Indonesia mulai menjalankan perjanjian local currency settlement (LCS) dengan Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Perjanjian ini dinilai bisa menggeser penggunaan dolar Amerika Serikat (AS) dalam perdagangan bilateral di antara Indonesia dan Tiongkok.
Amerika Serikat (AS) tampaknya harus sedikit “gigit jari” karena beberapa negara mulai meninggalkan dolar AS dan menggunakan mata uang masing-masing dalam melakukan perdagangan. Republik Rakyat Tiongkok (RRT), misalnya, menjadi salah satu negara yang berambisi untuk menggeser mata uang dolar AS dalam sistem perdagangan bebas dan investasi global.
Namun, otoritas Tiongkok membantah adanya indikasi untuk menggantikan peran dolar AS di dalam sistem keuangan global. Meski demikian, dugaan ini tidak lepas dari munculnya mata uang renminbi (RMB) dengan bentuk digital. Wakil Gubernur Bank Sentral Tiongkok yang biasa dikenal sebagai People’s Bank of China atau PBoC menegaskan bahwa munculnya mata uang digital renminbi bukan untuk menggantikan dominasi dolar.
Hal ini ternyata sudah disadari oleh Kyle Bass dari Hayman Capital Management yang menyatakan bahwa renminbi digital merupakan ancaman bagi blok barat, khususnya AS. Maka, AS terus melakukan inovasi untuk menyaingi eksistensi renminbi digital dari Tiongkok dengan mengkaji sebuah penelitian tentang peluang membentuk uang digital melalui Institut Teknologi Massachusetts.
Tiongkok yang selangkah lebih maju dari AS dalam hal mengoptimalkan digitalisasi mata uang renminbi ini juga tidak lepas dari keinginan untuk melepaskan ketergantungannya dengan mata uang dolar AS – mengingat selama ini Tiongkok masih menggunakan dolar AS dalam melakukan perdagangan dengan negara-negara lain. Kondisi serupa juga dirasakan seluruh negara-negara di dunia termasuk Indonesia.
Ketergantungan Indonesia terhadap dolar AS dinilai bisa berdampak buruk menurut ekonom dari Institute Development of Economics and Finance(INDEF) Bhima Yudhistira. Alasannya, yaitu penggunaan dolar yang berlebihan bisa menyebabkan pelemahan bagi fundamental ekonomi nasional.
Baca Juga: Tiongkok dan Strategi “Lempar Tangan” Jokowi
Sementara, dampak negatif lainnya yaitu diungkapkan oleh Ekonom Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet. Intinya, jika ketergantungan terhadap dolar AS terus terjadi bisa berpotensi membuat Indonesia kehilangan kesempatan untuk bekerja sama dengan negara lain.
Kondisi inilah yang akhirnya membuat Indonesia serta negara lain khususnya di Asia Tenggara mulai berpikir untuk meninggalkan penggunaan mata uang dolar selama melakukan perdagangan – misalnya terlihat dari kerja sama antara Bank Indonesia (BI) dengan PBoC yang merealisasikan transaksi bilateral dengan mata uang lokal (local currency settlement/LCS) antara Indonesia dan Tiongkok.
Berlakunya kerja sama ini menandakan bahwa Indonesia bisa menggunakan mata uang lokal untuk menyelesaikan transaksi perdagangan dan investasi dengan negara lain yang memiliki model kerja sama yang serupa yaitu LCS. Saat ini, Tiongkok menjadi pilihan bagi negara-negara lain untuk bekerja sama melalui LCS. Lantas, apakah eksistensi mata uang renminbi Tiongkok bisa perlahan menggantikan hegemoni dolar AS selama ini?
Renminbi Ancam Dolar AS?
Eksistensi Tiongkok ternyata bisa memberikan pengaruh yang cukup besar dan salah satunya melalui mata uang digital yakni renminbi digital. Terbukti, kemunculan mata uang renminbi digital ini memancing reaksi dari negara-negara barat dan Jepang yang tergabung dalam organisasi G7.
Para menteri keuangan yang tergabung dalam G7 berupaya mengatur peredaran uang digital menyusul Tiongkok yang semakin gencar menciptakan renminbi digital – mengingat Tiongkok telah meluncurkan renminbi digital kepada 1 juta warganya sementara negara-negara barat khususnya AS masih mengkaji penelitian tentang penerbitan uang digital.
Meski demikian, butuh waktu yang cukup lama bagi renminbi untuk bisa menggeser dominasi dolar AS di perekonomian global. Hal ini mengacu pada data dari AZN Research yang mengemukakan bahwa estimasi porsi dolar AS sebagai cadangan devisa Tiongkok mencapai 59 persen.
Tidak hanya itu, berdasarkan data dari International Monetary Fund (IMF), porsi renminbi Tiongkok dalam cadangan devisa hanya sekitar 1,97 persen di kuartal III tahun 2019. Angka ini masih kalah dari mata uang Euro (€) yang memiliki porsi kedua terbesar setelah dolar, yaitu mencapai 20,35 persen.
Baca Juga: Siasat Tiongkok Dekati Provinsi
Fenomena tersebut memperlihatkan bahwa pengaruh dolar hingga saat ini masih mengakar kuat. Faktor sejarah menjadi salah satu indikator paling kuat yang menjadikan mata uang dolar mendominasi perekonomian global.
