Menariknya, meskipun berbagai epidemiolog telah memprediksi lonjakan kasus Covid-19, Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan justru menyebutkan pemerintah tidak memprediksi lonjakan kasus yang terjadi saat ini. Apakah ini menunjukkan pemerintah tidak mendengar epidemiolog?
“I think the biggest danger is not the virus itself. Humanity has all the scientific knowledge and technological tools to overcome the virus.” – Yuval Noah Harari, dalam The biggest danger is not the virus itself
Pada 24 Maret 2020, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan mengeluarkan pernyataan menarik. Merespons kritik berbagai pihak yang menilai pemerintah tidak siap menghadapi pandemi Covid-19, Luhut justru menegaskan bahwa pemerintah memang tidak siap.
“Pertanyaan saya, negara mana sih yang siap? Kan tidak ada yang siap. Jadi, kalau ada pengamat bilang kita enggak siap, ya memang enggak pernah ada yang duga kita akan seperti ini,” begitu tegasnya.
Penekanan Luhut ini sama dengan penuturan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI) Rhenald Kasali di podcast Deddy Corbuzier pada Mei 2020. Menurutnya, pandemi Covid-19 adalah apa yang disebut sebagai black swan atau angsa hitam.
Black swan adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan peristiwa tidak terduga, memiliki efek yang besar, dan benar-benar luput dari prediksi. Istilah ini dipopulerkan oleh Nassim Nicholas Taleb dalam bukunya yang berjudul The Black Swan: The Impact of the Highly Improbable.
Metafora ini bertolak dari penemuan mengejutkan angsa hitam pada abad ke-18 di Australia. Ini mengejutkan karena selama ini angsa diyakini mestilah berwarna putih.
Taleb mencontohkan krisis keuangan 2008 sebagai black swan. Krisis tersebut benar-benar berdampak besar dan seolah luput dari prediksi berbagai pihak, termasuk para ahli ekonomi. Persoalan ini juga ditegaskan oleh Justin Yifu Lin dan Volker Treichel dalam tulisannya The Unexpected Global Financial Crisis: Researching Its Root Cause.
Baca Juga: Sejauh Mana Ancaman Luhut?
Namun, tidak seperti sangkaan Rhenald Kasali ataupun Luhut, pandemi Covid-19 bukanlah black swan atau peristiwa yang tidak dapat diprediksi. Pada 31 Maret 2020, Taleb sendiri telah menegaskan hal ini. Tegasnya, pandemi Covid-19 bukanlah black swan, melainkan bentuk dari kerapuhan sistem global.
Taleb mencontohkan pada bulan Januari ketika Covid-19 masih terfokus di Tiongkok, berbagai pihak justru tidak melakukan langkah pencegahan. Ini jelas terjadi di Indonesia. Alih-alih mendengar saran untuk menutup gerbang internasional, pemerintah justru mendorong laju pariwisata.
Lantas, apa yang dapat dimaknai dari pernyataan Luhut ini?
Tidak Mendengar Epidemiolog?
Pada 13 April 2020, peneliti senior Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Evan A. Laksmana dalam tulisannya Why the Covid-19 Pandemic was a ‘Strategic Surprise’ for Indonesia juga membantah sangkaan berbagai pihak yang menyebut pandemi Covid-19 merupakan black swan.
Menurut Evan, para ilmuwan, ahli epidemiologi, dan pakar kesehatan global telah memperingatkan tentang pandemi selama bertahun-tahun. Ini bertolak dari berbagai bencana kesehatan yang telah terjadi sebelumnya, seperti Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) dan Ebola.
Tegasnya, dengan adanya bencana kesehatan yang terus terjadi dalam sejarah manusia, sudah seharusnya berbagai pihak menyadari bahwa bencana kesehatan baru mestilah akan terjadi di masa depan.
Oleh karenanya, alih-alih menyebut Covid-19 sebagai black swan, Evan lebih setuju menyebut Covid-19 sebagai strategic surprise. Berbeda dengan angsa hitam yang tidak dapat diprediksi, strategic surprise adalah peristiwa yang dapat diprediksi, tetapi terjadi karena kurangnya persiapan.
Penjelasan Evan ini terlihat jelas dari apa yang dilakukan oleh Singapura. Ray Junhao Lin, Tau Hong Lee, dan David CB Lye dalam tulisannya From SARS to COVID‐19: the Singapore journey menjelaskan, bertolak dari pengalaman menangani pandemi SARS pada 2003, Singapura kemudian memperbaiki dan meningkatkan sistem perawatan kesehatannya untuk bersiap menghadapi pandemi selanjutnya di masa depan.
