Site icon PinterPolitik.com

Siasat MBS Undang Anies-Ganjar?

siasat mbs undang anies ganjar

Putra Mahkota Arab Saudi, Mohammed bin Salman (MBS), bersalaman dengan mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan (kanan) dalam acara penerimaan pejabat dan pemimpin negara-negara Islam usia melaksanakan haji pada Juni 2023. (Foto: Instagram/@spanews)

Media sosial (medsos) diramaikan dengan foto sejumlah pejabat bersama Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman (MBS) usai melaksanakan ibadah haji. Mengapa pertemuan dengan Kerajaan Arab Saudi bisa buat heboh di Indonesia?


PinterPolitik.com

“I, started in lobbies, now parley with Saudis” – JAY-Z, “Marcy Me” (2017)

Siapa yang tidak senang dan bangga bila bisa bertemu dengan pangeran kerajaan? Hampir semua orang pasti merasa bahagia untuk bisa merasakan pengalaman tersebut.

Mungkin, inilah mengapa Cinderella begitu ingin menghadiri pesta dansa yang digelar oleh pihak kerajaan. Di sanalah, Cinderella akhirnya bisa melihat setampan apa sang pangeran.

Namun, Cinderella bukanlah satu-satunya gadis yang memiliki mimpi demikian. Banyak gadis biasa lainnya memiliki mimpi yang sama, yakni untuk bisa bertemu dan berdansa dengan sang pangeran yang terkenal tampan.

Inipun juga termasuk saudari-saudiri tiri Cinderella yang kerap kali mendapatkan perlakuan lebih istimewa dari sang ibu tiri. Ketika mereka begitu didukung untuk menghadiri pesta dansa tersebut, sang ibu tiri malah menyuruh Cinderella untuk tetap tinggal di rumah.

Alhasil, Cinderella hanya bisa bersedih sembari menunggu keajaiban datang di kamar kecilnya. Tanpa disangka, bantuan dari sang ibu peri pun datang. 

Dengan sihir ibu peri, Cinderella pun bisa mengenakan gaun yang indah, sepatu kaca yang berkilau, dan kereta kencana yang mewah untuk menghadiri pesta dansa kerajaan.

Namun, keajaiban pertemuannya dengan sang pangeran hanya berakhir sementara. Pada pukul 12 malam, Cinderella harus kembali dan meninggalkan keajaiban itu.

Mungkin, rasa bahagia untuk bertemu dengan pangeran ini tidak hanya ada di dunia dan kisah dongeng, melainkan juga di dunia nyata. Bagaimana tidak? Sejumlah politisi beberapa waktu lalu mendapatkan kesempatan untuk bertemu dengan Putra Mahkota Arab Saudi, Mohammed bin Salman (MBS).

Politisi-politisi tersebut adalah Ketua DPR RI Puan Maharani, mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Gubernur Jawa Tengah (Jateng) Ganjar Pranowo, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Suharso Monoarfa, dan sebagainya.

Foto Anies yang bersalaman langsung dengan MBS, misalnya, diunggah oleh media resmi pemerintah Arab Saudi, Saudi Press Agency (SPA). Di salah satu unggahan, juga terlihat Ganjar yang sedang duduk mengikuti acara penyambutan para pemimpin Islam yang telah melaksanakan haji beberapa waktu lalu.

Foto-foto itu seakan-akan begitu penting karena mendapatkan banyak perhatian dari para warganet. Karena respons yang begitu ramai, sejumlah pertanyaan kemudian muncul.

Mengapa sosok MBS dianggap begitu penting bagi para bakal calon presiden (bacapres) ini? Sebagai pemimpin eksekutif negara yang terletak di Timur Tengah, mengapa MBS di Arab Saudi dianggap signifikan?

“Sang Pelindung Makkah dan Madinah”

Secara tidak langsung, dengan letak dua kota suci Islam yang terletak di wilayahnya, Arab Saudi semacam memiliki “privilese” untuk mempengaruhi situasi sosial dan politik di negara lain. Ini juga membuat Arab Saudi memiliki daya untuk mempengaruhi hubungan luar negerinya dengan negara-negara lain.

Bila membicarakan haji, Arab Saudi jelas menjadi negara utama yang mendominasi diskursus. Bagaimana tidak? Dua kota suci utama dalam Islam – Makkah dan Madinah – terletak dalam wilayah kedaulatannya.

Bisa dibilang juga, Arab Saudi-lah yang memiliki kedaulatan untuk mengatur kuota haji setiap negara. Topik ini pula yang kerap menjadi bahan negosiasi dan diplomasi pemerintah Indonesia dengan Arab Saudi.

Namun, privilese dua masjid suci – Masjidil Haram dan Masjid Nabawi – ini bukanlah hanya perihal daya tawar nyata dalam berdiplomasi. Ini juga berkaitan bagaimana akhirnya Arab Saudi memiliki kekuatan lunak (soft power) untuk mempengaruhi apa yang dipikirkan dan diinginkan oleh negara lain.

Seperti yang dijelaskan oleh Joseph Nye dalam bukunya yang berjudul Soft Power: The Means to Success in World Politics, berbeda dari kekuatan keras (hard power) seperti senjata dan kemampuan militer yang berbicara soal bagaimana negara A membuat negara B menuruti kemauan A, soft power lebih menekankan pada bagaimana A membuat B menginginkan hal yang sama dengan A.

Nye pun menjelaskan bahwa terdapat beberapa hal yang bisa dijadikan sebagai sumber untuk memperkuat soft power sebuah negara. Beberapa di antaranya adalah budaya dan politik luar negeri negara tersebut.