Lahirnya sistem Bretton Woods menjadi awal hegemoni dolar yang saat itu ditentukan sesuai dengan keinginan dari AS. Namun, dalam perjalanannya, mata uang tersebut juga mengalami pasang surut terutama sehingga tidak serta merta langsung menjadi mata uang yang mendominasi sistem perekonomian dunia.
Mengacu pada tulisan berjudul The Dollar Hegemony and The U.S-China Monetary Disputes karya Xiongwei Cao, dijelaskan bahwa sejak sistem Bretton Woods gagal, eksistensi mata uang dolar terancam dengan kehadiran mata uang yen Jepang dan mata uang Jerman Barat, yaitu Duetsche Mark. Meski sempat terancam, mata uang dolar masih tetap kuat sehingga mendominasi perdagangan internasional.
Berbagai macam insiden yang diperkirakan bisa melemahkan dolar, ternyata belum bisa menggeser hegemoni dolar. Xiongwei Cao menjelaskan bahwa peristiwa 9/11 yang menggemparkan dunia pun masih bisa diredam oleh pemerintah dan militer AS sehingga para investor masih mempercayai dolar sebagai mata uang untuk berinvestasi.
Namun, tampaknya kehadiran renminbi bisa menjadi ancaman serius bagi dolar dan hal ini bisa memberikan pengaruh bagi geopolitik Tiongkok, khususnya di kawasan ASEAN. Kawasan yang memiliki kedekatan geografis dengan Laut China Selatan ini ternyata sejak lama sudah memiliki keinginan untuk meningkatkan pembayaran transaksi perdagangan bilateral dan investasi langsung dengan menggunakan mata uang lokal masing-masing negara. Bahkan, rencana ini sudah dinyatakan dalam sebuah forum bertema 6th ASEAN Finance Minister and Central Bank Governor’s Meeting (AFMGM).
Kondisi ini tentunya menjadi peluang bagi Tiongkok dengan mulai melakukan pergerakan melalui kerja sama LCS dengan Indonesia. Lantas, apakah kebutuhan ASEAN terhadap penggunaan mata uang lokal atau LCS bisa menjadi momentum bagi Tiongkok untuk memperluas pengaruhnya di kawasan tersebut?
Baca Juga: Tak Mungkin Jokowi Lepas Tiongkok?
Tiongkok Makin Dominan?
Melihat manuver Tiongkok di ASEAN melalui pendekatan ekonomi, hal ini bisa menjadi salah satu faktor kelebihan bagi negeri Tirai Bambu tersebut. Berdasarkan data dari ISEAS-Yusof Ishak Institute, survei yang dilakukan pada tahun 2020 terhadap sekitar 1.308 orang yang terdiri dari masyarakat, kalangan akademisi, dan pengusaha, serta media menunjukkan bahwa, jika ASEAN terbelah, maka diperkirakan 7 dari 10 negaranya akan merapat ke Tiongkok.
Kondisi ini dinilai juga tidak lepas dari 79 persen responden yang menegaskan bahwa pengaruh ekonomi Tiongkok cukup kuat di kawasan tersebut. Sementara, AS pada pemerintahan Joe Biden hingga saat ini belum memiliki strategi di sektor ekonomi terhadap negara-negara di ASEAN.
Kondisi ini semakin sulit karena pada era pemerintahan sebelumnya yaitu Donald Trump, AS telah menarik diri dari kesepakatan dagang Trans-Pacific Partnership (TPP). Sementara, Tiongkok makin di atas angin karena telah menandatangani kesepakatan perdagangan yaitu Regional Comprehensive Economy Partnership (RCEP) bersama 14 negara Asia-Pasifik.
Dominasi Tiongkok di kawasan ASEAN khususnya di bidang ekonomi ini mengingatkan pada konsep structural power yang dikemukakan oleh Susan Strange. Dalam jurnal berjudul Structural Power and International Relations Analysis: Fill Your Basket, Get Your Preferences karya Andrej Pustovitvskij dan Jan-Frederik Kremer, dijelaskan bahwa Strange menegaskan bahwa power atau kekuasaan bisa membentuk sebuah pemahaman atau kerangka bagi negara-negara dalam menjalin sebuah relasi.
Strange juga menekankan bahwa kekuasaan yang terletak pada struktur lebih penting dibandingkan kekuasaan karena sumber daya alam yang melimpah. Jika melihat perspektif dari Strange ini, Tiongkok tampaknya perlahan berusaha untuk membentuk sebuah struktur ekonomi di kawasan Asia Tenggara. Caranya, yakni dengan memulai kerja sama perdagangan melalui mekanisme LCS sehingga dalam melakukan transaksi perdagangan tidak lagi menggunakan mata uang dolar.
Lantas, apakah fenomena ini awal dari hegemoni Tiongkok di kawasan Asia Tenggara? Isu ini menarik untuk disimak mengingat AS di era pemerintahan Joe Biden juga mulai melakukan manuver di kawasan tersebut. (G69)
Baca Juga: Mampukah Jokowi Geser Dolar AS?
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.