Kebudayaan nasional dalam kadar tertentu mendapatkan ancaman berupa intoleransi. Diperlukan langkah komprehensif dari berbagai pihak untuk mengatasinya.
Pinterpolitik.com
“Pedang di kanan, keris di kiri. Berselempang semangat yang tak bisa mati. Maju.”
:: Chairil Anwar, Penyair ::
[dropcap]B[/dropcap]egitulah penggalan sajak Chairil Anwar berjudul “Diponegoro” yang dibacakan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat menghadiri Kongres Kebudayaan Indonesia 2018 yang diselenggarakan oleh Kementerian Kebudayaan (Kemendikbud) beberapa waktu lalu.
Dalam kesempaatan tersebut, Jokowi menyampaikan pesannya terkait dengan toleransi dalam berekspresi dan berinteraksi. Menurutnya, kontestasi – termasuk politik – tanpa toleransi dapat memicu potensi saling hujat hingga saling fitnah.
Kongres Kebudayaan Indonesia 2018 memang diselenggarakan di tengah intoleransi dan konservatisme yang semakin meningkat, yang di beberapa tempat mulai mengancam keberadaan tradisi dan budaya asli yang dianggap tak sesuai dengan ajaran agama tertentu.
Pada pidatonya tersebut, Jokowi memiliki intensitas yang tinggi membicarakan persoalan kebudayaan dengan tren intoleransi yang saat ini kian meningkat.
Dalam tahun politik, tentu saja isu tentang intoleransi turut membawa kekhawatiran sebab hal tersebut bisa merusak kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karenanya, perlu diskursus yang jelas untuk menghadapi gejala tersebut.
Lantas pertanyaannya adalah apa urgensi Jokowi menyebutkan bahwa kebudayaan nasional adalah cara membangun toleransi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara? Apakah ucapan Jokowi tersebut sebagai tanggapannya atas menguatnya intoleransi yang berkembang di Indonesia?
Intoleransi Kian Meruncing
Jika mengacu pada berbagai survei, tren tentang intoleransi memang meningkat. Gejala ini juga menimpa dunia internasional. Di era keterbukaan dan post truth muncul sikap eksklusif baik yang dilatarbelakangi oleh isu etnisitas, rasialis, juga berdasarkan agama.
Di Malaysia, pada 8 Desember 2018 lalu terjadi sebuah aksi turun ke jalan yang diperkirakan diikuti oleh sekitar 500 ribu orang. Aksi yang disebut 812 itu dinilai banyak pihak cenderung rasialis karena merupakan buntuk penolakan kelompok mayoritas (Melayu) terhadap ratifikasi International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination (ICERD) atau konvensi bersama tentang eliminasi segala bentuk diskriminasi rasial.
Artinya mayoritas masyarakat di Malaysia masih menghendaki perlakuan yang berbeda secara hukumterhadap kelompok lain – hal yang sering juga disebut sebagai aksi afirmatif (affirmative action).
Celakanya, beberapa pihak menyebut aksi tersebut terinspirasi dari aksi-aksi serupa di Indonesia, yang terlihat mengacu pada Aksi 212 pada 2016 lalu.
Terkait hal ini, Profesor dari Universitas Washington, James L. Gibson dalam tulisan yang berjudul Political Intolerance in the Context of Democratic Theory menyebut bahwa dasar dari intoleransi adalah pemikiran tertutup dan adanya perasaan terancam.
Selain itu, intoleransi terjadi juga sebagai akibat adanya perasaan majority privilege atau keinginan kelompok mayoritas untuk diistimewakan. Dengan menguatnya gerakan-gerakan mayoritas yang mencerminkan sikap intoleransi, bisa disebut karena mereka ingin mendapatkan perlakuan lebih dari yang minoritas.
Kemudian, mengacu pada temuan survei Lembaga Survei Indonesia (LSI), ditemukan adanya peningkatan intoleransi politik sejak tiga tahun terakhir. Survei tersebut dilakukan pada Agustus 2018 berkaitan dengan persepsi publik tentang demokrasi, korupsi, dan intoleransi.
LSI menyimpulkan bahwa angka intoleransi politik tersebut naik pada 2017 dan 2018. Yang dimaksud intoleransi politik dalam survei itu berkaitan dengan pilihan terhadap pimpinan politik.
