HomeNalar PolitikSiasat Golkar Di Balik Usulan PT 7%?

Siasat Golkar Di Balik Usulan PT 7%?

Seri Pemikiran Fareed Zakaria #2

Gagasan kenaikan ambang batas parlemen menjadi tujuh persen mendapat penolakan berbagai pihak. Namun, langkah yang salah satunya didukung dan diinisiasi Partai Golkar itu di sisi lain merupakan proyeksi stabilitas dan kekuatan bangsa di masa lalu. Benarkah hal itu?


PinterPolitik.com

Melihat segala persoalan dari berbagai sisi selalu bermuara pada berkembangnya pemikiran dan pintu gerbang dari sebuah progresivitas. Inilah ungkapan yang tepat dalam menganalisa dan merespon wacana kenaikan parliamentary threshold (PT) atau ambang batas parlemen yang harus direngkuh tiap partai politik (parpol) pada pemilihan umum atau pemilu berikutnya.

Gagasan kenaikan tiga persen dari ambang batas minimal empat persen pada pemilu 2019 lalu, membuat parpol pendukung gagasan ini seketika mendapat tudingan minor dari berbagai pihak karena dinilai tak memiliki urgensi yang jelas.

Seperti yang disampaikan oleh Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Firman Noor yang menaruh curiga pada gagasan kenaikan ambang batas parlemen ini dikarenakan tidak dilandasi pijakan identifikasi masalah yang jelas.

Parpol pendukung kenaikan ambang batas parlemen ini sendiri dipimpin oleh Golkar yang kadernya merupakan Ketua Komisi II DPR RI dan notabene membidangi pokok terkait. Golkar, PKB, dan Nasdem menginginkan ambang batas sebesar tujuh persen, dan di “kubu pendukung” yang sama, PDIP dan PKS mengehendaki kenaikan di angka lima persen.

PPP, Demokrat, dan PAN menjadi pihak yang tak menginginkan perubahan ambang batas lama sebesar empat persen, sementara Gerindra menjadi parpol yang masih cenderung abstain dalam dinamika gagasan ini.

Secara garis besar, tujuan kenaikan ambang batas parlemen dianggap sebagai metode untuk menyederhakan sistem multi-partai yang ada di Indonesia. Selain itu, gagasan ini juga untuk mendukung sistem presidensial yang lebih efektif dan pada saat bersamaan agar tak terjadi polarisasi yang ekstrem di parlemen.

Partai Golkar, tampaknya menjadi yang terdepan dalam menginisiasi gagasan kenaikan ambang batas parlemen ini, dinilai memiliki peran vital dalam realisasi kenaikan dalam mengkoreksi Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Lantas apakah Golkar menginginkan kembalinya sistem multi partai yang jauh lebih sederhana dengan berkaca pada kejayaan mereka pada masa Orde Baru? Lalu, apakah gagasan kenaikan ambang batas ini adalah sebuah hal yang baik atau justru kontraproduktif terhadap demokrasi Indonesia?

Kalkulasi Terbaik?

Ya, dapat dipastikan di balik setiap regulasi maupun kebijakan tentu ada konteks serta implikasi positif dan negatif. Para pembuat keputusanlah yang kemudian memiliki penilaian dan kalkulasi terbaik mana yang paling sesuai dengan kondisi dinamika yang ada.

Jika melihat dari sisi negatifnya, tentu sangat mudah bagi siapapun untuk memberikan kritik tajam. Hal ini juga disoroti Fareed Zakaria dalam tulisannya yang berjudul The Rise of Illiberal Democracy. Dalam tulisan tersebut, Zakaria menyajikan secara komprehensif aspek positif dan negatif dari sebuah proses demokrasi di berbagai belahan dunia.

Konsep illiberal democracy atau demokrasi iliberal dianggap Zakaria sebagai keadaan ketika mereka yang terpilih secara demokratis justru mengekang hak dan kebebasan rakyat yang memilihnya serta mengabaikan dasar konstitusionalisme yang menjadi fundamental demokrasi itu sendiri.

Kondisi tersebut juga dinyatakan oleh Zakaria akan bermuara pada legitimasi kekuasaan yang kuat dan berpotensi terjadi penyalahgunaan kewenangan jika tidak diimbangi dengan tiga pilar demokrasi – eksekutif, legislatif, dan yudikatif – yang kuat dan profesional.

Demokrasi iliberal seperti yang disoroti oleh Zakaria tersebut tampaknya menjadi alasan di balik bombardir kritik atas gagasan kenaikan ambang batas parlemen. Sisi negatif yang terekspos inilah yang terus dieksploitasi oleh para pengamat dan kritikus tanpa melihat dan mempertimbangkan variabel lain sebagai kalkulasi dari sisi berbeda.

Dan dalam konteks Golkar, tudingan ingin mengembalikan kejayaan partai berlambang pohon beringin itu saat Orde Baru di mana mereka berkuasa selama hampir tiga dekade sejak tahun 1970 memang sulit dielakkan.

Muara legitimasi yang kuat seperti yang dikemukakan Zakaria dinilai sulit terbantahkan dengan relevansi kenaikan ambang batas parlemen yang diperoyeksikan sebagai “pemangkasan” jumlah parpol yang bercokol di Senayan.

Selain itu, tudingan pengabaian suara rakyat yang terbuang terhadap parpol yang tak lolos presentase menjadi senjata andalan pihak-pihak yang secara historis seolah termarjinalkan akibat aturan ini, paling tidak dalam pemilu edisi teranyar pada 2019 lalu.

