HomeNalar PolitikSiapkah Jokowi Bila ASEAN Bubar?

Siapkah Jokowi Bila ASEAN Bubar?

Perbedaan pendekatan soal krisis politik Myanmar terjadi di ASEAN setelah Kamboja mengambil posisi ketua pada tahun 2022. Apakah mungkin ASEAN bubar di masa depan? Lantas, siapkah pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)?


PinterPolitik.com

Mungkin, banyak orang membayangkan bahwa hubungan cinta akan selalu diisi dengan tawa dan kebahagiaan. Namun, pada faktanya, hubungan cinta – dan hubungan apapun itu – tidak selalu hanya diisi oleh senyum.

Terkadang, kesedihan dan kepedihan turut menyertai – entah itu karena persoalan yang datang dari luar hubungan ataupun persoalan yang datang dari dalam. Boleh jadi, di mana ada jalinan ikatan, ada juga keretakan yang turut menyertai.

Bisa jadi, apa yang perlu dilakukan terhadap keretakan itu kembali pada diri masing-masing yang terikat dalam jalinan tersebut. Bisa saja, keretakan itu diperbaiki sehingga hanya menjadi bekas yang menghiasi. 

Namun, keretakan itu juga bisa berujung pada perpecahan bila mereka lebih memilih untuk menghancurkannya. Apapun pilihannya, itu semua kembali kepada keputusan yang disepakati antara Aris dan Kinan – tentunya bila kalian mengikuti tayangan Layangan Putus (2021-sekarang).

Namun, siapa sangka bila pertimbangan berat soal keretakan layaknya apa yang terjadi antara Aris dan Kinan ini juga berlaku di dunia politik – salah satunya adalah politik kawasan. Pasalnya, baru-baru ini, Kamboja yang menjadi Ketua ASEAN pada 2022 tampaknya memiliki perbedaan sikap dengan pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) atas krisis politik yang terjadi di Myanmar. 

Bayangkan saja, setelah pemerintahan Jokowi susah-susah menginisiasi Konsensus Lima Poin (Five-Point Consensus atau 5PCs), Perdana Menteri (PM) Kamboja Hun Sen baru-baru ini malah mengunjungi Myanmar dan menemui pemerintahan junta yang dipimpin oleh Jenderal Min Aung Hlaing. Padahal, Indonesia, Malaysia, dan Brunei sebelumnya sudah kesal dengan Myanmar karena dinilai tidak mengikuti hasil kesepakatan 5PCs dengan baik.

Sontak saja, aksi Hun Sen menimbulkan kontroversi dan polemik di antara negara-negara anggota ASEAN lainnya. Bahkan, menanggapi hal ini, mantan Duta Besar Indonesia untuk Britania Raya (Inggris), Rizal Sukma, sampai-sampai mempersilakan Kamboja bila ingin “menghancurkan” ASEAN. 

Tentu saja, bak tetangga yang penasaran dengan permasalahan rumah tangga orang lain, sejumlah pertanyaan muncul. Mengapa perbedaan sikap antara negara-negara anggota ASEAN bisa muncul? Lantas, apa yang akan terjadi bila “kehancuran” yang diungkapkan Rizal benar-benar terjadi? Mungkinkah ASEAN bubar di masa depan?

Baca Juga: Asa Jokowi Pimpin ASEAN

Indonesia Dilangkahi Kamboja

Satu ASEAN, Beda Prinsip

Seperti apa yang telah dijelaskan, pertengkaran, konflik, dan silang pendapat hampir pasti akan selalu ada dalam sebuah ikatan. ASEAN yang merupakan organisasi bagi negara-negara yang terletak di kawasan Asia Tenggara pun tidak luput dari hal-hal ini.

Bagaimana tidak? Kawasan ini disebut-sebut menjadi salah satu kawasan yang paling kaya dalam keanekaragamannya. Tidak hanya soal kondisi geografis dan topografis, kawasan ini disebut juga memiliki budaya-budaya yang saling berbeda.