Sementara baru-baru ini, Setara Institute menerbitkan laporan indeks tingkat toleransi kota-kota di Indonesia. Berdasarkan laporan tersebut, ditemukan bahwa beberapa kota dengan status intoleran tertinggi antara lain Sabang, Medan, Makassar, Bogor, Depok, Padang, Cilegon, Jakarta, Banda Aceh, dan Tanjung Balai.
SETARA Institute melakukan kajian dan indexing terhadap 94 kota di Indonesia dalam hal isu promosi dan praktik toleransi yang dilakukan oleh pemerintah-pemerintah kota.
Laporan lengkapnya dapat dibaca dalam Ringkasan Eksekutif Indeks Kota Toleran 2018 di
https://t.co/37AYGpyKCS— SETARA Institute (@SuaraSETARA) December 8, 2018
Dari nama-nama kota tersebut, menariknya ada nama Jakarta. Menurut Direktur Riset Setara Institute Halili, posisi Jakarta ini dilatarbelakangi oleh pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) yang meningkat hingga 2018.
Sementara peneliti senior LSI Burhanudin Muhtadi, menyebut bahwa meningkatnya intoleransi politik – terutama di Jakarta – memiliki pertalian dengan aksi menentang Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang dinilai melakukan penistaan terhadap agama. Fenomena itu adalah keran pembuka terhadap intoleransi politik di negeri ini.
Memang, peristiwa Ahok ini mau tidak mau menjadi magnum opus atau karya besar dari produksi intoleransi di negeri ini.
Melihat kondisi tersebut, tentu ada kekhawatiran tersendiri sebab intoleransi politik menjadi bara dalam kehidupan demokrasi. Pertumbuhannya bisa saja menyebabkan disintegrasi bangsa.
Oleh karenanya, pada titik ini, mungkin Jokowi memiliki intensi untuk melawan tren intoleransi ini melalui konteks kebudayaan dan menyampaikannya saat menghadiri Kongres Kebudayaan Indonesia 2018 tersebut.
“Odi ergo sum”. ’Aku membenci, maka aku ada’. Moto ini merupakan kutipan satir yang digunakan oleh Umberto Eco dalam novelnya, The Prague Cemetery. Kalimat ini pula yang menurut Stephen Eric Bronner, dalam buku The Bigot: Why Prejudice Persists, menggambarkan bagaimana kebencian memunculkan bentuk bigotry, yaitu rasisme, religisme, ageism, dan lainnya yang memiliki daya rusak tinggi, yang semuanya muncul berdasarkan prasangka.
Sementara itu, lahirnya mental bigot dan intoleransi, menurut Kathlyn Gay dalam makalah Bigotry and Intolerance: The Ultimate Teen Guide, biasanya berawal dari sikap pribadi orang tersebut. Orang dengan harga diri rendah dan merasa terancam oleh perbedaan, atau yang membutuhkan rasa aman dan penerimaan kelompok, kemungkinan akan sulit menghargai perbedaan, baik dari warna kulit, agama, jenis kelamin, dan lainnya.
Kebudayaan Nasional Indonesia Redam Intoleransi?
Dalam berbagai literatur, tidak ada definisi secara pasti apa yang dimaksud dengan kebudayaan nasional. Namun, Katherine Daniell dalam bukunya The Role of National Culture in Shaping Public Policy menyebutkan bahwa kebudayaan nasional dapat berarti keseluruhan cara hidup manusia, baik pemikiran maupun praktiknya, yang tidak dapat sekaligus tidak boleh direduksi menjadi sederet ciri yang seolah esensial.
Kebudayaan bukanlah sesuatu yang statis. Kebudayaan lahir dari perjalanan sejarah yang dinamis dalam ruang sosial dan kulural yang konkret.
Jadi, kebudayaan adalah suatu cara hidup yang berkembang, dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang, dan diwariskan dari generasi ke generasi. Hal ini senada dengan pandangan antropolog Amerika Serikat, Melville Herskovits yang mengatakan bahwa kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic.
Sementara itu, kebudayaan nasional Indonesia menurut Koentjaraningrat mempunyai dua fungsi, yaitu yang pertama sebagai suatu sistem gagasan dan perlambang yang memberi identitas kepada warga negara Indonesia. Kedua sebagai suatu sistem gagasan dan perlambang yang dapat dipakai oleh semua warga negara Indonesia yang bhinneka untuk saling berkomunikasi, sehingga hal tersebut tetap dapat memperkuat solidaritas.