Dalam hal ini, Arab Saudi bisa semacam memanfaatkan dua masjid tersuci dalam Islam ini sebagai sumber soft power-nya. Mengacu ke Chris Chaplin dalam tulisannya yang berjudul Imagining the Land of the Two Holy Mosques: The Social and Doctrinal Importance of Saudi Arabia in Indonesian Salafi Discourse, Tanah Dua Masjid Suci ini kerap menjadi bayangan imajiner atas kombinasi antara masa depan keagamaan dan kejayaan masa lalu.

Soft power inilah yang akhirnya sempat diinginkan juga oleh Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Alain Gresh menyebut hubungan yang terjalin antara RRT dan Arab Saudi ini sebagai diplomasi haji.

Mengacu ke tulisan Gresh yang berjudul Hajj Diplomacy, RRT yang sebelumnya sempat menihilkan ibadah haji setelah Revolusi Kebudayaan 1949 akhirnya merasa kembali membutuhkan Arab Saudi sejak tahun 1979 – apalagi RRT di bawah pemerintahan komunis semakin dipertanyakan di antara kelompok Muslim global, khususnya terkait isu Uighur.

Bukan tidak mungkin, soft power inilah yang juga diiginkan oleh Anies dan Ganjar untuk merebut hati pemilih Muslim di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Layaknya apa yang didapatkan Tiongkok melalui hubungan baiknya dengan Arab Saudi, Anies-Ganjar bisa saja mendapatkan semacam legitimasi di tingkat tertentu melalui soft power yang dimiliki oleh negara yang dipimpin oleh MBS itu.

Namun, apakah hanya karena itu? Mungkinkah soft power ini juga menguatkan Arab Saudi? Apa mungkin justru MBS butuh Anies dan Ganjar juga? 

MBS Justru Butuh Anies-Ganjar?

Dalam hubungan antar-negara, sudah menjadi hal umum bahwa kepentingan turut mendasari berbagai kebijakan luar negeri. Acara penyambutan terhadap para pemimpin dan pejabat negara-negara Islam bukan tidak mungkin juga berhubungan dengan kepentingan nasional yang perlu dipenuhi oleh pemerintah Arab Saudi.

Arab Saudi merupakan negara yang berdiri di atas legitimasi Islam – yang mana diperkuat oleh kerja sama antara keluarga Al-Saud (kerajaan) dan Al-Sheikh (ulama). Kepentingannya adalah agar legitimasi tetap terjaga sehingga otoritas pemerintah tetap eksis.

Setidaknya, inilah yang dijelaskan oleh Neil Quilliam dan Maggie Kamel dalam tulisan mereka yang berjudul Modernising Legitimacy: Saudi Strategies. Bagaimana cara keluarga Al-Saud mempertahankan otoritas mereka? Jawabannya adalah dengan menggunakan Islam sebagai kekuatan penggerak.

Ini dilakukan dengan mandat (credentials) Islam. Tidak hanya digunakan dalam konteks domestik, identitas Islam sebagai dasar legitimasi juga digunakan oleh pemerintah Arab Saudi di tingkat internasional.

Sudah bukan menjadi rahasia lagi bahwa legitimasi monarki absolut Arab Saudi sempat terancam oleh kekuatan-kekuatan asing. Kehadiran Republik Islam Iran – dengan Revolusi Iran pada 1979 – menjadi salah satu penantang terbesar bagi legitimasi Arab Saudi.

Bisa jadi, diskursus identitas Islam ini juga digunakan melalui acara penyambutan pemimpin dan pejabat negara-negara Islam setelah pelaksanaan haji kemarin. Kehadiran MBS bisa dipahami sebagai bagaimana keluarga kerajaan memegang peran sentral dalam pelaksanaan haji yang dilakukan oleh para pejabat negara-negara lain.

Dalam perspektif konstruktivisme di studi Hubungan Internasional (HI), negara akan bertindak – layaknya dalam sebuah masyarakat – sesuai peran dan identitas yang mereka bangun. Mudahnya, mengacu pada Sarina Theys dalam tulisannya Introducing Constructivism in International Relations Theory, hubungan antarnegara dibangun berdasarkan makna (meaning) yang diberikan dalam interaksi antarnegara.

Arab Saudi, misalnya, dengan menempatkan identitas Islam sebagai kekuatan penggerak dan legitimasi secara tidak langsung membuat negara atau masyarakat di luar Arab Saudi bertindak layaknya identitas yang dimainkan oleh pemerintah Arab Saudi – yakni bagaimana negara itu membangun diskursus nilai dalam Islam.

Dengan begitu, Indonesia yang memiliki populasi Muslim terbanyak di dunia juga melihat bagaimana peran sentral Kerajaan Arab Saudi dalam membentuk diskursus Islam secara global. Secara tidak langsung, kemunculan foto dan video MBS bersama Anies, Ganjar, dan Puan pasca-ibadah haji menjadi penguat identitas dan legitimasi kerajaan.

Pada akhirnya, di saat publik Indonesia ramai memperdebatkan soal Anies atau Ganjar yang lebih dekat dengan kerajaan, legitimasi MBS dan pemerintah Arab Saudi justru semakin kuat dengan pengaruhnya yang semakin mengakar di Indonesia – seiring publik semakin sering melibatkan Arab Saudi dalam diskursus politik domestik. 

Namun, semuanya pun kembali ke masing-masing insan Indonesia – soal narasi politik mana yang penting dan mana yang tidak menjelang kontestasi Pilpres 2024. Mungkinkah beberapa dari kita hanya menjadi “Cinderella” yang berangan-berangan bertemu dengan “sang pangeran”? (A43)


Exit mobile version