Site icon PinterPolitik.com

Siasat Gibran Jadi “Cawapres Twitter”?

siasat gibran jadi cawapres twitter

Calon wakil presiden (cawapres) nomor urut dua, Gibran Rakabuming Raka, di debat cawapres yang digelar di JCC Senayan, Jakarta, pada Jumat, 22 Desember 2023, lalu. (Foto: Istimewa)

Usai debat calon wakil presiden (cawapres) pada Jumat (22/12) lalu, calon wakil presiden (cawapres) nomor urut dua, Gibran Rakabuming Raka, semakin terlihat aktif di platform media sosial (medsos) X. Mengapa Gibran semakin percaya diri?


PinterPolitik.com

“Yeah, trigger fingers turn to Twitter fingers” – Drake, “Back to Back” (2015)

Jari-jari Twitter. Mungkin, frasa yang disebutkan oleh penyanyi rap (rapper) asal Kanada bernama Drake dalam kutipan di atas ini terdengar sangat asing bagi banyak orang.

Namun, satu baris dalam lagu tersebut sebenarnya memiliki makna sindiran yang begitu keras. Sindiran itu dilayangkan oleh Drake kepada penyanyi rap lainnya yang bernama Meek Mill.

Kala itu, Meek Mill menyebutkan nama Drake dalam cuitannya mengenai pertanyaan-pertanyaan banyak orang tentang dirinya. “Berhenti bandingkan Drake denganku juga… Dia tidak menulis lirik-liriknya sendiri!” cuit Meek pada Juli 2015 silam.

Sontak saja, Drake langsung menulis lagu balasan yang akhirnya dirilis dengan judul “Back to Back” (2015). Dalam lagu itu, Drake-pun menyindir Meek yang dianggap hanya bisa nyinyir via Twitter.

Terlepas dari itu, Twitter – atau sekarang yang dikenal sebagai X – memang menjadi platform media sosial (medsos) yang paling cocok untuk berkomunikasi secara tekstual. 

Dan, mungkin, calon wakil presiden (cawapres) nomor urut dua, Gibran Rakabuming Raka, menyadari hal itu. Melalui akun @gibran_tweet, Gibran akhirnya mulai terlihat sangat aktif kembali usai debat cawapres pada Jumat (22/12) lalu.

Bahkan, Gibran-pun berani membalas cuitan-cuitan yang bernada negatif padanya. Wali Kota Solo tersebut juga menggunakan istilah-istilah yang ditempelkan oleh lawan politik padanya, seperti Samsul yang merupakan akronim dari salah ucap “asam sulfat”.

Pertanyaannya adalah mengapa Gibran kini tampak kembali percaya diri di Twtter? Mungkinkah ini berkaitan dengan dominasi Gibran di debat cawapres kemarin?

Gibran Makin Pede?

Tidak bisa dipungkiri bahwa Gibran memang terlihat dominan di debat cawapres lalu. Padahal, sebelum-sebelumnya, Gibran kerap dianggap sebagai “anak ingusan” yang tidak mungkin mengalahkan politisi dan pejabat senior di debat tersebut.

Persepsi soal penampilan Gibran pada debat ini juga didukung oleh banyak hasil survei. Salah satunya adalah hasil survei dari Indikator Politik Indonesia yang dilakukan pada 23 dan 24 Desember 2023.

Dalam survei itu, sebanyak 56,2 persen responden menganggap Gibran tampil lebih baik dalam debat cawapres tersebut dibandingkan cawapres-cawapres lainnya – yakni Muhaimin Iskandar (Cak Imin) dan Mahfud MD.

Mungkin, boleh dibilang bahwa Gibran telah berhasil membuktikan bahwa dirinya bukanlah sosok muda yang bisa jadi cawapres hanya karena privilese yang dimiliknya sebagai putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi)

Bisa jadi, ini akhirnya membuat Gibran lebih percaya diri (pede) dalam berinteraksi sosial – termasuk di Twitter. Berkaca dari tulisan Julia Albarracín, Wei Wang, dan Dolores Albarracín yang berjudul Do Confident People Behave Differently?, ini bisa disebut sebagai defensive confidence (kepercayaan diri defensif).