Lebih menariknya lagi, langkah preventif tersebut dilakukan meskipun SARS hanya menginfeksi 238 penduduk dan mengakibatkan 33 kematian.
Baca Juga: Luhut Akui Kesalahan Pemerintah?
Suka atau tidak, pernyataan Luhut yang menyebut pemerintah memang tidak siap menghadapi pandemi adalah penegasan bahwa pemerintah tidak memiliki langkah preventif yang baik. Seperti penegasan Taleb, bukankah di akhir 2019 dan awal 2020, dunia telah melihat bagaimana berbahayanya Covid-19 di Tiongkok?
Pernyataan Luhut dalam menyikapi lonjakan kasus Covid-19 akhir-akhir ini juga mempertegas hal ini. “Karena jujur, kita juga tidak pernah memprediksi setelah Juni tahun ini, keadaan ini, terjadi lonjakan lagi,” begitu tegasnya pada 2 Juli.
Merespons pernyataan tersebut, epidemiolog UI Pandu Riono membalas singkat melalui Twitter pribadinya. “Jujur ya Pak, saya pernah sampaikan lho,” ujarnya.
Pada 15 Juni, epidemiolog Griffith University Dicky Budiman juga telah menegaskan bahwa akhir Juni memang merupakan puncak kasus Covid-19. Tegasnya, hal ini telah disampaikan sejak Januari bahwa enam bulan ke depan adalah masa kritis.
Sekali lagi, suka atau tidak, pernyataan Pandu Riono dan Dicky Budiman tampaknya semakin mengafirmasi dugaan berbagai pihak selama ini bahwa pemerintah tidak begitu mendengar suara para epidemiolog dalam upaya penanganan pandemi.
Tarikan Persepsi?
Seperti yang kerap ditegaskan oleh Pandu Riono, tampaknya persoalan ini tidak hanya soal kurang didengarnya para epidemiolog, melainkan juga soal tarikan kepentingan ekonomi. Ia misalnya menyoroti Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC-PEN) yang diketuai oleh Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto.
Sekiranya mudah bagi kita untuk merasionalisasi, KPC-PEN yang dipimpin oleh Menko Perekonomian tentu menitikberatkan penanganan pandemi pada persoalan ekonomi daripada kesehatan. Ini dapat dijelaskan melalui konsep epistemologi yang disebut dengan problem of perception.
Epistemologi sendiri adalah bidang dalam filsafat yang mengkaji mengenai mengapa manusia dapat membentuk pengetahuan, bagaimana konstruksinya, apa beliefs atau kepercayaan yang melandasinya, dan bagaimana menjustifikasi pengetahuan tersebut.
Problem of perception adalah masalah terjadinya benturan klaim atas realitas karena tiap individu memiliki persepsi yang berbeda terhadap realitas. Ini sangat bergantung atas pengalaman, bacaan, dan kepercayaan.
Bagi pakar kesehatan, mestilah melihat pandemi Covid-19 sebagai bencana kesehatan. Sementara para pelaku ekonomi mestilah melihat pandemi sebagai bencana ekonomi. Pun begitu dengan politisi yang melihatnya sebagai bencana politik, dan militer yang melihatnya sebagai bencana keamanan.
Untuk menyikapi problem of perception ini, penegasan Carlo Rovelli dalam tulisannya Politics should listen to science, not hide behind it penting untuk diperhatikan. Tegasnya, dalam menghadapi pandemi, pemerintah harus menjadikan para pakar kesehatan, seperti epidemiolog sebagai panglima.
Rovelli mencontohkan keberhasilan Taiwan dalam menangani pandemi Covid-19 di bawah kepemimpinan mantan Wakil Presiden Chen Chien-jen yang merupakan seorang ahli epidemiologi.
Baca Juga: Luhut, Panglima “Perang” Covid-19?
Hal serupa juga ditegaskan Yuval Noah Harari dalam tulisannya The biggest danger is not the virus itself. Menurutnya, pandemi Covid-19 adalah kesempatan bagi dunia, khususnya politisi untuk lebih mendengar sains setelah kerap mendiskreditkannya selama ini.
Seperti kutipan pernyataan Harari di awal tulisan. Bahaya terbesar bukanlah Covid-19 karena umat manusia memiliki semua pengetahuan ilmiah dan teknologi untuk mengatasinya. Masalah terbesarnya adalah sikap tak acuh terhadap sains dan sulitnya terbentuk solidaritas.
Selaku sosok yang mengomando PPKM Darurat, kita patut berharap agar Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan lebih mendengar para epidemiolog daripada tarikan-tarikan persepsi lainnya. Semoga. (R53)