Site icon PinterPolitik.com

Siapa Pembisik Megawati?

Siapa Pembisik Megawati?

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri (Foto: KOMPAS/RODERICK ADRIAN MOZES)

Komentar Megawati Soekarnoputri soal kelangkaan minyak goreng dibanjiri respons negatif dari masyarakat. Alih-alih mengakui kekeliruan, Megawati justru membuat demo masak tanpa minyak goreng. Selaku politisi senior, mengapa pernyataan dan gestur politik mengundang tanda tanya seperti itu dikeluarkan Megawati? 


PinterPolitik.com

“Politics is theater. It doesn’t matter if you win. You make a statement. You say, I’m here, pay attention to me.” – Harvey Milk, politisi Amerika Serikat

Megawati Soekarnoputri adalah salah satu episentrum perhatian politik nasional. Selaku Ketua Umum PDIP, partai paling berkuasa saat ini, setiap gestur dan tutur politik Megawati selalu menjadi pusat perhatian publik. Terbaru, pernyataannya soal isu minyak goreng menarik atensi luas dan beragam kritik.

Di tengah kelangkaan minyak goreng beberapa waktu yang lalu, Megawati justru mempertanyakan, mengapa antrian pembeli sebanyak itu. “Apakah ibu-ibu di rumah hanya menggoreng?,” tanyanya.

Sadar atas derasnya kritik yang diterima, Megawati merespons dengan gestur politik yang tidak kalah menarik. Alih-alih mengakui terdapat kesalahan narasi, PDIP justru membuat demonstrasi masak tanpa minyak goreng yang disiarkan secara langsung di kanal Youtube partai.

Ya, seperti yang diketahui, gestur itu seperti menyiram minyak ke kobaran api. Api kritik yang ada, bukannya mengecil, melainkan justru semakin membesar. Ini tentu fenomena unik yang patut untuk dipertanyakan. 

Dengan status Megawati sebagai politisi senior, mengapa gestur tidak populis seperti itu dilakukan?

Membaca Megawati

Jika melihat tebaran sentimen publik, apa yang disayangkan dari Megawati bukanlah pernyataannya, melainkan posisi politik sang putri Soekarno. Secara konten, pernyataan Megawati tentu tepat. Ketua Bappilu PDIP Bambang “Pacul” Wuryanto menyebut apa yang disampaikan Megawati adalah unlearn

Sepertinya mengutip penulis asal Amerika Serikat (AS) Alvin Toffler, Pacul menyebut pernyataan politisi menggunakan tiga konsep dasar filosofis. Pertama adalah learn atau mempelajari kasus. Kedua adalah relearn atau mempelajarinya kembali. Ketiga adalah unlearn atau belajar meninggalkan.

Menurut Pacul, learn adalah mempelajari kasus kelangkaan minyak yang terjadi. Kemudian relearn adalah mempelajari cara menjawab kelangkaan minyak goreng. Sementara unlearn adalah meninggalkan kedua cara berpikir tersebut. 

Daripada berkutat pada minyak goreng, menurut Pacul, Megawati mencoba untuk mengarahkan pikiran out of the box dengan meninggalkan minyak goreng. Seperti yang disebutkan Megawati, bahan makanan yang ada bisa diolah dengan cara direbus atau dikukus.

Mengutip Tirto, menurut Dosen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran Fadly Rahman, kelangkaan minyak goreng memiliki kaitan dengan masifnya industri perkebunan sawit sejak akhir abad ke-19 di Indonesia. 

Pasokan sawit yang mengalami surplus dilihat sebagai prospek bisnis gemilang. Setelah kemerdekaan, perkebunan sawit kemudian dinasionalisasi, dan berkembang menjadi gurita ekonomi yang menguntungkan. Stok yang berlimbah membuat minyak goreng sawit pelan-pelan menggeser minyak goreng kelapa karena harganya lebih murah dan terjangkau. 

