Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan berencana pensiunkan PLTU batu bara. Apa siasat yang ada di balik upaya Luhut untuk lenyapkan batu bara?
Indonesia berencana untuk menghentikan penggunaan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara sebagai sumber utama pembangkit listrik dan menggantikannya dengan energi baru terbarukan guna mencapai target netral karbon di tahun 2060. Rencana realisasi tersebut terlihat dari instruksi Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang melarang usulan PLTU batu bara baru dalam Rencana Usulan Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) tahun 2021-2030.
Di sisi lain, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Panjaitan mengatakan bahwa perlahan Indonesia akan mempensiunkan PLTU Batu bara dan menggantikannya dengan energi baru terbarukan. Menurut Luhut, alasan ‘pelenyapan’ PLTU batu bara di Indonesia selain instruksi langsung dari Presiden adalah disebabkan oleh banyaknya lembaga keuangan maupun perbankan yang enggan membiayai proyek energi berbasis batu bara.
Sebagai contoh, beberapa Bank dari Jepang seperti The Japan Bank for International Cooperation (JBIC), Mizuho, dan Sumitomo Mitsui Financial Group (SMFG) berkomitmen untuk mengurangi pembiayaan proyek PLTU batu bara. Komitmen tersebut ditengarai karena tekanan dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) lingkungan kepada lembaga perbankan, seperti yang dilakukan oleh Greenpeace lewat laporannya pada tahun 2020 yang berjudul Double Standard yang cukup berpengaruh terhadap reputasi perusahaan-perusahaan tersebut.
Menurut Richard Friman dalam bukunya berjudul The Politics of Leverage in International Relations, reputasi sendiri bagi suatu perusahaan merupakan hal yang sangat penting dikarenakan reputasi perusahaan memiliki beberapa nilai ekonomi seperti meningkatkan penerimaan pasar hingga meningkatkan kemampuan untuk menarik investor ke perusahaan tersebut.
Wacana ini merupakan angin segar dalam usaha untuk menekan emisi gas rumah kaca global. Apalagi, berbagai studi IESR pada tahun 2019 menunjukkan bahwa sektor energi diprediksi menyumbang emisi gas nasional sebesar 58% pada 2030.
Bila benar wacana yang dilontarkan oleh Luhut ini bisa menjadi angin segar bagi upaya pengurangan emisi, apakah mungkin wacana ini dapat terwujud? Lantas, mengapa pemerintah Indonesia merasa perlu untuk mengurangi emisi karbon dan polusi lainnya?
Mungkinkah Batu Bara Lenyap?
Diketahui bahwa batu bara merupakan kontributor terbesar yang menyumbang hampir setengah dari emisi gas karbon dioksida dunia. Di samping itu, Indonesia sendiri telah meratifikasi Paris Agreement (Persetujuan Paris) – perjanjian global tentang perubahan iklim yang bertujuan untuk menekan kenaikan suhu sebesar 1,5 derajat Celcius, lewat Undang-Undang (UU) Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to The United Nations Framework Convention on Climate Change.
Dengan demikian, Indonesia memiliki komitmen untuk memenuhi target penurunan gas emisi rumah kaca yang dituangkan dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) dengan target penurunan emisi sebesar 29% tanpa bantuan internasional dan 41% dengan dukungan internasional melalui beberapa sektor. Salah satunya adalah sektor energi.
Selain NDC, usaha untuk menjaga fungsi lingkungan hidup lewat sektor energi juga termaktub pada Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang memiliki target bauran energi baru terbarukan sebesar 23% pada 2025. Maka dari itu, sudah semestinya pemerintah Indonesia mulai melakukan sejumlah langkah untuk memenuhi sejumlah target penurunan emisi yang telah ditentukan.
Meski pernyataan Luhut untuk mempensiunkan PLTU batu bara menjadi beralasan, sejumlah pertanyaan pun masih membayangi. Bagaimana langkah dan kebijakan yang telah diambil oleh pemerintah Indonesia? Lantas, apakah mungkin Indonesia benar-benar mampu mewujudkan penurunan emisi tersebut?
Pemerintah menurut Luhut akan membuka kesempatan bagi investor yang ingin mengembangkan industri energi baru terbarukan. Investasi ini juga diprediksi akan menjadi salah satu fokus pemerintah dalam memulihkan perekonomian nasional. Namun, apakah ekosistem kebijakan energi Indonesia mendukung pengembangan industri energi baru terbarukan?
