Site icon PinterPolitik.com

Siasat Jokowi “Prank” Gubernur Lampung

siasat jokowi prank gubernur lampung

Presiden Joko Widodo (Jokowi) (tengah) didampingi Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan (Zulhas) meninjau kondisi jalanan di Provinsi Lampung pada Jumat, 5 Mei 2023, kemarin. (Foto: detikSumut)

Kunjungan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke Provinsi Lampung menjadi perhatian warganet akhir-akhir ini. Mantan Wali Kota Solo itu akhirnya melakukan inspeksi mendadak (sidak) di ruas-ruas jalan Lampung disebut rusak parah.


PinterPolitik.com

“Swervin’ them potholes” – Drake, “What’s Next” (2021)

Siapa yang tidak tahu dengan franchise film Fast & Furious (2001-sekarang)? Franchise satu ini mungkin merupakan film-film favorit bagi para penggemar dunia otomotif dan balapan mobil.

Meski dalam setiap serinya memiliki alur yang berbeda-beda – bahkan termasuk alur aksi mata-mata, Fast & Furious tetap bertahan dengan dunianya yang dipenuhi dengan mobil-mobil kencang.

Seri-seri film tersebut pun mengambil sejumlah negara di luar Amerika Serikat (AS) sebagai setting-nya – mulai dari Jepang hingga Brasil. Untung saja, bukan Indonesia yang diambil sebagai salah satu setting-nya – khususnya di wilayah seperti Provinsi Lampung.

Bagaimana tidak? Bila mereka mengambil Lampung sebagai lokasi syutingnya, bukan tidak mungkin, franchise film ini malah berubah arah. Bukan lagi fast dan furious, melainkan bisa saja menjadi ghast (mengejutkan) dan – akhirnya – furious (marah-marah) juga.

Mungkin, itulah yang dirasakan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Jumat, 5 Mei 2023, lalu mengunjungi Provinsi Lampung. Dengan menggunakan mobil kepresidenan, Jokowi harus melalui jalan-jalan yang kondisinya rusak dan, jelas, tidak memadai.

Namun, kunjungan Jokowi yang disebut-sebut semacam prank bagi Gubernur Lampung Arinal Djunaidi ini dilakukan setelah sebuah video dari TikToker bernama Bima Yudho Saputro (@awbimaxreborn) viral di banyak platform media sosial (medsos).

Di video itu, Bima memang mengeluhkan infrastruktur Lampung yang begitu kurang memadai – khususnya kondisi aspal jalannya. Selain video Bima, sempat viral juga video yang memperlihatkan begitu banyaknya lubang di jalanan Lampung.

Menanggapi viralnya video-video ini, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono mengumumkan bahwa Presiden Jokowi akan mengunjungi Lampung pada Rabu, 3 Mei. Sontak saja, pemerintah Lampung langsung memperbaiki sejumlah ruas jalan.

Namun, usai perbaikan jalan dilakukan, Jokowi menunda agenda kunjungannya menjadi Jumat, 5 Mei 2023. Ini seolah-olah Jokowi ingin “mengerjai” Pemerintah Provinsi (Pemprov) Lampung.

Sebenarnya, kritik yang tersebar di medsos bukanlah hal yang baru – bahkan termasuk kritik yang diperuntukkan bagi pemerintah pusat. Namun, mengapa giliran persoalan kritik kepada Pemprov Lampung yang ramai membuat Jokowi sampai harus terjun langsung? Mungkinkah ada konsekuensi lanjutan dari kunjungan ini?

Jokowi Sedang Caper?

Cara Jokowi “menge-prank” Arinal memang bisa mendapatkan banyak jempol dari para warganet. Banyak dari warganet bahkan mulai melaporkan kondisi-kondisi di daerah mereka masing-masing melihat apa yang Jokowi lakukan di Lampung.

Perhatian media – baik medsos maupun media konvensional – sebagian besar mengarah kepada kunjungan Jokowi tersebut. Di media massa, misalnya, pernyataan Jokowi mengenai pentingnya infrastruktur – khususnya jalan – menjadi pemberitaan akhir-akhir ini.

Sementara, di medsos, banyak video beredar ketika Jokowi dan rombongannya melewati jalanan yang rusak tersebut. Bahkan, banyak akun di medsos membuat meme dari peristiwa tersebut.

Tentu, perhatian besar publik kepada Jokowi akibat peristiwa di Lampung ini memiliki konsekuensi yang lebih lanjut. Singkatnya, perhatian bisa ditransformasikan menjadi modal politik.

Setidaknya, asumsi itulah yang dijelaskan oleh Norbert Merkovity dalam tulisannya yang berjudul Introduction to Attention-based Politics. Merkovity menjelaskan bahwa komunikasi politik bertujuan untuk menjadikan aktor politik sebagai pusat perhatian (center of attention) yang bisa jadi modal besar bagi aktor tersebut.

Salah satu contohnya adalah Presiden ke-45 Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Dalam kampanye Pemilihan Presiden (Pilpres) AS 2016 silam, Trump mampu memanfaatkan status selebriti dan miliardernya guna menjadikan dirinya sebagai pusat perhatian publik.

