Tidak sedikit kebijakan pemerintahan Jokowi yang menjadi tanda tanya publik, khususnya dari pengamat. Mulai dari Omnibus Law, reshuffle periode kedua yang baru satu kali, hingga kedekatan dengan Tiongkok. Apakah di periode keduanya Presiden Jokowi tak lagi begitu memperhitungkan sentimen publik dalam mengambil kebijakan?
“Don’t look for meaning in the words. Listen to the silences.” – Samuel Beckett, novelis Irlandia
Ada fenomena menarik dari pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) di periode keduanya. Tidak seperti di periode pertama, saat ini mantan Wali Kota Solo itu dinilai kurang begitu populis. Bayangkan saja, bahkan sebelum resmi dilantik untuk periode kedua, kebijakan kontroversial seperti revisi Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) benar-benar mengejutkan publik. Saat itu, kita semua melihat bagaimana riuhnya massa turun ke jalan untuk menolak revisi.
Kemudian saat ini ada Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja, undang-undang sapu jagat yang telah menuai kritik dan penolakan sejak awal pengusulan wacananya. Di tengah gelombang demi gelombang demonstrasi, Presiden Jokowi nyatanya tetap kukuh untuk mendorong produk hukum tersebut. Sekali lagi, sifat populis sang Presiden memunculkan tanda tanya berbagai pihak.
Bukan tanpa alasan kuat, pada awal keterpilihannya pada 2014 lalu, majalah Time sampai memberi julukan A New Hope. Untuk pertama kalinya, Indonesia dipimpin oleh Presiden yang bukan dari kalangan elite partai dan bukan berlatar militer.
Poin ini juga menjadi jantung kritik dari pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Wasisto Raharjo Jati. Menurutnya, berbeda dengan periode pertamanya, saat ini Presiden Jokowi cenderung mengambil kebijakan-kebijakan non-populis.
Tidak hanya dari pengamat dalam negeri, perubahan gestur politik RI-1 juga menjadi perhatian pengamat luar negeri. Kate Lamb dalam tulisannya Joko Widodo: how ‘Indonesia’s Obama’ failed to live up to the hype di The Guardian, misalnya, menilai Presiden Jokowi telah gagal memenuhi ekspektasi sebagai Obama-nya Indonesia. Sosok yang dikenal merakyat dan sederhana ini justru semakin terlihat dekat dengan elite dan menelurkan kebijakan-kebijakan kontroversial, khususnya terkait demokrasi.
Lantas, apa yang melatarbelakangi perubahan ini?
Seorang Konsekuensialis?
Untuk menjawabnya, variabel kuncinya ada pada pidato pelantikan Presiden Jokowi untuk periode kedua pada 20 Oktober 2019. Saat itu, RI-1 mengeluarkan poin penting yang tampaknya menggambarkan keyakinan filosofisnya, yakni lebih mengutamakan hasil daripada proses.
“Jangan lagi kerja kita berorientasi proses, tapi harus berorientasi pada hasil-hasil yang nyata”. Tidak hanya sekali, Presiden Jokowi kembali menegaskan, “Sekali lagi, yang utama itu bukan prosesnya, yang utama itu hasilnya”.
Dalam kacamata filsafat, penegasan tersebut dengan jelas menunjukkan isme yang disebut dengan utilitarianisme atau konsekuensialisme. Ini merupakan pandangan etis yang menegaskan moralitas atau baik buruk ditentukan oleh konsekuensi tindakan, bukan niat tindakan. Isme ini merupakan kontras dari deontologis yang dipopulerkan oleh Immanuel Kant.
Filsuf Jeremy Bentham yang merupakan pionir utilitarianisme mengungkapkan bahwa isme ini merupakan landasan dari kebijakan publik. Dari asal katanya “utilitas” atau daya guna, utilitarianisme melihat kebijakan publik harus memikirkan keputusan yang memberi kebaikan bagi banyak. Konteks ini membuat pemangku kebijakan publik memiliki landasan moral untuk menentukan kebijakannya telah baik atau bermoral. Cukup dikalkulasi sejauh mana asas kebermanfaatannya bagi orang banyak.
Utilitarianisme sendiri memiliki diktum, greatest “good” for the greatest “number” – kebaikan terbesar adalah untuk jumlah terbesar. Artinya, kebaikan (good) yang lebih baik adalah yang lebih memberi manfaat bagi banyak orang.
Tidak hanya saat pidato pelantikan periode kedua, pada Desember 2015, Presiden Jokowi juga menunjukkan kecondongannya sebagai seorang konsekuensialis. Di hadapan para menteri ketika rapat kerja di Istana Bogor, RI-1 menegaskan bahwa orientasi pada prosedur harus diubah menjadi orientasi pada hasil.