Oleh karenanya, penting kiranya untuk merumuskan kembali bagaimana kebudayaan nasional dapat menghadapi intoleransi yang meresahkan kehidupan masyarakat. Pada titik inilah pidato Jokowi soal kebudayaan nasional memiliki relevansi sebagai cara yang tepat.
Konsen Jokowi tersebut mengingatkan kembali pada pesan Chairil Anwar dan Angkatan 45 lainnya terkait dengan masalah kebudayaan. Melalui Surat Kepercayaan Gelanggang, Chairil menulis bahwa kebudayaan adalah cara suatu bangsa mengatasi masalah yang lahir pada zamannya.
Artinya, sejalan dengan pesan yang disampaikan oleh Jokowi, bahwa tantangan kebudayaan nasional Indonesia saat ini adalah intoleransi, apalagi isu ini terus meningkat dari tahun ke tahun.
Dalam ranah sosial politik, tidak cukup hanya menjamin ketersediaan panggung ekspresi. Yang dibutuhkan adalah panggung interaksi yang bertoleransi. Selain itu, kontestasi kata tanpa toleransi dapat memicu perang kata yang berpotensi saling menghujat, penebaran ujaran kebencian, hingga fitnah.
Sementara itu, kontestasi ekonomi tanpa toleransi dapat memperlebar ketimpangan kesejahteraan masyarakat, sedang kontestasi politik tanpa toleransi pun bisa menghalalkan segala cara untuk mencapai kemenangan.
Perlu adanya panggung interaksi yang toleran membutuhkan ruang fisik yang inklusif atau terbuka. Selain itu, ruang ekspresi dan kebebasan mimbar akademik hingga media massa dan media sosial dapat juga menjadi panggung toleransi.
Tingkat peradaban sebuah masyarakat ditentukan sejauh mana kelompok warga minoritas (etnisitas, ras, agama) dan kaum yang rentan (fisik, ekonomi atau politik) bisa hidup nyaman di sana.
Ini juga sejalan dengan pendapat Kathlyn yang menegaskan bahwa untuk mengatasi bigotry atau sikap intoleran lainnya, tidak dapat dilakukan sendiri. Individu, kelompok masyarakat, atau institusi pemerintahan, harus ikut serta.
Selain itu, untuk menghalau mental negatif tersebut, harus dilakukan secara menyeluruh, dalam konteks pembangunan nasional. Pada titik inilah, peran negara dan pemerintahan harus hadir sebagai fasilitator ruang ekspresi sebagai panggung toleransi.
Strategi Kebudayaan, Strategi Politik Jokowi?
Dalam kadar tertentu, sikap Jokowi terkait dengan kebudayaan nasional tersebut bisa jadi cermin haluan politiknya. Secara ideal, Jokowi menunjukkan sikapnya terhadap isu kebudayaan ini ke arah yang tepat.
Dilihat dari sikap politik, tampilnya Jokowi dalam Kongres Kebudayaan Indonesai 2018 bisa jadi sebagai strategi untuk mendekatkan diri pada kelompok kebudayaan dan yang lainnya.
Berbagai kalangan yang selama ini konsen terhadap kajian budaya dan toleransi, akan menilai sikap Jokowi sebagai sesuatu yang tepat dan layak diapresiasi.
Sebab bagaimanapun, isu kebudayaan ini merupakan isu yang cukup penting baik dalam tataran isu maupun urgensi.
Tentu saja hal ini juga perlu dilihat lebih lanjut dari penerjemahan kebijakan Jokowi terhadap kebudayaan tersebut, apalagi jika mengacu pada Strategi Kebudayaan yang diserahkan kepadanya saat itu.
Pada akhirnya, patut dinantikan apakah Jokowi sebagai kepala negara memiliki langkah yang konkret sebagaimana pidatonya di atas. Sebab, seperti yang dikutip dari penggalan sajak Chairil di awal tulisan, meski pedang dan keris ada di kedua tangan serta berselempang semangat, namun jika tiada kepala yang menggerakkan, maka semua akan percuma. (A37)