Presiden Joko Widodo (Jokowi) mendapatkan laporan terkait kehadiran kegiatan premanisme di Tanjung Priok, Jakarta. Mantan Wali Kota Solo tersebut pun memberikan instruksi kepada Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) Listyo Sigit Prabowo untuk memberantas aktivitas pungutan liar (pungli).
Instruksi Presiden Joko Widodo (Jokowi) kepada Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo untuk mengatasi masalah pungutan liar (pungli) dan premanisme di Tanjung Priok ternyata langsung ditindaklanjuti dengan cepat dan tegas. Pada 11 Juni 2021 lalu, kepolisian langsung mengamankan 49 orang.
Para pelaku pungli ini tersebar di beberapa titik di sepanjang jalan menuju pelabuhan sehingga tindakan pemerasan terhadap pengemudi truk tidak dapat dihindari. Maka, kepolisian terus bekerja dan akhirnya Polda Metro Jaya kembali menangkap 24 preman yang melakukan aksi pungli terhadap sopir truk kontainer di Pelabuhan Tanjung Priok pada 17 Juni 2021.
Preman yang diringkus kepolisian baru-baru ini berasal dari empat kelompok yang berbeda dan berasal dari sebuah perusahaan jasa pengamanan. Mereka mampu meraup uang dalam jumlah besar dari hasil pungli. Mulai dari jutaan hingga puluhan juta mampu dihasilkan dalam waktu yang singkat.
Sejak saat inilah, Polri bergerak cepat untuk melakukan penegakan hukum terhadap pelaku pungli dan premanisme. Sekitar 3.823 orang berhasil terjaring dari 1.368 lokasi, mulai dari tanggal 11 Juni hingga 14 Juni 2021. Lokasinya menyasar hingga ke berbagai daerah seperti Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatera Utara, Banten, Jawa Timur, dan DKI Jakarta.
Meski demikian, aparat kepolisian tetap fokus untuk memberantas pungli dan premanisme di kawasan pelabuhan. Mengingat perputaran uang dan logistik sangat penting untuk perekonomian nasional, maka, tidak heran jika Presiden Jokowi sangat perhatian terhadap proses bongkar muat kontainer (dwelling time) yang ada di pelabuhan supaya jauh dari gangguan. Salah satunya praktik pungli.
Namun, tidak mudah membersihkan praktik pungli khususnya di salah satu pelabuhan terbesar di Indonesia, yaitu Tanjung Priok. Meski data BPS mencatat adanya penurunan angka kejahatan atau pelanggaran kamtibmas dari 1.387 pada tahun 2018 menuju 1.314 di tahun 2020 di Jakarta Utara, kejahatan dengan jenis pungli masih saja terjadi.
Boleh jadi, ini adalah pertanda bahwa fenomena premanisme masih terus merajalela di tengah kehidupan masyarakat. Lantas, mengapa kejahatan ini seolah sulit untuk hilang di Indonesia?
Mengakar Kuat?
Praktik pungutan liar ternyata sudah ada sejak lama. Tercatat, dari tulisan Guru Besar Magister Administrasi Publik Universitas Gadjah Mada (UGM) Wahyudi Kusmorotomo yakni pada masa peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru.
Saat itu Kepala Staf Komando Operasi Tertinggi Kabinet Ampera, Letjen Ahmad Yani, pernah memerintahkan anggotanya untuk mencegah berbagai aksi pungli. Selain itu, ada juga upaya pemberantasan pungli yang diinisiasi oleh Laksamana Sudomo dengan membentuk Opstib (Operasi Tertib).
Namun, komitmen yang kurang kuat menyebabkan perubahan yang tidak signifikan. Fenomena ini terus mengakar hingga beberapa kali pergantian kepemimpinan.
Meski demikian, upaya untuk menangani permasalahan pungli terus diupayakan. Pada tahun 2009, misalnya, mantan Kepala Unit UKP4 Kuntoro Mangkusubroto membentuk Satgas Pemberantasan Mafia Hukum sebagai wujud keseriusan untuk mengatasi permasalahan pungli.
Ironisnya, masih ada saja hakim, jaksa, dan aparat keamanan yang terlibat kasus pungli. Pada masa pemerintahan saat ini, tim ‘Saber Pungli’ juga masih terus berupaya mengatasi permasalahan tersebut.
Meski sudah berhasil mengungkap sejumlah praktik pungli, efektivitas kinerjanya masih perlu peningkatan. Terlebih, dengan mencuatnya kasus pungli di kawasan pelabuhan Tanjung Priok yang baru-baru ini terjadi.
