiem terkait erat dengan karier dan reputasinya. Karenanya, konteks motivasi politik di balik pertemuan dengan Megawati tidak dapat dihindarkan sebagai bagian dari kompromi Nadiem untuk bertahan sebagai Mendikbud, termasuk korelasinya dengan adat istiadat politik seperti yang dijelaskan sebelumnya.

Namun, jika demikian, daya tawar apa yang kiranya dimiliki Nadiem?

Satu hal yang menjadi daya tawar mencolok dari Nadiem tampaknya adalah personifikasi dari kalangan muda progresif dan inovatif yang esensi kontribusinya kerap digaungkan oleh pemerintahan di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi selama ini.

Jika kemudian Nadiem digantikan sosok lain yang lebih “konservatif” bukan tidak mungkin akan meninggalkan preseden kemunduran dalam bidang pendidikan dan riset di pemerintahan Jokowi.

Akan tetapi, sampai saat ini mungkin hanya Nadiem sendiri yang mengetahui alasan sesungguhnya di balik inisiatifnya menyambangi Megawati. Keterkaitannya dengan reshuffle yang merupakan hak prerogatif Presiden Jokowi juga masih sebatas interpretasi semata. Lalu, akankah Nadiem bertahan sebagai Mendikbud? Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)

Baca Juga: Siapa Pengganti Nadiem Makarim?


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Youtube Membership

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Promo Buku

spot_imgspot_img

#Trending Article

Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?

Pernyataan dukungan The Economist terhadap calon presiden Amerika Serikat, Kamala Harris, jadi perhatian publik soal perdebatan kenetralan media. Apakah keputusan yang dilakukan The Economist benar-benar salah?

Ridwan Kamil dan “Alibaba Way”

Ridwan Kamil usulkan agar setiap mal di Jakarta diwajibkan menampilkan 30 persen produk lokal. Mungkinkah ini gagasan Alibaba Way?

Hype Besar Kabinet Prabowo

Masyarakat menaruh harapan besar pada kabinet Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Rahasia Kesaktian Cak Imin-Zulhas?

Dengarkan artikel ini: Audio ini dibuat menggunakan AI. Di tengah kompetisi untuk tetap eksis di blantika politik Indonesia, Zulkifli Hasan dan Muhaimin Iskandar tampak begitu kuat...

Prabowo, the Game-master President?

Di awal kepresidenannya, Prabowo aktif menggembleng Kabinet Merah Putih. Apakah Prabowo kini berperan sebagai the game-master president?

Indonesia First: Doktrin Prabowo ala Mearsheimer? 

Sejumlah pihak berpandangan bahwa Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto akan lebih proteksionis. Seberapa besar kemungkinannya kecurigaan itu terjadi? 

Koalisi Titan: Sentripetalisme Konsensus Demokrasi Prabowo

Prabowo Subianto resmi melantik 48 menteri yang akan mengisi Kabinet Merah Putih yang dipimpinnya.

AHY, the New “Lee Hsien Loong”?

Di tengah sorotan publik terhadap para pejabat yang dapat gelar akademis tertentu, pujian justru diberikan kepada Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).

More Stories

Rahasia Kesaktian Cak Imin-Zulhas?

Dengarkan artikel ini: Audio ini dibuat menggunakan AI. Di tengah kompetisi untuk tetap eksis di blantika politik Indonesia, Zulkifli Hasan dan Muhaimin Iskandar tampak begitu kuat...

Siasat Rahasia Prabowo-Sri Mulyani?

Tentu terdapat alasan teknis, praktis, dan politis di balik penunjukkan Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan dalam kabinet Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Menariknya, kalkulasi sokongan eksternal eksis yang membuat daya tawar Sri Mulyani cukup berharga bagi pemerintahan Prabowo.

Ironi Lumpuhnya Pasukan Perdamaian PBB

Israel yang mengusik dan melukai prajurit TNI dalam misi Pasukan Penjaga Perdamaian PBB di Lebanon seolah menguak hipotesa bahwa terdapat kelumpuhan sistematis di balik eksistensi para serdadu gabungan negara-negara yang sesungguhnya mulia tersebut.