Erick Thohir datang lagi, kali ini yang hangat diperbincangkan perihal perintah agar toilet SPBU digratiskan. Publik melihat hal ini sebagai pencitraan politik, sebuah persiapan menjelang perhelatan 2024. Apakah ini sekadar manuver membuat citra semata?
Seolah tak ada habisnya, Menteri BUMN Erick Thohir selalu menjadi perbincangan publik di media sosial. Ambil contoh, sebuah unggahan di akun instagramnya memperlihatkan video Erick Thohir terkejut karena pengguna toilet di SPBU diwajibkan membayar. Menurutnya itu adalah fasilitas umum dan harus digratiskan.
Fenomena toilet berbayar sebenarnya sudah menjadi realitas biasa di tengah masyarakat kita. Meski sering kali mengeluh, tapi kita selalu merasa tidak tega untuk tidak membayar, rasanya uang Rp 2 ribu yang diberikan kepada penjaga toilet bukanlah sesuatu yang besar. Jika kita lihat, sebenarnya toilet umum merupakan salah satu fasilitas umum yang disediakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, khususnya saat sedang berada di luar rumah.
Seperti yang kita ketahui, permintaan Menteri BUMN langsung direspons oleh Direksi Pertamina. Akhirnya Pertamina menggratiskan toilet di seluruh SPBU. Selain itu, Pertamina mengingatkan seluruh pemilik dan pengelola SPBU untuk tetap memperhatikan kebersihan dan kenyamanan toilet meski sudah digratiskan.
Baca Juga: Erick Maunya Toilet Gratis
Irto Ginting, Corporate Secretary Subholding Commercial and Trading Pertamina, mengatakan, toilet di SPBU adalah salah satu bentuk layanan Pertamina kepada masyarakat. Adanya toilet yang berbayar karena Pertamina juga bekerja sama dengan pihak swasta untuk mengelola SPBU.
Selain itu, langkah Menteri BUMN Erick yang meminta penggratisan pelayanan toilet umum di SPBU diterjemahkan sebagai aksi memoles citra agar dapat masuk bursa pencalonan presiden pada Pilpres 2024 mendatang. Lantas, seperti apa sebenarnya pencitraan politik itu?
Memahami Pencitraan Politik
Dalam literasi politik, pencitraan politik merupakan kata yang lumrah. Tentunya hal ini dilatarbelakangi oleh semakin maraknya media yang dianggap mampu membentuk citra dan presepsi publik terhadap seseorang.
Kekuatan media, menjadi magnet (daya tarik) bagi elite politik maupun partai politik, mereka beramai-ramai memoles diri di berbagai kanal yang diberikan oleh media. Hal ini terlihat pada media konvensional seperti televisi, maupun media baru seperti YouTubedan media sosial lainnya. Tujuannya, tentu saja untuk membangun citra di hadapan publik dan mengarahkan opini publik.
Water Lippman dalam bukunya Public Opinion, menjelaskan, citra merupakan sebuah dunia menurut persepsi seseorang, secara khas ia menyebutkan citra sebagai “pictures in our head” yang ingin menjelaskan gambaran tentang realitas. Mungkin saja pada kenyataan apa yang tampak tidak sesuai dengan realitas. Hal ini yang menjadi alat untuk membangun opini masyarakat. Citra terbentuk berdasarkan informasi yang diterima melalui berbagai media.
Media dalam membentuk citra juga sering kali menggunakan frame tersendiri. Frame ini juga disalurkan dengan cara one way traffict communication, yaitu sebuah arus komunikasi satu arah, yang tentunya akan mampu membentuk citra seseorang yang ingin ditampilkan.
Citra juga merupakan segala hal yang berkaitan dengan situasi keseharian seseorang, menyangkut pengetahuan, perasaan, dan kecenderungannya terhadap sesuatu. Sehingga citra dapat berubah seiring dengan perjalanan waktu. Hal ini menjelaskan bahwa citra tidak statis melainkan dinamis, meski demikian citra akan selalu dikendalikan oleh pihak yang membuat citra.
Dalam marketing politik, dikenal juga sebuah proses pembuatan citra seorang tokoh atau publik figur untuk kemudian dipasarkan melalui media kepada khalayak banyak. Proses ini mempunyai mekanisme tersendiri untuk menghasilkan output.
Baca Juga: Mungkinkah Erick-Sandiaga di 2024?
M Wayne DeLozier dalam bukunya The Marketing Communication Process, menyebutkan citra akan terlihat atau terbentuk melalui proses penerimaan secara fisik (panca indra), masuk ke saringan perhatian (attention filter), dan dari situ menghasilkan pesan yang dapat dilihat dan dimengerti (perseived message), yang kemudian berubah menjadi persepsi dan akhirnya membentuk sebuah pencitraan.