Penangkapan terhadap puluhan pelaku pungutan liar ibarat fenomena ‘puncak gunung es’ karena terdapat akar permasalahan yang sepatutnya juga menjadi fokus untuk dibenahi. Salah satunya adalah faktor kemiskinan.
Jika mengacu kepada data dari Kepala BPS DKI Jakarta Buyung Airlangga, disebutkan bahwa penduduk miskin di Jakarta Utara mencapai 123.650 jiwa. Angka ini sekaligus menunjukkan bahwa daerah tersebut merupakan wilayah yang memiliki penduduk miskin terbanyak pada tahun 2020.
Hal ini dipertegas dengan pernyataan dari Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia Djoko Setijowarno yang mengatakan bahwa praktik pungli sudah mengakar kuat karena dipengaruhi oleh berbagai faktor salah satunya adalah sosial-ekonomi.
Seperti halnya dalam teori subkultur yang dikemukakan oleh ahli kriminologi seperti Bonger, Sutherland, dan Von Mayr dalam buku Kejahatan dalam Masyarakat dan Penegakannya yang ditulis oleh Ninik Widiyanti, faktor lingkungan yang meliputi pergaulan, ekonomi, serta adanya kesempatan menjadi penyebab munculnya kejahatan.
Maka, bukan suatu hal yang aneh apabila kejahatan khususnya pungli masih eksis jika beberapa faktor seperti ekonomi dan kondisi lingkungan pergaulan belum dibenahi secara serius.
Selain faktor lingkungan yang mencakup sosio-ekonomi, ternyata ada faktor lain yang disinyalir menjadi penyebab fenomena pungli sulit untuk diatasi. Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Djoko Setijowarno juga menilai kemungkinan adanya faktor kongkalikong dengan oknum.
Karena Dipelihara?
Dalam buku berjudul Politik Jatah Preman yang ditulis oleh Ian Douglas Wilson, dijelaskan bahwa para ‘pengusaha kekerasan’ serta preman justru tumbuh subur pasca-Orde Baru. Warisan pada masa Orde Baru ini berjalan dengan mekanisme demokrasi. Salah satunya dengan eksisnya kelompok-kelompok yang bergerak dan berorientasi pada aksi koersif atau kekerasan.
Carl A. Trocki dalam buku ini menjelaskan bahwa individu atau kelompok yang bisa disebut dengan preman masih berperan sebagai sosok yang menerima manfaat dari politik elektoral demokratis – baik sebagai kandidat maupun untuk mendongkrak penghasilan. Bahkan, bisa juga digunakan untuk menggerakkan dukungan untuk kepentingan pribadi.
Kondisi tersebut tidak lepas dari warisan sejak Orde Baru yang menempatkan sosok preman sebagai individu atau kelompok yang sangat jauh dari fase kemakmuran. Maka, Tim Lindsey dalam buku ini menyebutkan bahwa keputusan untuk terjun dan terlibat dalam aksi premanisme menjadi sebuah pilihan untuk mendapatkan kehidupan layak. Caranya yaitu melalui melakukan setoran-setoran liar seperti yang tergambar dalam kejahatan pungli di kawasan Tanjung Priok.
Dalam kasus tersebut, aparat kepolisian berhasil menangkap salah satu pelaku yang terlibat dalam kejahatan pungli. Oknum diduga merupakan pengawas di salah satu perusahaan out-sourcing di kawasan tersebut. Berdasarkan penyelidikan, yang bersangkutan memiliki 38 operator yang di bawah pengawasannya.
Hal ini memperlihatkan bahwa ada niat dan upaya untuk tetap ‘memelihara’ kelompok preman. Tujuannya untuk melanggengkan kepentingan pribadi semata.
Meski terlihat sulit untuk diberantas, bukan suatu hal yang tidak mungkin bagi negara untuk memberantas premanisme serta aksi punglinya. Berbagai cara bisa dilakukan dengan terus membangun sinergi yang menyeluruh bersama dengan seluruh elemen dan stakeholder yang terlibat dalam proses ekspor dan impor di kawasan Tanjung Priok.
Pemberantasan terhadap premanisme bahkan lambat laun bisa segera tercapai karena saat ini aparat kepolisian terus berkomitmen untuk memberantas premanisme beserta aksi lainnya seperti pungutan liar – mengingat, jika keamanan dan ketertiban nasional aman dan kondusif, akan mendorong akselerasi pemulihan ekonomi nasional.
Komitmen tegas sudah direalisasikan dengan terbitnya surat telegram yang secara garis besar bertujuan untuk memberikan rasa aman kepada masyarakat dan pengguna jasa khususnya di kawasan pelabuhan. Menarik untuk diamati langkah pemerintahan Jokowi selanjutnya dalam menghadapi aktivitas premanisme yang mengakar di Indonesia ini. (G69)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.