Site icon PinterPolitik.com

Siasat Jokowi Marahi Menteri Lagi

Siasat Jokowi Marahi Menteri Lagi

Presiden Joko Widodo (Jokowi) ketika memberikan keterangan pers pada para pewarta di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, pada September 2019 silam. (Foto: Setkab)

Setelah melakukan pembubaran terhadap 18 lembaga negara, Presiden Joko Widodo (Jokowi) dikabarkan akan melakukan pembubaran terhadap lembaga-lembaga lain. Siasat apa yang ada di balik manuver pembubaran lembaga ini?


PinterPolitik.com

“And start a concert, a complete diversion” – twenty one pilots, duo musisi asal Amerika Serikat (AS)

Setiap benda yang hidup maupun mati tidak akan selamanya ada di dunia ini. Semua yang ada di muka bumi suatu saat pasti akan hilang pada saatnya.

Kenyataan seperti ini memang terkadang pahit. Layaknya sebuah hubungan yang disudahi, terkadang akhir terasa sangar menyakitkan.

Namun, akhir bukanlah sebuah akhir. Ketika satu hal berakhir, jutaan hal lain akan tetap lanjut berjalan – bahkan muncul – untuk senantiasa mengisi ruang di dunia ini.

Sebut saja Peterpan. Grup band musik ini merupakan salah satu band yang populer di Indonesia pada masanya. Tak jarang, lagu-lagunya mengisi puncak tangga lagu Indonesia dan Malaysia.

Namun, akhir yang tidak diharapkan juga harus dihadapi oleh band ini. Namun, dalam akhir tersebut, hal baru pun muncul.

Noah  kemudian lahir sebagai grup band yang kerap dianggap sebagai reinkarnasi dari band sebelumnya, Peterpan. Dengan penyanyi andalan yang sama, yakni Ariel, grup band ini kembali mengisi dunia permusikan Indonesia.

Akhir seperti Peterpan inilah yang mungkin dianggap perlu oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Pasalnya, pemerintah mulai merasa perlu untuk melakukan penghematan anggaran.

Keinginan Jokowi untuk meringankan beban anggaran itu akhirnya dilakukan dengan melakukan pembubaran atas 18 lembaga negara. Bahkan, sebelum melakukannya, sang presiden pun menunjukkan keseriusannya dengan menunjukkan kemarahannya di depan para menteri. Jokowi pun kembali menunjukkan amarahnya pada para menterinya baru-baru ini.

Layaknya Peterpan, akhir dari 18 lembaga negara tersebut mungkin bukanlah sepenuhnya akhir. Pasalnya, setelah pembubaran lembaga-lembaga itu dilaksanakan, Presiden Jokowi juga membentuk tim baru untuk penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional yang dipimpin oleh Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir sebagai ketua pelaksana.

Namun, tidak semua suka dengan apa yang dilakukan Jokowi. Terkait pembubaran lembaga-lembaga tersebut, beberapa pihak malah mengkritik keputusan sang presiden.

Bukan karena tidak setuju, melainkan karena merasa kurang puas. PKS, misalnya, menganggap lembaga-lembaga yang dibubarkan oleh Jokowi merupakan lembaga-lembaga yang receh. Hampir sama, mantan Sekretaris Kementerian BUMN Said Didu juga menyebutkan bahwa banyak dari 18 lembaga tersebut merupakan lembaga yang kosong.

Terlepas dari kritik-kritik tersebut, sebenarnya, apa alasan Jokowi untuk membubarkan 18 lembaga negara tersebut? Bila apa yang dibilang Said Didu benar, lantas, mengapa pemerintah tampak menggembar-gemborkan keputusan pembubaran tersebut?

Pilihan Rasional?

Bila mengacu pada alasan pemerintah, alasan pembubaran 18 lembaga tersebut didasarkan pada upaya penghematan anggaran negara di tengah pandemi Covid-19. Apa yang diputuskan oleh pemerintahan Jokowi ini bisa jadi didasarkan pada pilihan rasional tertentu.

Dalam pengambilan keputusan, pertimbangan rasional biasanya selalu turut menjadi latar belakang dan landasan. Bukan tidak mungkin, atas pertimbangan tertentu, Jokowi akhirnya mengambil keputusan untuk membubarkan sejumlah lembaga.

Pertimbangan dan preferensi keputusan seperti ini dijelaskan dalam Rational Choice Theory. Rafael Wittek dari University of Groningen dalam tulisannya yang berjudul Rational Choice Theory menjelaskan bahwa perilaku rasional dilakukan guna mencapai tujuan tertentu pada keterbatasan yang disebabkan oleh situasi.

Wittek menjelaskan bahwa, dalam mengambil keputusan, seseorang akan menimbang tiga elemen kunci, yakni preferensi (preferences), keyakinan (belief), dan batasan (constraints). Teori ini juga melihat pengambil keputusan sebagai pihak yang memiliki informasi untuk bertindak secara rasional.

Bukan tidak mungkin, Jokowi akhirnya memutuskan untuk membubarkan lembaga tersebut berdasarkan keyakinan bahwa penghematan anggaran dapat terwujud. Bisa jadi, pemerintah lebih memiliki preferensi untuk memberikan upaya lebih untuk lembaga-lembaga yang lebih dianggap krusial bagi penanganan pandemi Covid-19.