Jika kita menelisik lebih dalam ekosistem kebijakan energi khususnya dalam konteks pengembangan energi baru terbarukan, maka ada beberapa hal yang sekiranya dapat menghambat usaha tersebut. Selama ini, mekanisme pembelian listrik dimonopoli oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebagaimana diatur oleh UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan.
Dengan demikian, harga listrik dari pengembang pembangkit listrik sepenuhnya diatur oleh PLN. PLN sebagai satu-satunya distributor listrik nasional memiliki posisi tawar yang sangat tinggi dan tentunya ingin menekan harga serendah mungkin harga pembelian listrik tersebut.
Oleh karena itu, harga yang ditawarkan oleh PLN sering kali tidak sesuai dengan nilai keekonomian proyek pembangkit listrik energi baru terbarukan sehingga membuat investor berpikir kembali untuk menginvestasikan uangnya pada industri energi baru terbarukan nasional.
Selain itu, hal lain yang selama ini menjadi penghambat pengembangan energi baru terbarukan di Indonesia adalah soal kedekatan elite politik dalam pusaran bisnis batu bara. Selama ini, hubungan antara pelaku usaha di sektor batu bara dan elite-elite politik memiliki sifat ketergantungan satu sama lain.
Elite ‘Bayangi’ Mimpi Luhut?
Para pelaku usaha di sektor batu bara memiliki ketergantungan yang besar terhadap pemerintah terutama dari sisi peraturan pemerintah dan perizinan. Sementara, para elite politik membutuhkan dana dari kegiatan-kegiatan pertambangan batu bara guna membiayai biaya politik yang tidak dapat ditutupi oleh subsidi dari pemerintah.
Bahkan, tidak sedikit elite-elite politik di Indonesia yang memiliki usaha maupun dekat dengan industri batu bara. Salah satunya adalah Luhut sendiri yang merupakan pendiri PT Toba Sejahtera Group – sebuah perusahaan yang memiliki beberapa anak perusahaan pertambangan batu bara seperti Toba Bara Sejahtera dan Kutai Energi.
Dekatnya elite politik dengan industri batu bara tentunya berpengaruh secara signifikan terhadap kebijakan publik pada sektor energi. Menurut Schneider dan Ingram dalam tulisan mereka yang berjudul Social Constrructions in the Study of Public Policy, pengambilan keputusan suatu kebijakan pada dasarnya dipengaruhi oleh proses politik dari kelompok yang dominan, dalam hal ini yaitu elite-elite politik.
Selain itu, Teori Elite yang dijelaskan oleh J.E. Anderson dalam tulisannya yang berjudul Public Policy Making juga menyatakan bahwa kebijakan publik bukanlah hasil atau cerminan dari tuntutan massa, melainkan merupakan cerminan dari nilai dan preferensi dari elite penguasa dan kecenderungan ini terjadi pada setiap sistem politik mana pun.
Hal ini terbukti dari berbagai kemudahan bagi industri batu bara seperti kebijakan subsidi, pengadaan barang dan jasa di bawah nilai pasar, dan dukungan pendapatan atau harga sehingga pertumbuhan industri batu bara terjadi secara eksponensial.
Kemudahan lain juga ditemui pada revisi UU Minerba terbaru di mana regulasi tersebut memberikan beberapa kemudahan dan salah satunya adalah kemudahan perpanjangan izin secara otomatis bagi perusahaan tambang batu bara yang memegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B). Diketahui perusahaan-perusahaan yang akan habis masa perizinannya pada empat tahun mendatang merupakan perusahaan yang dekat dengan elite-elite politik nasional seperti Erick Thohir, Sandiaga Uno, hingga Aburizal Bakrie.
Melihat fakta-fakta tersebut terutama fakta bahwa adanya hubungan kedekatan antara elite politik dengan industri batu bara, pertanyaan yang terlontar adalah mampukah pemerintah benar-benar merealisasikan wacana ‘pelenyapan’ PLTU batu bara ke energi baru terbarukan? Atau, pernyataan tersebut hanyalah lip service belaka? Menarik untuk ditunggu perkembangan wacana tersebut. (V71)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.