HomeNalar PolitikSiapa Untung Di Balik Proporsional Tertutup?

Siapa Untung Di Balik Proporsional Tertutup?

Perdebatan mengenai penggunaan sistem proporsional tertutup kembali meruncing. Hal ini diperkuat dengan dugaan kebocoran pergantian sistem pemilihan umum oleh Mahkamah Konstitusi. Apabila proporsional tertutup resmi disahkan, siapakah yang diuntungkan nantinya?


PinterPolitik.com

“Sound strategy starts with having the right goal.” – Ross Buehler Falk

Perbincangan terkait perlunya menggunakan sistem proporsional tertutup masih belum usai. Terhitung sejak PDIP mengusulkan penggunaan sistem ini untuk pemilhan legislatif (pileg) beberapa waktu lalu, kini perbincangan ini kembali mencuat dengan kabar bocornya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mengubah sistem pemilu dari proporsional terbuka ke proporsional tertutup pada Pemilu 2024 mendatang.

Kabar ini didengungkan oleh eks Wamenkumham Denny Indrayana. Denny menyebut bahwa MK akan mengesahkan penggunaan proporsional tertutup untuk Pemilu 2024. Pengesahan ini diduga menjadi jawaban atas judicial review terhadap UU Nomor 7 Tahun 2017 yang menggugat proporsional terbuka. Perubahan tersebut diklaim hanya diterapkan pada pemilihan legislatif, sedangkan untuk presiden hingga kepala daerah tetap menggunakan proporsional terbuka.

Kabar ini langsung memicu respons “panas” dari berbagai pihak. Menteri Menko Polhukam Mahfud MD langsung meminta MK dan kepolisian untuk mengusut dugaan tersebut. Di lain pihak, politisi Partai Demokrat Benny K. Harman mendukung langkah Denny untuk membuka kebenaran di balik kebocoran informasi tersebut. Perbedaan ini menjadi bukti bagaimana perubahan sistem pemilu akan memicu polemik ke depannya.

Hal ini memunculkan pertanyaan, keunggulan apa yang ditawarkan oleh proporsional tertutup ketika benar-benar diterapkan dalam pemilihan legislatif 2024 mendatang?

hayo lolos nggak tuh

Yang Ditawarkan Proporsional Tertutup

Sistem proporsional termasuk sistem pemilu yang paling banyak digunakan. Dikutip dari Handbook of Electoral System dari International Democracy and Electoral Assistance (IDEA) tahun 2005, terdapat tiga sistem pemilu yang jamak digunakan di berbagai negara, yaitu sistem proporsional, sistem pluralitas, dan sistem campuran. Akan tetapi, dalam hal implementasi, sistem proporsional menempati posisi teratas bila dibandingkan dengan sistem lainnya.

Hal ini dikarenakan sistem proporsional memiliki keunggulan dalam mewujudkan perwakilan yang demokratis. Ramlan Surbakti dalam bukunya Sistem Proporsional menyebutkan bahwa sistem proporsional menghitung suara pemilih berdasarkan keseimbangan antara jumlah wakil rakyat dengan konstituen yang diwakilinya. Melalui format penghitungan tersebut, maka perwakilan legislatif akan lebih berimbang ketika sistem ini diterapkan

Baca juga :  Jokowi Wrapped 2024

Tidak hanya perwakilan yang berimbang, sistem proporsional mampu memberikan keadilan karena perhitungannya didasarkan pada jumlah wakil rakyat dalam satu daerah pemilihan. Alhasil, jika satu dapil diisi oleh sepuluh perwakilan, maka suara rakyat akan dapat didistribusikan secara lebih merata oleh wakil-wakilnya di lembaga legislatif. Selain itu, setiap suara yang tidak dikonversi akan dibagi secara merata, sehingga tidak ada suara yang terbuang.

Pada konteks Indonesia, sistem proporsional berbasis daftar (party-list proportional representation) sudah digunakan sejak Orde Baru. Kendati demikian, sistem yang digunakan kala itu ialah proporsional tertutup. Hal ini terlihat dari konfigurasi surat suara Pemilu 1997 yang hanya menunjukkan logo partai alih-alih daftar calon. Sistem ini baru berhenti ketika MK memberlakukan proporsional terbuka untuk Pileg 2004 sampai dengan Pemilu Serentak 2019.

Pada satu sisi, proporsional tertutup memiliki kelebihan dibandingkan terbuka. Nizar Kherid dalam bukunya Evaluasi Sistem Pemilu di Indonesia 1955-2019 menyebutkan bahwa sistem ini akan memperkuat kaderisasi internal oleh partai. Calon yang dihasilkan dari seleksi internal ini diharapkan adalah calon yang berkualitas. Alhasil, publik dapat meminta penrtanggungjawaban partai politik ketika kader-kadernya gagal menjalankan amanat publik.

