Pernyataan Jokowi yang menyebut proses legislasi masih banyak melibatkan ‘titipan sponsor’ menyiratkan kegetiran: mungkinkah hukum kita bisa sebegitunya dibeli?
Pinterpolitik.com
“Good legislation should bring clarity and not confusion.” – Bill Haslam, politisi Amerika Serikat
[dropcap]M[/dropcap]ungkin banyak yang masih mengira-ngira apa maksud Presiden Joko Widodo (Jokowi) ketika menyebut banyak Undang-Undang (UU) yang dihasilkan oleh DPR sebagai ‘titipan sponsor’. Pernyataan yang dikeluarkan pada acara rapat tahunan Bank Indonesia (BI) pada Selasa, 28 November 2017 lalu ini mengundang perdebatan serius. Sebegitu transaksional-kah proses legislasi di negara kita?
Selain itu, Jokowi juga menyebut bahwa selama ini DPR terlalu banyak menghasilkan Undang-Undang yang tidak efektif. Banyak dari Undang-Undang tersebut hanya menjadi pesanan sponsor dan ketika dilaksanakan, justru tumpang tindih antara satu dengan yang lain.
Hukum Ketiga Newton: ‘ada aksi, ada reaksi’. Pernyataan presiden ini kemudian mendatangkan tanggapan dari para pimpinan DPR. Para Wakil Ketua DPR RI membantah pernyataan tersebut.
Presiden @jokowi Sindir DPR. Jokowi: UU kita banyak yang pakai Sponsor, sehingga banyak titipan-titipan. Sangat benar itu Pak Presiden & salut yg bicaranya blak2an ?? #Jokowi2Periode @Fahrihamzah @fadlizon pic.twitter.com/NrhG89ddA9
— Rizma ? (@RizmaWidiono) November 29, 2017
Fadli Zon menyebut tidak ada ‘proyek-proyek-an’ dalam proses penggodokan UU di DPR. Koleganya, Fahri Hamzah bahkan menantang balik presiden dengan menyebut bahwa jika demikian, pemerintah sebaiknya tidak ikut campur lagi dalam proses pembuatan Undang-Undang di DPR.
Sementara Agus Hermanto menyebut pandangan tersebut keliru karena pemerintah justru juga terlibat dalam pembentukan Undang-Undang. Jika demikian, lalu, mengapa Jokowi tiba-tiba berbicara tentang ‘sponsor’ Undang-Undang? Siapa yang dimaksudkan sebagai ‘sponsor’, dan apakah itu negatif?
Pesanan Sponsor, Negatifkah?
Entah apa yang menjadi dasar Jokowi menyebut kata ‘sponsor’, yang jelas antara September hingga Oktober 2017 ini DPR memang tengah mengebut pengesahaan beberapa Undang-Undang. Tercatat ada 8 Rancangan Undang-Undang (RUU) yang disahkan dalam rentang waktu tidak sampai satu setengah bulan.
Sementara, antara Januari hingga September 2017, DPR baru menghasilkan 4 UU, di luar RUU Kumulatif. Tahun ini pun DPR dipercaya tidak akan mampu menyelesaikan 49 RUU yang menjadi target prolegnas. Terkait minimnya UU yang disahkan, DPR menyalahkan pemerintah yang dianggap tidak kooperatif dalam pembahasan RUU yang menjadi target prolegnas, sementara sebaliknya pemerintah juga menyalahkan DPR.
Keinginan Jokowi untuk menyederhanakan dan mengurangi jumlah UU memang sesuai dengan trend reformasi legislasi yang saat ini sedang terjadi di banyak negara. Saat ini memang kecenderungan mengupayakan penyederhanaan regulasi dengan prinsip: better regulation, less regulation, menjadi trade mark legislasi yang sehat. Selandia Baru merupakan salah satu negara yang sedang mengupayakan hal tersebut.
Terlepas dari urusan legislasi, dalam konteks rapat tahunan BI, bisa dipahami mungkin Jokowi menyampaikan pernyataan tersebut sebagai bagian dari upayanya untuk mendorong reformasi dalam sistem legislasi di Indonesia yang banyak mempersulit sektor ekonomi, misalnya dalam hal investasi. Namun, kata ‘sponsor’ adalah hal yang cukup jarang digunakan ketika membicarakan produk legislasi DPR.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ‘sponsor’ diartikan sebagai ‘orang atau perusahaan yang mengusahakan (memelopori, memprakarsai, mengusulkan, menyelenggarakan) suatu kegiatan tertentu’. Penggunaan kata ini umum dijumpai dalam acara-acara festival, musik atau sejenisnya. Sponsor bisa juga diartikan sebagai pihak yang membiayai.
Jika merujuk pada sistem legislasi di beberapa negara, istilah ‘sponsor’ dalam legislasi sesungguhnya bukanlah hal yang negatif. Di Amerika Serikat misalnya, ‘sponsor’ adalah sebutan untuk anggota Kongres (DPR-nya Amerika Serikat) atau Senat yang pertama kali mengajukan usul pembentukan Undang-Undang (bill) tertentu.
Bahkan, sponsor dianggap sebagai bagian penting dari penggalangan dukungan untuk pengesahan usulan Undang-Undang tertentu. Anggota kongres atau senat yang mendukung usulan sang sponsor disebut sebagai ‘cosponsor’.
Hal yang mirip juga dapat dijumpai dalam sistem legislasi di Filipina. ‘Sponsor’ dalam proses legislasi dianggap sebagai pihak yang menginisiasi pembahasan Undang-Undang tertentu.