Namun, siapa sangka bila perbedaan geografis di antara negara-negara ASEAN justru membuat negara-negara ini memiliki perbedaan sikap dalam politik luar negeri mereka masing-masing – katakanlah negara-negara maritim dan negara-negara kontinental (mainland). 

Baca juga :  Prabowo vs Kemlu: Warrior vs Diplomat?

Di bagian selatan, terdapat sejumlah negara maritim, seperti Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, dan Filipina. Sementara, di bagian utara, berdiri negara-negara kontinental yang lebih dekat dengan Tiongkok – seperti Thailand, Kamboja, Vietnam, Laos, dan Myanmar.

Dua “kubu” negara ASEAN ini masing-masing memiliki sejarah panjang dan berbeda-beda. Namun, karena letak geografis mereka, negara-negara maritim justru lebih diuntungkan dalam hal perdagangan – dari masa lampau hingga masa kini.

Mengacu pada tulisan Wang Gungwu yang berjudul Southeast Asia and Continental and Maritime Powers in a Globalised World, dua jenis negara di Asia Tenggara ini dapat dibedakan berdasarkan budaya dan nilai yang mereka pegang. Negara-negara maritim, misalnya, dinilai lebih terbuka dengan pelabuhan-pelabuhan perdagangannya yang kerap menerima orang-orang asing dalam sejarahnya.

Sementara, negara-negara kontinental disebut mengalami pertukaran nilai dan budaya yang lebih terbatas. Alih-alih mendapatkan pengaruh budaya dari banyak peradaban, nilai, norma, dan struktur masyarakat ala Tiongkok dianggap lebih mendominasi.

Bukan tidak mungkin, perbedaan historis ini mempengaruhi politik luar negeri negara-negara ini di masa kini. Bila mengacu pada pendekatan konstruktivisme dalam studi Hubungan Internasional yang dicetuskan Alexander Wendt, perilaku negara-negara dalam politik internasional turut dipengaruhi oleh konstruksi sosial yang terbangun di antara mereka – seperti hubungan perkawanan dan permusuhan di masyarakat biasa.

Baca Juga: Jokowi dan Dua “Kubu” ASEAN

It's The Way of ASEAN

Gungwu juga mengatakan bahwa perbedaan historis ini berpengaruh pada cara pikir (mindset) di antara keduanya. Negara maritim lebih memiliki sifat yang terbuka dan bebas sedangkan negara kontinental lebih tetap dan berbasis darat.

Pertanyaan yang perlu dijawab berikutnya adalah apa yang akan terjadi bila organisasi kawasan ini bubar – mengingat hadirnya perbedaan mindset ini yang menurut Gungwu membuat negara-negara anggotanya tidak mempunyai rasa memiliki (sense of regional belonging). Bagaimana dampaknya terhadap pemerintahan Jokowi dan Indonesia secara keseluruhan?

Bila ASEAN Bubar…

Seperti yang telah dijabarkan di awal tulisan, keretakan pasti akan selalu ada mengikuti jalinan ikatan, termasuk ikatan regional ASEAN. Untuk menentukan keputusan apa yang akan diambil, tentu perlu juga pertimbangan matang.

Salah satu kemungkinan yang sempat diungkapkan Rizal adalah kemungkinan bila ASEAN hancur – dalam artian terpecah belah menuju bubar. Bukan tidak mungkin, andaikata ASEAN yang telah berdiri sejak tahun 1967 ini bubar, implikasi yang panjang bisa saja turut menyertai.

ASEAN sendiri pada mulanya berdiri berdasarkan Teori Domino (Domino Theory), di mana penyebaran komunisme di Asia Timur terjadi mengikuti letak dan kedekatan geografis antarnegara, mengakibatkan kesamaan kecemasan terhadap komunisme di antara lima negara anggota pertama, yakni Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, dan Singapura.

Seiring runtuhnya Uni Soviet, regionalisasi Asia Tenggara terus berlanjut dengan bergabungnya lima negara lain – yakni Brunei Darussalam, Vietnam, Myanmar, Kamboja, dan Laos. Mungkin, ini sejalan dengan apa yang dijelaskan oleh Andrew Gamble dan Anthony Payne dalam buku mereka yang berjudul Regionalism and World Order – di mana kerja sama dan integrasi antarnegara semakin masif dan pesat berkembang.

