Bila ada yang kesal dan kecewa dengan Pemerintah saat ini, menurut Budayawan Eros Djarot bukanlah salah Jokowi, namun salah rakyat yang memilihnya. Mengapa?
PinterPolitik.com
“Para pemimpin harus cukup dekat dengan pengikutnya, tapi juga harus lebih sukses agar dapat memotivasi.” ~ John C. Maxwell
[dropcap]D[/dropcap]ikisahkan dalam perebutan kekuasaan di Kerajaan Pewayangan Amarta, Petruk yang mendapatkan titipan pusaka Jamus Kalimusada dari Dewi Musakaweni ternyata berhasil merebut kursi kerajaan. Sebagai salah satu punakawan, Petruk dielu-elukan karena dianggap dekat dan berasal dari rakyat.
Namun Petruk yang kini memiliki gelar Prabu Belgeduwelbeh Tongtongsot, lambat laun berubah menjadi sosok yang sifatnya snob atau sombong. Ibarat kere munggah bale atau gelandangan yang mendadak kaya, Petruk mulai melupakan kesulitan rakyatnya dan bersikap mumpungisme. Akibatnya, rakyat pun mulai gerah dengan kelakuannya.
Begitulah kira-kira adaptasi cerita singkat dari “Petruk Jadi Raja”, salah satu tulisan Seno Gumira Ajidarma di dalam buku “Jokowi, Sangkuni, Machiavelli”. Walau Petruk di atas bukan digambarkan sebagai Jokowi – meski sama-sama berperawakan kurus dan tinggi, namun di kehidupan nyata sebagian rakyat juga mulai menyuarakan kekecewaannya.
Menolak Lupa Janji Manis Kampanye Jokowi Di Pilpres 2014 Yang Lalu.
Janji janjinya ditepati dulu, baru maju di Pilpres 2019 pak.
Kalau memang tidak bisa angkat bendera ?? biar kami siapkan untuk #2019GantiPresiden pic.twitter.com/QNpmrFD91b
— BP™ (@BangPino_) April 22, 2018
Di acara tersebut, advokat sekaligus pendiri Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Nusantara, Effendi Saman mengaku pihaknya memang sengaja menginisiasi adanya gerakan #2019GantiPresiden tersebut, karena ia merasa Jokowi tak mampu mewujudkan janji-janji kampanye saat Pilpres tahun 2014 lalu.
Sementara sebagai pembicara, Budayawan Eros Djarot menanggapinya dengan mengatakan kalau rakyat terlalu berharap pada Jokowi. Menurutnya, di Pilpres 2014 lalu, Jokowi memang terlalu cepat menjabat sebagai presiden. Sehingga rakyat seharusnya membantu Jokowi, sebab rakyat juga ikut bersalah karena telah memilihnya.
Modal Kekuatan Rakyat
“Para pemimpin tidak dilahirkan, tapi dibentuk. Dan seperti juga lainnya, dengan kerja keras. Itulah harga yang harus kita bayar untuk mencapai kesuksesan, atau tujuan lainnya.” ~ Vince Lombardi
Sebelum Bolivia mengalami Revolusi Nasional pada 1952, tak ada yang mengira kalau suatu hari negara tersebut akan dipimpin oleh pribumi keturunan Indian Aymara, Juan Evo Morales. Dulu, warga pribumi seperti dirinya tidak akan diizinkan untuk berkeliaran di Plaza Murillo dan depan istana presiden, karena dianggap kotor serta menjijikkan.
Morales dilahirkan pada 1959 dan tidak memiliki pendidikan tinggi untuk duduk di istana presiden. Namun anak ketujuh dari peternak Llama ini, mampu memerintah dari tahun 2006 hingga kini. Dalam setiap pemilihan umum, Morales selalu menang telak karena begitu dicintai rakyatnya, bahkan juga oleh para oposisinya.
Keberhasilan Morales merupakan bukti dari pernyataan Lombardi di atas, yaitu pemimpin tidak dilahirkan, tapi dibuat. Dengan versi berbeda, nasib baik Morales juga diraih Jokowi. Sebagai anak yang tumbuh di bantaran sungai, Jokowi yang sebelumnya pengusaha mebel juga tak pernah bermimpi bisa duduk di istana sebagai presiden.
Seperti juga Morales, modal utama Jokowi hanyalah dukungan rakyat yang kerap disapanya saat blusukan. Posisinya sebagai kader PDI Perjuangan dan merupakan warga sipil biasa ini, bahkan dianggap sebagai presiden terlemah setelah Abdurrahman Wahid atau Gus Dur oleh Prof. Jeffrey Winters dari Northwestern University.