Pencitraan seorang tokoh juga dapat dibentuk dengan memperlihatkan aktivitas keseharian, yang dipoles sedemikian rupa untuk menyampaikan pesan pada banyak orang, bahwa tokoh tersebut juga mempunyai kehidupan yang serupa dengan para penonton. Hal ini penting untuk menarik simpati, karena penerima citra akan merasa punya kesamaan. Masyarakat akan melihat adanya keterikatan dengan seorang tokoh akibat kesamaan tersebut.
Dengan kata lain, mungkin dapat dikatakan Erick sedang memperlihatkan bahwa dirinya memiliki perasaan yang sama dengan masyarakat. Ia sama dengan masyarakat biasa yang ingin menikmati toilet gratis di SPBU. Mungkin seperti itu yang ingin disampaikan mantan bos Inter Milan ini.
Upaya Berpacu Menjelang 2024
Untuk memahami apa yang dilakukan Erick lebih lanjut, sekiranya kita perlu memahami ruang lingkup kondisi politik yang tak bisa dilepaskan dari tindakan para aktor-aktor politik. Kegiatan komunikasi pemasaran (promosi) produk politik, lahir dari kebutuhan untuk menjual produk politik yang tidak bisa dilakukan hanya dalam waktu tertentu, melainkan harus dalam jangka yang panjang.
Menguatnya sistem demokrasi, terlebih di Indonesia, menyebabkan para pelaku harus bersaing ketat memperebutkan dukungan publik. ini membuat kegiatan komunikasi politik tidak hanya dibatasi pada saat kampanye, melainkan sepanjang waktu, layaknya para produsen barang dan jasa yang memasarkan produknya sepanjang tahun.
Perilaku politik kita saat ini dapat dikatakan memasuki era demokrasi alapasar bebas. Terkait hal ini, David Ward dan Bernd-Petr Lange dalam bukunya The Media and Election A Handbook and Comparative Study, menerangkan, dalam praktik pasar bebas, bukan zamannya aktor politik memaksa, melainkan harus beralih ke dalam usaha mempromosikan diri dengan pendekatan komunikasi pemasaran yang canggih, serta melalui bermacam saluran atau kanal komunikasi politik. Jika mereka berhasil meyakinkan publik, niscaya akan mendapatkan dukungan politik.
Hal ini yang sekiranya ingin dilakukan oleh Erick Thohir, yaitu upaya untuk membentuk image publik tentang dirinya. Tujuannya tentu saja untuk meningkatkan top of mind awareness tentang dirinya kepada masyarakat.
Baca Juga: Partai Mana yang Disiram Erick?
G Schweiger dan M Adami dalam bukunya The Non Verbal Image of Politicians an Political Practies mengemukakan citra merupakan gambaran menyeluruh yang ada di kepala pemilih mengenai kandidat maupun program.
Menurut mereka, proses pengambilan keputusan tidak selamanya dipengaruhi oleh pengetahuan pemilih tentang program-program partai maupun oleh informasi-informasi yang membangun brand politik, tetapi proses itu bisa jadi dipengaruhi kuat oleh impression (terkesan) dan nonrational evaluation criteria (kriteria yang tidak rasional yang dipakai pemilih dalam mengevaluasi para kandidat/parpol).
Mengutip Schweiger dan Adami, dapat disimpulkan bahwa pemilih seringkali dapat dipengaruhi oleh sosok orang yang memberi kesan dalam tiap penampilannya di media. Meskipun terdapat pencitraan yang mungkin kurang rasional, namun pemilih akan tetap menaruh perhatian karena efek terkesan yang tercipta.
Nah, mungkin dapat dikatakan Erick telah melakukan berbagai citra untuk menjaga top of mind awareness atas dirinya. Sekalipun mungkin manuver tersebut terlalu kentara atau mengundang tanya seperti permintaan toilet gratis, yang terpenting adalah berada di top of mind publik.
Tentunya, berbagai citra itu dilakukan agar dirinya tetap berada di radar pacuan kandidat Pilpres 2024. Indikasi ini tampaknya makin kuat dengan unggahan terbaru Erick yang memperlihatkan aktivitasnya sebagai anggota Banser NU. Sedikit konteks, Erick telah resmi menjadi anggota kehormatan Banser NU.
Well, sebagai penutup, perlu untuk digarisbawahi, sekelumit pembahasan ini bertolak pada asumsi bahwa Erick tengah bersiap untuk menjadi kandidat di 2024. Dengan kata lain, segala bentuk penjelasan dan argumentasi dalam artikel ini dapat dibantah dengan mudah jika Erick memang tidak berambisi untuk menjadi kandidat. (I76)