Baca juga :  Jokowi's Secret Painting?

Namun, gelombang regionalisasi ini dinilai mulai mengalami kemunduran. Seperti Brexit yang terjadi di Uni Eropa dengan keluarnya Britania Raya (Inggris), perbedaan persepsi bisa saja berpengaruh pada kohesi organisasi kawasan. 

Apalagi, di tengah situasi global saat ini, nasionalisme dan kebijakan luar negeri yang unilateral semakin menjadi-jadi. Belum lagi, terjadi juga persaingan geopolitik yang menempatkan Asia Tenggara menjadi titik panas (hotspot) antara Amerika Serikat (AS) dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT).

Baca Juga: Mahathir Ingin Jokowi “Seimbangkan” ASEAN?

Buat Apa Urusi ASEAN

Persaingan dua negara adidaya ini turut mempengaruhi arah kebijakan luar negeri negara-negara anggota ASEAN – di mana negara-negara kontinental lebih dekat dengan Tiongkok sedangkan sejumlah negara maritim memiliki kemitraan strategis yang lebih dekat dengan AS.

Bila situasi terus memanas – dan perbedaan mindset semakin menajam, bisa jadi, kohesi ASEAN turut meluntur. Bubarnya ASEAN – ekstremnya – bisa saja menjadi kemungkinan di masa mendatang.

Lantas, bagaimana dampaknya terhadap pemerintahan Jokowi di Indonesia? Bukan tidak mungkin, hilangnya ASEAN justru akan mengancam kepentingan-kepentingan pemerintahan Jokowi.

Pemerintah Indonesia sejauh ini masih bergantung terhadap ASEAN dalam menghadapi tensi politik antara AS dan Tiongkok – dengan cara dan strategi lempar tangan (buck-passing) terhadap organisasi kawasan tersebut. Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi juga berkali-kali menekankan pada sentralitas ASEAN – di mana berbagai persoalan geopolitik diharuskan diselesaikan melalui cara-cara ASEAN seperti krisis politik Myanmar.

Pasalnya, jika ASEAN tidak ada, Tiongkok dan AS bukan tidak mungkin akan lebih menggunakan pendekatan bilateral terhadap negara-negara Asia Tenggara – menjadikan negara-negara ini sebagai proxy terhadap rivalitas mereka. Semakin banyak kepentingan yang bersinggungan di antara negara-negara Asia Tenggara, semakin memungkinkan juga perang bersenjata meletus di kawasan ini.

Dengan instabilitas yang tercipta, bisa saja ketidakpastian turut menyertai – membuat kepentingan perdagangan, ekonomi, dan pembangunan negara-negara Asia Tenggara semakin terancam, termasuk kepentingan Indonesia. Seperti yang telah diketahui, ekonomi dan pembangunan merupakan kepentingan Jokowi, seperti dengan membangun infrastruktur dan mengundang investasi luar negeri.

Bila gambaran kemungkinan ini yang ada di depan mata bila ASEAN hancur, bukan tidak mungkin pemerintah Indonesia harus mempertimbangkan ulang dan segera menjembatani perbedaan mindset di ASEAN ini. Bila ASEAN bubar, justru negara-negara kawasan ini sendiri yang bakal merugi di tengah terpaan kepentingan AS dan Tiongkok.

Pada ujungnya, seperti yang dialami Aris dan Kinan di Layangan Putus, Indonesia – bersama negara-negara ASEAN lainnya – harus menimbang-nimbang kembali atas konsekuensi ke depannya. Akankah keretakan di jalinan ikatan ASEAN ini berujung pada perpecahan atau justru menjadi simpul hiasan yang membangun kohesi kawasan ini? (A43)

Baca Juga: ASEAN, Korban Pertama Hegemoni Tiongkok?


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Prabowo vs Kemlu: Warrior vs Diplomat?

Perbedaan pendapat dalam politik luar negeri tampaknya sedang terjadi antara Prabowo dan diplomat-diplomat Kemlu. Mengapa demikian?