Seperti yang diakui Eros, Jeffrey juga melihat langkah Jokowi menjadi presiden terlalu cepat sehingga di awal pemerintahannya banyak mendapatkan sandungan dari parpol penentangnya. Namun setelah 3,5 tahun, kelemahan Jokowi ini ternyata berhasil ditutup setelah mampu menegaskan kekuasaannya di peta perpolitikan tanah air.
Kemampuan Jokowi yang mampu merengkuh dua pertiga kursi parlemen dan menarik sejumlah parpol untuk berbalik mendukungnya ini, bahkan telah diakui Bloomberg Internasional sebagai kecerdasan politik karena mampu memadukan pembagian tugas pada mesin birokrasi di berbagai tingkatan (patronage).
Perubahan dari lemah menjadi kuat ini, menurut James Owen – berdasarkan teori perilaku kepemimpinan, sangat memungkinkan karena sifatnya yang tidak dilahirkan, tapi dibentuk. Bagi penulis buku The Leadership Game ini, pemimpin tipe perilaku akan selalu mampu melatih dirinya agar dapat menjalankan pemerintahan yang efektif.
Di sisi lain, melalui model kepemimpinan Jokowi yang menganut sistem servant leadership atau pemimpin merupakan pelayan rakyat, membantunya mendapatkan kekuatan dukungan dari rakyat. Teori yang ditemukan oleh Robert K. Greenleaf ini, juga mengakibatkan dirinya cenderung berorientasi pada hasil kerja.
Dukungan Rakyat Turun?
“Untuk melakukan hal yang luar biasa memang sulit; tapi untuk mendelegasikan hal yang luar biasa lebih sulit lagi.” ~ Friedrich Nietzsche
Mendelegasikan tugas memang bukan pekerjaan gampang, setidaknya itu menurut Nietzsche, terutama apabila orang yang ditugaskan ternyata tidak mampu menjalankan tugas luar biasa yang diembankan padanya. Tentu efeknya akan berdampak pada citra dan kemampuan dari sang pemimpin. Begitulah yang terjadi pada Jokowi.
Walau Pemerintahan Jokowi berorientasi pada hasil, melalui jargon terkenalnya “kerja, kerja, kerja”, namun mau tak mau efektivitas kinerjanya juga sangat bergantung dari berbagai variabel. Misalnya saja, pada kinerja kementerian perekonomian yang banyak disorot sebagai titik kelemahan pemerintahan Jokowi.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Robert F. Bales dari Harvard University, pemimpin tipe ini memang senang melakukan pembagian kekuasaan (shared leadership) dalam membuat keputusan. Mengapa begitu? Menurut Bales, pembagian diperlukan karena tipe ini umumnya cenderung fokus pada satu tujuan dengan mengorbankan tujuan lain.
Faktanya, pemerintahan Jokowi dikenal sangat giat membangun infrastruktur fisik. Fokus pencapaiannya ini, pada akhirnya membuat banyak sektor menjadi “terlupakan”. Ambisi membangun infrastrukturnya ini, tak hanya membuat sektor lain menjadi pincang tapi juga “menakutkan” karena membuat utang negara terlihat membengkak.
Dampak dari kepincangan inilah yang kemudian memunculkan kekecewaan dan ketidakpuasan masyarakat atas kebijakan pemerintah. Walau Jokowi membangun infrastruktur sebagai bukti pelayanannya pada masyarakat, namun di sisi lain ada juga masyarakat – baik di tingkat bawah, maupun pengusaha yang merasa diberatkan.
Sebagai salah satu yang kecewa, wajar saja bila Effendi kemudian berupaya membuat gerakan untuk menampung warga lain yang juga kecewa pada pemerintah. Hanya saja, Eros mengingatkan, keinginan ganti presiden ini sebaiknya memang untuk mendapatkan pemimpin yang lebih baik, bukan hanya karena faktor tidak suka pada sosok Jokowi semata.
Menurut Eros, percuma saja bila nantinya pengganti Jokowi memiliki kualitas kepemimpinan yang sama, atau bahkan lebih buruk. Apalagi mengingat tingkat kepuasan masyarakat pada kinerja pemerintah saat ini terbilang cukup tinggi. Dari berbagai survei, baik Indo Barometer, CSIS, maupun Litbang Kompas, tingkat kepuasan masyarakat terhadap pemerintah mencapai 68,3 persen hingga 72,2 persen.
Bila dibandingkan dengan warga yang sepakat untuk ganti presiden, jumlahnya menurut survei Median hanya terpaut sedikit lebih unggul dari yang tidak setuju. Sementara Indo Barometer memperlihatkan, mayoritas responden malah tidak setuju ganti presiden. Oleh karena itu, pencipta lagu Badai Pasti Berlalu ini berharap, warga lebih cerdas dalam memilih presiden pada Pilpres 2019 nanti. (R24)