Kepercayaan diri seperti ini biasanya akan berujung pada perubahan pola interaksi sosial. Selain itu, defensive confidence juga bisa berdampak pada perubahan perilaku.

Boleh jadi, inilah yang tengah dirasakan Gibran. Setelah berbulan-bulan menjadi bulanan warganet, Gibran bisa saja merasa debat cawapres kemarin menjadi pembuktian bahwa perkataan orang-orang adalah tidak benar.

Namun, apakah benar Gibran baru kali ini memiliki perilaku dan pola interaksi demikian di Twitter? Mengapa ini sebenarnya bisa jadi siasat Gibran dalam menyongsong tahun 2024? 

Justru, Branding Gibran Kuat?

Bila ditelaah kembali, sebenarnya bukan kali ini saja Gibran menggunakan gaya komunikasi demikian. Sejak ayahnya, Presiden Jokowi, dikenal luas di dunia politik, Gibran sudah mulai menjalankan branding (penjenamaan) di akun-akun medsos-nya.

Bersama Kaesang Pangarep, akun medsos milik Gibran kerap menanggapi kritik-kritik yang dilontarkan pada Presiden Jokowi. Gibran dan Kaesang seakan-akan menjadi tameng “humor” yang siap membuat kritik menjadi lelucon.

Inilah mengapa Gibran akhirnya kembali melakukan hal yang sama. Dalam cuitan-cuitannya, Gibran malah membalas dengan narasi-narasi tidak serius – misal dengan meminta maaf dan memanggil “pak” meski akun yang dibalas menggunakan foto profil dengan sosok individu perempuan.

Tidak hanya itu, cuitan-cuitan lelucon juga diejawantahkan melalui penggunaan kata-kata seperti “Samsul.” Gibran juga kembali mengganti foto profilnya – seperti biasa yang dia lakukan – dengan foto Giring Ganesha saat masih sangat muda.

Apa yang dilakukan Gibran sebenarnya bisa dijelaskan menggunakan teori presentasi diri (self-presentation theory) dari Erving Goffman. Goffman menjelaskan bahwa, dalam berinteraksi sosial, setiap individu akan mempresentasikan diri mereka dengan cara tertentu agar masyarakat menganggap diri mereka demikian.

Namun, bila bicara soal presentasi diri, ini juga berkaitan dengan penjenamaan.Ini sejalan dengan penjelasan Hope Jensen Schau dan Mary C. Gilly dalam tulsan mereka yang berjudul We Are What We Post? Self-Presentation in Personal Web Space.

Dalam tulisan itu Schau dan Gilly menjelaskan bahwa apapun yang diunggah di internet adalah bagian dari identitas. Dengan identitas itu, individu akhirnya bisa diasosiasikan dengan tanda, simbol, objek dan tempat.

Mungkin, dengan menggunakan gaya komunikasi politik tersebut, Gibran akhirnya menjadi lebih mudah diasosiasikan dengan anak-anak muda. Pasalnya, unggahan Gibran sebenarnya sejalan dengan meme culture yang digeluti para warganet asli (digital natives).

Selain itu, Gibran sendiri juga menjalankan sejumlah gagasan yang erat kaitannya dengan anak muda. Soal teknologi internet hingga gaming, misalnya, menjadi topik-topik yang dekat dengan kelompok muda.

Pada akhirnya, apapun yang dilakukan Gibran di akun-akun medsos justru menjadi cara yang konsisten baginya untuk me-branding diri. Konsistensi itulah yang akhirnya menguatkan identitas Gibran sebagai seorang ‘Gibran’. (A43)


Exit mobile version