Berbagai pernyataan kontroversial Trump membuat medsos menjadi tempat berdebat dan bergosip mengenai dirinya. Entah sengaja atau tidak sengaja, Trump telah melakukan apa yang disebut sebagai self-mediatization.

Lantas, bagaimana dengan apa yang dilakukan Jokowi? Bukan tidak mungkin, Jokowi kini melakukan hal yang serupa – yakni membuat media memperhatikan apa yang sang presiden lakukan dan katakan.

Apalagi, akhir-akhir ini, perhatian media kepada Jokowi bukanlah hanya persoalan Lampung, melainkan juga dalam persoalan Pilpres 2024. Keputusan Jokowi untuk berkumpul dengan koalisi partai politiknya (parpol) di Istana beberapa waktu lalu, misalnya, masih menjadi buah bibir di media.

Belum lagi, drama turut tercipta dari pertemuan yang tidak menyertakan Partai NasDem di dalamnya – padahal jelas parpol yang dipimpin oleh Ketua Umum (Ketum) Surya Paloh itu adalah bagian dari pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin.

Namun, apa yang membedakan apa yang dilakukan Jokowi dan apa yang dilakukan Trump adalah momennya. Bila Trump melakukan self-mediatization kala kampanye Pilpres AS 2016, Jokowi melakukannya di akhir periode keduanya.

Lantas, pertanyaan-pertanyaan selanjutnya pun kemudian muncul. Bila Jokowi sudah di akhir periode pemerintahannya, mengapa sang presiden repot-repot menjadikan dirinya center of attention? Mungkinkah Jokowi memiliki kepentingan lain di balik upaya cari perhatiannya (caper) ini?

Siapa Bilang Jokowi “Bebek Lumpuh”?

Seperti yang dijelaskan oleh Merkovity, dengan menjadi pusat perhatian, politisi dapat memperoleh modal politik. Bukan tidak mungkin, Jokowi kini tengah mengumpulkan modal politik untuk kepentingan tertentu.

Apa yang Merkovity jelaskan dalam tulisannya sejalan dengan apa yang dijelaskan oleh Pierre Bourdieu dalam bukunya yang berjudul Distinction: A Social Critique of the Judgment of Taste. Bourdieu setidaknya memperkenalkan empat jenis modal dalam politik, yakni modal ekonomi (uang dan properti), modal kultural (produk kultural), modal sosial (jaringan dan relasi), dan modal simbolis (legitimasi).

Bukan tidak mungkin, upaya caper ala Jokowi ini membuat modal simbolisnya terakumulasi kembali. Dengan begitu, kepercayaan (trust) dari publik kembali didapatkan untuk mempengaruhi dinamika politik.

Citra Jokowi sebagai politisi yang memperbaiki keadaan, misalnya, sudah dilakukan Jokowi sejak berkampanye di Pilpres 2014. Mantan Wali Kota Solo tersebut tampil di media dengan blusukan-nya guna menyelesaikan persoalan-persoalan secara langsung.

Hal yang sama bisa saja kini tengah dilakukan oleh Jokowi. Citra Jokowi sebagai politisi fixer kembali disajikan dalam diskursus politik menjelang akhir periode kedua pemerintahannya.

Namun, apa tujuannya? Jokowi bukanlah sosok yang bisa maju kembali di pilpres-pilpres berikutnya. 

Jawaban yang memungkinkan adalah justru karena masa jabatan Jokowi segera berakhir. Sudah menjadi rahasia umum bahwa presiden di akhir masa jabatannya selalu mendapatkan status “bebek lumpuh” atau “lame duck” – ditandai dengan melemahnya pengaruh sang presiden di antara entitas-entitas politik lainnya.

Bukan tidak mungkin, melalui “prank” di Lampung, Jokowi tengah membangun modal simbolis yang nantinya bisa ditransformasikan menjadi pengaruh politik guna menghindari status “bebek lumpuh” tersebut.

Di tengah diskursus Pilpres 2024, nama Jokowi justru semakin kencang dibicarakan. Bukan sebagai calon presiden (capres), mantan Wali Kota Solo tersebut menjadi ramai namanya akibat manuver-manuver yang dilakukannya di Pilpres 2024 – misal isu “cawe-cawe” atau dukungan politik tertentu kepada capres-capres potensial yang ada.

Alhasil, Presiden Jokowi memiliki keleluasaan lebih dalam mempengaruhi dinamika elektoral pada tahun politik tersebut. Dalam jangka panjangnya, sang presiden akhirnya mampu menjaga warisan politiknya melalui penerus yang bisa saja dapat dipengaruhi oleh Jokowi. 

Layaknya film-film Fast & Furious yang mana di kisahnya Dominic Toretto mengajari cara balapan kepada Brian O’Conner, Jokowi mungkin sedang berupaya untuk menjadi “mentor” yang bakal ditiru oleh presiden berikutnya yang didukungnya. Ya, semoga saja juga diajarkan cara melaju dan bermanuver tanpa harus terganggu “jalan-jalan berlubang”. Bukan begitu? (A43)


Exit mobile version