Sementara, di Indonesia, istilah ‘sponsor’ memang telah sepenuhnya diartikan sebagai ‘yang membiayai’. Dalam konteks tertentu, kata ini bisa berkonotasi negatif, salah satunya jika digunakan dalam proses legislasi.
‘Undang-Undang yang disponsori’ bisa diartikan sebagai ‘Undang-Undang yang dibiayai’. Artinya ada pihak-pihak yang ikut ‘membiayai’ pembahasan dan pengesahan UU tersebut. Tentu saja maknanya menjadi sangat transaksional dan tidak dibenarkan. Mungkin ini yang dimaksud oleh grup musik Slank ketika menyebut DPR itu kerjanya bikin ‘UUD’ – ‘Ujung-Ujungnya Duit’.
Siapa Sponsornya?
Lalu, siapa sponsornya? Dalam konteks ini, tentu saja hanya Jokowi yang tahu pasti.
Yang jelas, pihak-pihak di dalam maupun di luar parlemen yang punya kepentingan atas Undang-Undang tertentu bisa menjadi sponsor. Jika ditelusuri dari proses legislasi itu sendiri, kepentingan bisa masuk lewat DPR, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), atau bahkan melalui presiden sendiri.
Dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, RUU dapat diusulkan oleh DPR (anggota DPR, komisi, gabungan komisi, atau alat kelengkapan DPR yang menangani bidang legislasi), DPD, dan presiden (yang disiapkan oleh menteri atau pimpinan lembaga pemerintah non-kementerian).
Artinya, lewat eksekutif pun ‘sponsor’ itu bisa mengalir. Apalagi, faktanya pemerintahan Jokowi sendiri punya kepentingan dalam beberapa Undang-Undang yang disahkan DPR. UU Pemilu, UU Ormas atau UU Tax Amnesty merupakan UU yang ‘disponsori’ oleh pemerintah sendiri. Kepentingan pemerintah dalam 3 UU ini sangat besar, sehingga banyak pihak menilainya sebagai ‘proyek politik’ pemerintah.
Saratnya kepentingan politik juga menyebabkan RUU yang justru penting dalam prolegnas tahun ini – misalnya RUU Anti Kekerasan Seksual, RUU Larangan Minuman Beralkohol, atau bahkan RUU Penyelenggaran Ibadah Haji dan Umroh yang tiap tahun terus mendatangkan masalah – tidak juga dibahas dan disahkan. Ujungnya, pemerintah menyalahkan DPR dan DPR menyalahkan pemerintah.
Dengan demikian, pernyataan Jokowi tentang ‘sponsor’ seharusnya tidak hanya diarahkan ke DPR, tetapi juga kepada lembaga eksekutif sendiri. Jangan-jangan selama ini, para menteri masih main ‘proyek-proyek-an’ dalam pembahasan RUU. Salah satu keluhan dari DPR misalnya terkait RUU Larangan Minuman Beralkohol yang masih mendatangkan tarik menarik kepentingan antara Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan.
Jika demikian, apa artinya ini? Boleh jadi, Jokowi memang sedang melakukan double speak – istilah yang belakangan ini populer untuk menggambarkan gimik-gimik para politisi dan pejabat publik. Apalagi, pada Agustus lalu, Jokowi justru sempat memuji DPR terkait kinerja legislasi yang mendukung pemerintah.
Dalam konteks yang lebih luas, mungkin juga pernyataan ini punya kaitan dengan situasi politik nasional di mana Ketua DPR RI sedang mengalami ‘cobaan’. Boleh jadi, dalam kata-katanya itu, Jokowi sedang ‘menertawakan’ DPR. Who knows.
Legislasi yang ‘Sakit’
Pada April 2014, tepatnya pasca berakhirnya pemilihan legislatif, jurnalis Anita Rachman pernah menulis untuk The Wall Street Journal terkait postur DPR yang saat itu bertambah dari 9 menjadi 10 partai. Ia menyebutkan bahwa penambahan partai menyebabkan parlemen Indonesia menjadi ‘gemuk’ dan bisa berdampak pada lamanya proses legislasi dan menghasilkan kebijakan tertentu.
Kini, apa yang ditulisnya memang telah terbukti. DPR memang menjadi tidak efektif ketika berhadapan dengan proses pengambilan keputusan atau pengesahan Undang-Undang tertentu. ‘Keseruan’ politik hanya terjadi pada produk legislasi yang ‘seksi’ secara politik macam UU Pemilu atau UU Ormas.
Jokowi Sindir UU Pesanan Sponsor, Fahri: Pemerintah Jangan Lagi Ikut Bahas UU
— Wereng Soklat (@werengsoklat) November 29, 2017
Yang jelas, pernyataan Jokowi harus menjadi refleksi mendalam untuk kerja legislasi dan sinergi pemerintah dan DPR dalam menghasilkan Undang-Undang. Sudah jelas bahwa legislasi kita sedang ‘sakit’. Jika undang-undang saja sarat muatan kepentingan ‘sponsor’, sulit untuk mengharapkan produk hukum yang benar-benar adil dapat terwujud.
Aksi ‘tunjuk hidung’ yang dilakukan Jokowi terhadap DPR juga harus menjadi catatan bagi pria kelahiran Solo tersebut. Telunjuk mengarah ke DPR, tetapi 4 jari lain mengarah ke diri sendiri. Mungkin, Jokowi perlu juga melihat kerja Kementerian Hukum dan HAM, apakah sudah efektif atau tidak dalam hal legislasi. Jangan-jangan, justru ‘sponsor-nya’ banyak masuk di sana, Pakde! Eh! (S13)