Menurut Fadly, menggoreng dengan minyak sawit telah mengubah pola memasak di masyarakat Indonesia. Sebelumnya, masyarakat terbiasa mengolah makanan dengan cara direbus, dikukus, dipanggang, atau dibakar. Namun, seiring dengan berpindahnya tren, di mana masyarakat menggemari makanan renyah dan tahan lama, makanan yang digoreng menjadi primadona karena lebih renyah dan awet. 

Seperti pernyataan Megawati ketika melakukan demonstrasi masak, Fadly juga mendorong agar masyarakat mengubah cara berpikir. Menimbang pada olahan makanan yang digoreng dengan minyak sawit kurang baik bagi kesehatan, masyarakat diminta untuk kembali membiasakan mengolah makanan dengan cara direbus, dikukus, dipanggang, atau difermentasi. Lanjutnya, pemerintah perlu memberikan pendidikan tersebut, terutama terhadap ibu rumah tangga. 

False Cause

Kembali pada poin awal, seperti penjelasan Fadly Rahman, secara konten pernyataan Megawati tentu saja tepat. Namun, bukan itu masalahnya. Apa yang menjadi fokus perhatian publik adalah posisi Megawati sebagai sosok berkuasa saat ini.

Sebagai seorang elite politik, Megawati seharusnya memposisikan diri sebagai peramu kebijakan, bukannya sebagai masyarakat biasa. Siapa pun tentu menyadari, pasti ada yang aneh, kenapa negara yang memiliki perkebunan sawit melimpah justru mengalami kelangkaan minyak goreng.

Beberapa waktu yang lalu, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) juga menemukan indikasi terdapat permainan kartel di balik kelangkaan. Pasalnya, sebelum terjadi kelangkaan, terdapat pertemuan antara asosiasi produsen minyak goreng. Dan setelah harga eceran tertinggi (HET) dicabut, stok minyak goreng tiba-tiba banjir di pasaran.

Nah, kekeliruan penempatan posisi politik dari Megawati adalah apa yang disebut dengan false cause. Bertha Alvarez Manninen dalam bukunya Bad Arguments: 100 of the Most Important Fallacies in Western Philosophy, menjelaskan false cause adalah salah satu kekeliruan bernalar yang terjadi akibat kesalahan dalam mendeteksi akar masalah. Ada kekeliruan dalam melihat sebab-akibat.

Pada kasus Megawati, kesalahannya adalah keliru dalam mendeteksi mengapa dirinya dikritik keras publik. Demonstrasi masak yang ditujukan sebagai respons, bukan menyasar pernyataan soal makanan direbus, melainkan posisi politik sang Ketua Umum PDIP.

Ini bukan soal mana yang lebih sehat antara digoreng atau dikukus, tapi kenapa seorang elite politik seperti Megawati tidak menangkap ada masalah politik di balik kelangkaan minyak goreng yang terjadi. Oleh karenanya, secara meyakinkan kita dapat menyimpulkan ini sebagai false cause. Megawati telah keliru dalam mendeteksi apa akar masalah yang terjadi.

Namun, menimbang pada status Megawati yang merupakan politisi senior, sangat aneh melihatnya melakukan false cause seperti itu. Ketika menjadi oposisi selama 10 tahun di pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Megawati dan PDIP terlihat sangat sensitif terhadap isu rakyat kecil, seperti kenaikan harga BBM. 

Pada saat itu, Megawati tidak terlihat memberi pernyataan unlearn untuk meninggalkan BBM. Tidak ada pernyataan soal menaiki sepeda atau menggunakan kendaraan listrik. 

Lantas, setelah menjadi penguasa saat ini, mengapa pernyataan tidak sensitif dan false cause seperti itu dikeluarkan Megawati?

Psikologi Queen Dowager?

Keanehan ini makin besar apabila kita mengacu pada tulisan Elicier Crespo-Fernández yang berjudul Euphemism and Political Discourse in the British Regional Press. Menurutnya, kerapnya politisi menggunakan bahasa diplomatis atau tidak to the point untuk menghindari kesan negatif agar hubungan dan dukungan politik tetap terjaga.