Tidak hanya masalah akuntabilitas, sistem ini dapat menekan biaya logistik yang terlampau mahal dikarenakan partai memegang kendali penuh terhadap seleksi kadernya. Proporsional terbuka membuat “politik uang” kian liar karena sengitnya persaingan antar kader.

Persaingan ini membuat ongkos politik semakin mahal hanya untuk mendapatkan kursi. Oleh karenanya, proporsional tertutup dapat mengalihkan ongkos politik kepada partai untuk seleksi kader.

Di atas kertas, proporsional tertutup memiliki keunggulan yang dapat mengoreksi kelemahan sistem proporsional terbuka. Proporsional tertutup menawarkan dua hal untuk demokratisasi pemilu, yaitu akuntabilitas partai dan menekan politik uang. Namun demikian, pertanyaan yang paling penting adalah, siapa yang diuntungkan dari sistem ini?

Print

Siapa Untung?

Pada artikel PinterPolitik sebelumnya yang berjudul Ini Siasat PDIP Kunci Pileg 2024?, telah disebutkan bahwa PDIP menjadi satu-satunya partai yang mengusulkan penggunaan proporsional tertutup. Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto menyebut usulan ini murni ditujukan untuk meminimalisir maraknya politik uang dan praktek klientelisme yang marak terjadi dalam pemilu.

Baca juga :  Prabowo dan Hegemoni Rasa Takut

Akan tetapi, usulan tersebut ditentang hampir semua fraksi di DPR. Mereka beranggapan bahwa sistem ini akan memaksa pemilih untuk “memilih kucing dalam karung”. Itu artinya pemilih tidak bisa memilih calon yang sekiranya memiliki kredibilitas yang baik di mata pemilih. Selain itu, sistem ini juga akan memperkuat dominasi partai dalam mengusung calon. Alhasil, pemilih “seolah” tidak berdaulat dalam memilih wakilnya di parlemen.

Melalui perdebatan di atas, dapat diketahui bahwasanya kita bisa menebak siapa yang paling diuntungkan ketika proporsional tertutup berhasil disahkan. Jawabannya tertuju pada partai besar. Proporsional tertutup di satu sisi mampu mengurangi beban penyelenggara pemilu karena dua alasan, yaitu penekanan biaya logistik dan kemudahan dalam penghitungan suara. Penyederhaan surat suara menjadi kunci di balik keunggulan yang didapatkan dari sistem ini.

Akan tetapi, sistem ini jelas menguntungkan partai besar jika dihadapkan pada pilihan publik. Hal ini merujuk pada availability bias, di mana publik condong memilih partai yang paling dikenalnya.

Jika pemilu ke depan hanya menyajikan logo partai saat pemungutan suara, maka publik akan memilih partai yang paling diingatnya. Ini menjawab mengapa di survei-survei elektabilitas partai, tiga teratas selalu diisi oleh partai besar seperti PDIP, Golkar, dan Gerindra.

Kuantitas kader serta atribusi sosial menjadi faktor utama di balik populernya ketiga partai tersebut. Akibatnya, ketiga partai akan mendapatkan “buah manis” dari masyarakat jika proporsional tertutup diterapkan.

PDIP berpotensi menjadi pihak yang paling diuntungkan dari sistem ini. Selain karena paling populer, kekompakan kader mereka dapat memberikan “kesan” kuat bahwa mereka layak memimpin. Alhasil, PDIP akan lebih unggul dibandingkan sekarang. 

Selain itu, sistem ini juga tidak berpihak pada partai medioker. Banyak lembaga survei memprediksi bahwa partai medioker tidak berpeluang lolos ke parlemen. Alasannya ialah mereka dianggap “asing” dan tidak populer.

Well, sebagai penutup, tidak bisa dipungkiri bahwa proporsional tertutup lebih condong kepada partai-partai mapan. (D90)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Reshuffle Jokowi Menguntungkan Prabowo?

Pergantian (reshuffle) kabinet telah dilakukan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Beberapa nama seperti Budi Arie Setiadi, Nezar Patria, hingga Djan Faridz resmi menduduki posisi kabinet....

Golkar Sedang “Didesak” Mempercepat Langkah?

Beredar kabar Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar akan diselenggarakan. Agenda itudigaungkan dan bertujuan menggantikan Airlangga Hartarto dari posisinya sebagai Ketua Umum (Ketum)...

Gamal Mustahil Kalahkan Kaesang?

Kaesang Pangarep disebut-sebut siap untuk menjadi Wali Kota Depok selanjutnya. Menghadapi langkah Kaesang yang tampak “cukup berani” ini, PKS menyiapkan tiga nama untuk menghadapi...