Pembubaran lembaga negara seperti ini sebenarnya tidak hanya dilakukan oleh Jokowi. Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump juga pernah melakukan pembubaran karena dinilai dapat menghemat pembiayaan.

Pada tahun 2018, Trump memutuskan untuk membubarkan sebuah direktorat di National Security Council (NSC) yang membidangi kesehatan dan keamanan global serta bio-defense. Ketika ditanyai alasannya, presiden negara digdaya tersebut menyebutkan bahwa dirinya lebih memilih untuk memberhentikan staf ahli NSC daripada harus menghabiskan pembiayaan untuk bidang tersebut.

Bisa jadi, seperti Trump, Jokowi merasa perlu untuk melakukan penghematan biaya melalui pembubaran lembaga-lambaga negara tersebut. Apalagi, kini Jokowi menghadapi resesi ekonomi yang harus membuat pemerintah melakukan belanja yang lebih besar dan krusial.

Namun, sejumlah kritik terhadap kebijakan Jokowi ini memunculkan asumsi bahwa pembubaran lembaga negara yang dilakukan sebenarnya tidak terlalu melakukan penghematan secara signifikan. Meski begitu, pemerintah bahkan dikabarkan berencana akan membubarkan lebih banyak lembaga negara ke depannya.

Bila benar begitu, lantas, mengapa sang presiden memutuskan untuk menggembar-gemborkan keputusan pembubaran lembaga-lembaga tersebut? Apakah ada manfaat politik yang ingin dicapai oleh Jokowi melalui keputusan itu?

Pemecah Api?

Bila benar pembubaran lembaga negara tidak membawa banyak dampak dalam penghematan anggaran dan perampingan birokrasi, boleh jadi Presiden Jokowi tengah melakukan strategi politik tertentu. Pasalnya, permainan komunikasi (spinning) seperti ini bukanlah hal yang baru dalam diskursus politik.

Ivor Gaber dalam tulisannya yang berjudul Government by Spin menjelaskan bahwa pemerintah di berbagai negara sudah biasa melakukan apa yang disebut spinning untuk memengaruhi diskursus dan opini publik. Profesor jurnalisme di University of Sussex ini menyebutkan bahwa kontrol terhadap agenda pemberitaan di media merupakan hal yang sentral dalam kampanye dan komunikasi politik.

Gaber juga menyebutkan beberapa teknik spinning yang dilakukan oleh para politisi dan pemerintah. Di antaranya adalah spinning itu sendiri, mengatur agenda pemberitaan (setting the news agenda), mengemudikan agenda pemberitaan (driving the news agenda), menerbangkan layangan (kite-flying), dan sebagainya.

Salah satu teknik yang disebutkan oleh Gaber adalah firebreaking (pemecah api). Teknik ini digunakan untuk mengambil perhatian para pewarta dan publik dari suatu isu yang dapat merugikan politisi atau pemerintah.

Teknik pemecah api seperti ini pernah digunakan oleh Partai Buruh Inggris pada tahun 1997 ketika muncul pemberitaan tentang kasus perselingkuhan yang dilakukan oleh kadernya, Menteri Luar Negeri Inggris Robin Cook. Sontak, Partai Buruh langsung merespons dengan memberikan “hidangan” lain kepada jurnalis dan publik, yakni kasus pelanggaran hukum yang dilakukan oleh mantan Gubernur Hong Kong Chris Patten.

Bila berkaca pada apa yang dilakukan oleh Partai Buruh Inggris tersebut, apakah mungkin Presiden Jokowi juga menggunakan teknik serupa? Pasalnya, di tengah pandemi ini, banyak perhatian media dan publik justru tertuju pada pemerintahan Jokowi.

Bukan tidak mungkin, Jokowi juga menggunakan strategi serupa untuk meminimalisir kritik yang didapatkan dari publik. Belum lagi, tidak hanya sekali saja sang presiden melakukan berbagai manuver yang membuat perhatian publik dan media justru tertuju pada wacana dan rencana Jokowi dibandingkan situasi yang terjadi pada saat yang sama.

Ketika Istana merilis video Jokowi yang tengah marah, misalnya, perhatian publik dan media justru berfokus pada kemarahan tersebut. Sementara, pemberitaan lain bisa saja semakin sedikit mendapatkan perhatian.

Baru-baru ini, mantan Wali Kota Solo tersebut juga menunjukkan amarahnya kembali di hadapan para menteri. Jokowi menyebutkan bahwa para menteri tidak memiliki aura krisis di tengah pandemi Covid-19. Bisa jadi, pemerintah tengah berupaya untuk mengalihkan perhatian dan kecemasan publik terkait ancaman resesi ekonomi yang mulai dirasakan banyak negara.

Berkaca dari ini, bisa saja pola semacam ini akan terus digunakan oleh pemerintahan Jokowi dalam mengarungi periode pemerintahan keduanya ke depan. Pasalnya, posisi Jokowi sendiri bisa jadi semakin terancam dengan semakin tidak terkontrolnya pandemi dan dampaknya.

Namun, benar atau tidaknya penggunaan strategi ini oleh Jokowi tentu belum pasti benar. Hal yang pasti adalah perhatian publik dan media bisa saja terbagi dengan munculnya banyak isu sosio-politik dalam diskursus masyarakat, entah mana isu yang lebih heboh. (A43)

Exit mobile version