Kesimpulan Presiden Jokowi merupakan seorang konsekuensialis juga diungkapkan oleh Dosen Senior Filsafat dan Etika Universitas Utara Malaysia Ahmad Sahidah dalam tulisan opininya di Koran Sindo pada 20 April 2016. Di sana, Sahidah mengkritik kebijakan pembangunan Indonesia yang disebutnya menerapkan prinsip utilitarian.
Pertanyaannya, jika sedari awal Presiden Jokowi merupakan seorang konsekuensialis, mengapa baru di akhir periode pertama tendensi itu jelas terlihat?
Jawabannya sederhana, yakni beban politik. Jika kebijakan-kebijakan berani ditelurkan secara tegas sejak periode pertama, di mana itu sering kali kontras dengan sentimen publik, ada kemungkinan Presiden Jokowi gagal terpilih di periode kedua.
Nah, karena sudah terpilih kembali, Presiden Jokowi tidak memiliki beban untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan berani yang tidak populis, seperti Omnibus Law.
Khas Kerajaan di Istana?
Jika benar Presiden Jokowi seorang konsekuensialis atau menitikberatkan pada hasil, ini memiliki implikasi yang sangat menarik. Pasalnya, melihat pola pemimpin-pemimpin konsekuensialis dunia, umumnya memiliki tendensi otoriter atau kurang mendengar sentimen publik.
Konteks itu jelas terlihat pada pengesahan revisi UU KPK dan Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. Kendati mendapat berbagai penolakan, mulai dari masyarakat awam hingga para pakar, pengesahan nyatanya tetap dilakukan.
Nah sekarang pertanyaan pentingnya adalah, jika benar Presiden Jokowi kurang begitu mendengar sentimen publik, lantas siapa yang didengarnya?
Terkait ini, kita dapat menarik pola menarik dari cara raja-raja kuno dalam mempertahankan kekuasaannya. Untuk menghindari mendapat bisikan yang berakibat fatal, raja umumnya memiliki rasa curiga yang tinggi. Ini kemudian membuat raja hanya mendengar orang-orang tertentu yang disebut penasihat kerajaan.
Menariknya, penasihat kerajaan memiliki syarat-syarat khusus, yakni tidak hanya harus cerdas, melainkan juga potensinya melakukan kudeta harus sekecil mungkin. Di Tiongkok kuno, penasihat yang disebut Kasim diwajibkan untuk dikebiri agar mereka tidak memiliki potensi menurunkan kekuasaan kepada anak keturunannya.
Mengutip National Geographic, penggunaan Kasim dimulai di Sumeria sejak abad ke-21 SM, kemudian makin meluas hingga ke Tiongkok, terutama di Kota Terlarang. Saat itu, pengebirian yang awalnya merupakan salah satu hukuman kemudian menjadi syarat untuk menjadi Kasim.
Uniknya, di zaman pemerintahan modern, berbagai petinggi negara, baik Presiden maupun Perdana Menteri juga memiliki Kasim. Konteksnya tentu tidak seperti di Tiongkok kuno dulu, melainkan orang-orang cerdas yang dipercaya, serta tidak berpotensi untuk menggeser kekuasaan mereka.
Jika Presiden Jokowi juga menerapkan hal serupa, maka ada dua kriteria siapa sosok yang dapat disebut Kasim sang RI-1, yakni mereka haruslah cerdas dan tidak menunjukkan hasrat kekuasaan yang besar.
Sedikit berspekulasi, dua kriteria tersebut dapat kita lihat pada diri Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno. Selaku Profesor bidang Ilmu Politik di Departemen Politik dan Pemerintahan Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM), Pratikno jelas merupakan sosok cerdas. Kemudian, tidak seperti lingkar satu Istana lainnya yang terlihat ingin menonjolkan diri, Pratikno terlihat lebih calm dan hanya berbicara sesuai tupoksinya.
Selain itu, Pratikno dan Presiden Jokowi juga sama-sama alumni UGM. Menurut berbagai pihak, saat ini Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (Kagama) juga tengah menguat di lingkar kekuasaan. Di periode kedua sendiri, ada sembilan menteri dari UGM. Namun kini jumlahnya menjadi delapan karena Terawan Agus Putranto terkena reshuffle pada Desember 2020.
Tentunya, Kasim bukan hanya seorang, terdapat beberapa sosok yang menjadi kepercayaan Presiden. Jika dua kriteria tersebut valid, pembaca dapat membuat interpretasi sendiri. Caranya cukup melihat orang-orang lingkar satu Presiden yang memenuhi kriteria cerdas dan tidak menunjukkan ambisi kuasa yang besar.
Well, sebagai penutup, artikel ini pada akhirnya hanyalah analisis teoretis semata. Faktor apa yang membuat Presiden Jokowi menjadi kurang populis di periode keduanya hanya diketahui oleh pihak-pihak terkait. Harapan kita, seperti dalam diktum utilitarianisme, semoga kebijakan yang ditelurkan Presiden Jokowi memberi kebaikan bagi orang banyak. (R53)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.