Namun demikian, konklusi prematur untuk menyebut gagasan ini sebagai demokrasi iliberal juga tidak dapat dibenarkan. Terlebih ketika menyimpulkan hasil akhir dari kuatnya legitimasi di parlemen akan menimbulkan konsekuensi negatif semata.

Lalu, benarkah tudingan minor tersebut? Dan bagaimana kalkulasi terbaik secara komprehensif sebenarnya?

Urgensi Stabilitas Decision Making

Zakaria pun secara cermat mengupas komprehensivitas konteks demokrasi yang relevan dengan persoalan ambang batas parlemen ini dalam tulisan yang sama. Menurutnya, demokrasi terbaik ialah implementasi regulasi dan kebijakan yang berlandaskan tradisi konstitusional terbaik yang ada.

Dalam hal ini, Zakaria menekankan bahwa demokrasi adalah sistem terbaik. Namun di sisi lain kultur dan kondisi masyarakat di tiap negara membutuhkan kerangka pemerintahan dan pendekatan demokrasi yang berbeda.

Zakaria menyebutkan bahwa demokrasi American way tentu tidak akan sepenuhnya atau bahkan sama sekali tak relevan jika diterapkan di negara demokratis di beberapa bagian wilayah Eropa, Asia, Afrika, hingga Amerika Latin.

Seperti yang telah diketahui, sistem kepartaian Amerika Serikat (AS) sejak lama hanya seputar pertarungan klasik Republik dan Demorat. Sementara di selatan dan tengah Eropa, Asia, Afrika hingga Amerika Latin, memiliki sistem multi partai yang berbeda-beda.

Variabel kutur, masyarakat, dan tradisi yang disoroti Zakaria tersebut dinilai cukup relevan ketika Golkar menjadi fokus dan haluan dalam menganalisa gagasan kenaikan ambang batas parlemen.

Secara kultur dan tradisi demokrasi yang berlandaskan konstitusi, masyarakat Indonesia pernah mengalami stabilitas terbaik tanpa banyak “drama” dalam decision making atau pembuatan keputusan kebijakan maupun regulasi ketika pada masa Orde Baru sistem kepartaian berlangsung secara sederhana.

Tendensi minor juga tak dapat menutupi sisi positif yang ada meskipun ketika itu demokrasi Indonesia diwarnai oleh hanya tiga partai yaitu Golkar, PPP, dan PDI. Hal ini terkait dengan kemenangan beruntun partai berlambang pohon beringin selama enam edisi pemilu, yang di sisi lain justru mengekspos adanya efektivitas dan pengambilan keputusan di tiga pilar demokrasi yang cepat dan tegas kala itu.

Reformasi lalu merenggutnya. Keterbukaan dengan dalih demokrasi “sesungguhnya” secara luas namun tak ada batasan yang jelas membuat menjamurnya partai justru menjadi permasalahan tersendiri.

Inkompetensi partai membuat banyak dari mereka yang timbul tenggelam dengan cepat yang kemudian justru memperkeruh serta berperan dalam instabilitas pengambilan keputusan dan konsolidasi yang lebih rumit nan berlarut-larut di mana bermuara pada lambannya eksekusi kepentingan rakyat secara umum.

Ide kenaikan ambang batas parlemen yang diinisiasi Golkar dinilai menjadi terobosan progresivitas tersendiri pasca reformasi, dengan rasionalisasi dan kalkulasi terbaik berdasarkan variabel kultur, karakteristik masyarakat dan tradisi di masa lalu yang cenderung stabil ketika tak terlalu ramai hiruk pikuk parpol di Senayan.

Lelucon melegenda “penak jamanku to?” dengan latar belakang mantan Presiden Soeharto yang terkadang menggelitik banyak pihak di era saat ini, agaknya juga sesuai merefleksikan konteks kenaikan ambang batas parlemen dengan rasionalisasi yang ada.

Potensi kemudaratan seperti penyalahgunaan legitimasi kekuasaan akibat kenaikan ambang batas parlemen dinilai menjadi konteks yang dapat diantisipasi dalam era keterbukaan partisipasi publik saat ini.

Bagaimanapun, tak salah jika demokrasi di Indonesia terus berupaya menemukan formula terbaiknya di tengah berbagai realita dinamis yang ada. Ide atau gagasan para wakil rakyat di parlemen yang terhimpun dalam parpol legendaris seperti Golkar yang kenyang akan memori kekuatan bangsa berupa stabilitas di masa lalu, bisa jadi dapat menjadi referensi terbaik atas pemecahan persoalan bangsa kekinian.

Poin pentingnya dalam konteks ini adalah, memperhatikan variabel komprehensif menjadi penting dalam menganalisa serta memberikan penilaian terhadap berbagai gagasan terkait fundamental demokrasi bangsa yang mau tidak mau harus diakui masih terus harus berbenah.

Kini keputusan realisasi gagasan kenaikan ambang batas parlemen ada pada intensi tiap-tiap parpol. Akumulasi terbaik tentu harus menjadi prioritas tiap parpol bagi kemaslahatan rakyat dan bukan menyembunyikan keterancaman eksistensi kepentingan dengan dalih tuduhan yang tak tepat. Itulah harapan kita bersama. (J61)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Baca juga :  Megawati and The Queen’s Gambit
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

“Parcok” Kemunafikan PDIP, What’s Next?

Diskursus partai coklat atau “parcok" belakangan jadi narasi hipokrit yang dimainkan PDIP karena mereka justru dinilai sebagai pionir simbiosis sosial-politik dengan entitas yang dimaksud. Lalu, andai benar simbiosis itu eksis, bagaimana masa depannya di era Pemerintahan Prabowo Subianto dan interaksinya dengan aktor lain, termasuk PDIP dan Joko Widodo (Jokowi)?