Pada titik ini, ada dua asumsi mengapa Megawati tidak menerapkan rumus dasar yang disebutkan Elicier Crespo-Fernández. Pertama, bukan tidak mungkin Megawati telah terjebak dalam psikologi ibu suri (queen dowager)

Dalam berbagai kerajaan, seperti di Tiongkok dan Jepang kuno, ratu atau ibu dari raja yang tengah memimpin memiliki posisi politik yang begitu tinggi. Posisi ini tidak tertuliskan secara formal, karena secara hierarki pemilik kekuasaan tertinggi adalah sang raja. Queen dowager memiliki posisi politik tinggi karena memiliki pengaruh psikologi yang besar terhadap sang raja.

Nah, kendati Indonesia tidak lagi menganut sistem kerajaan, posisi Megawati dapat disebut sebagai queen dowager saat ini. Kita tentu ingat, ia beberapa kali menggunakan diksi “petugas partai” kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Suka atau tidak, itu adalah bahasa politik yang berarti, meskipun Jokowi adalah RI-1, ia tetap harus mengabdi pada partainya, yakni PDIP.

Dalam banyak kasus dan sejarah, karena memiliki power yang besar, queen dowager menjadi kehilangan sensitivitasnya. Ini kemudian membuat seorang ibu ratu sulit mengakui kesalahan dan bertindak secara sewenang-wenang.

Singkatnya, melihat perbedaan gestur dan tutur politik Megawati, sebelum dan setelah menjadi penguasa, mungkin dapat dikatakan ia tengah mengalami psikologi queen dowager. Kekuasaan yang besar telah mengerosi sensitivitasnya.

Setelah membahas yang pertama, kita akan berlanjut pada asumsi selanjutnya. Kedua, bukan tidak mungkin Megawati telah memainkan manajemen isu. Elizabeth Dougall dalam tulisannya Issues Management, menjelaskan manajemen isu sebagai proses strategis dan antisipatif untuk mendeteksi dan merespons berbagai perubahan tren atau isu yang muncul di lingkungan sosial-politik.

Karena perubahan tren dan isu dapat mengkristal menjadi masalah yang memberikan dampak destruktif, perlu diberikan respons yang tepat untuk mencegah kristalisasi masalah. Salah satu caranya adalah dengan melemparkan isu lain agar isu yang tengah dipergunjingkan tidak mengkristal. Cara ini kerap kita sebut dengan pengalihan isu.

Sebagai politisi senior dan tengah menarget kemenangan ketiga di Pemilu 2024, tampaknya cukup sulit membayangkan Megawati melakukan blunder seperti itu. Jika hanya sekali, mungkin dapat dimaklumi, tapi blunder ini berlanjut pada demonstrasi memasak tanpa minyak goreng. Suka atau tidak, ini jelas menjadi indikasi terdapat unsur kesengajaan.

Jika meraba, terdapat satu isu sosial-ekonomi yang tengah terjadi, yakni kenaikan harga BBM. Setelah BBM jenis Pertamax naik, dari Rp9.000 menjadi Rp12.500-Rp13 ribu per liter, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut B. Panjaitan memberikan sinyal bahwa harga Pertalite dan LPG 3 kg akan menyusul naik.

Seperti yang disinggung berbagai pengamat ekonomi, kenaikan komoditas pokok tersebut akan menimbulkan efek domino, khususnya terkait kenaikan harga.

Dengan kata lain, jika mengacu pada premis Megawati adalah politisi senior yang ulung, gestur dan tutur politiknya soal minyak goreng bukan tidak mungkin merupakan pengalihan isu. Pasalnya, dengan status Jokowi sebagai kader PDIP, jika isu kenaikan harga BBM mengkristal, ini dapat menjadi hambatan bagi PDIP untuk hat-trick di Pemilu 2024.

Well, sebagai penutup, perlu digaris bawahi bahwa tulisan ini adalah interpretasi semata. Entah apa pun yang terjadi, baik itu psikologi queen dowager atau sekadar pengalihan isu, itu hanya diketahui oleh Megawati sendiri. 

Namun yang jelas, pernyataan dan gestur berulang Megawati adalah indikasi kuat bahwa ada “pembisik” di baliknya. Entah siapa itu. (R53)

Exit mobile version