Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Boy Rafli Amar, menyebut ada partai politik (parpol) yang terafiliasi dengan jaringan teroris. Ia juga mengungkapkan akan ada upaya infiltrasi teroris ke pergelaran Pemilihan Umum 2024 (Pemilu 2024). Bagaimana kacamata politik memahami komunikasi publik ala Boy ini?
Bagi kalian yang lahir tahun 2000-an ke bawah, pasti kalian masih teringat horornya peristiwa pemboman yang terjadi di Bali pada tahun 2002, ketika dua bom meledak di Jalan Legian, Kuta, dan di dekat kantor Konsulat Jenderal (Konjen) Amerika Serikat (AS).
Untuk yang melihat laporan berita melalui televisi pada saat itu, gambar kawah ledakan bom dan bekas jenazah-jenazahnya mungkin masih akan terus terbayang di benak pikiran ketika topik tentang Bom Bali jadi bahan perbincangan.
Mirisnya, tiga tahun setelah itu, peristiwa pemboman kembali terjadi di Pulau Dewata dengan lokasi yang tidak begitu jauh, yakni di daerah Kuta dan Jimbaran. Kedua peristiwa ini sama-sama merenggut korban jiwa lebih dari 200 orang.
Yap, peristiwa teror seperti Bom Bali menjadi pelajaran besar bagi negara kita tentang pahitnya aksi terorisme, dan pentingnya mencegah peristiwa serupa terjadi di masa-masa mendatang. Untuk itu, wajar bila negara, khususnya melalui lembaga seperti Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), melakukan upaya-upaya agar aksi terorisme bisa diredam semampu mungkin.
Terkait itu, Kepala BNPT Boy Rafli Amar belakangan ini membuat pernyataan tentang terorisme yang berhasil jadi salah satu sorotan utama publik.
Ketika berbicara di acara dialog kebangsaan BNPT, Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) di Hotel The St. Regis Jakarta, pada tanggal 13 Maret, Boy mengungkapkan sebuah klaim menarik bahwa ternyata ada parpol di Indonesia yang terafiliasi dengan jaringan teroris. Parpol tersebut kata Boy adalah parpol baru yang “untungnya” tidak lolos proses verifikasi Pemilu 2024.
Namun, meskipun menyebutkan bahwa pihaknya memiliki informasi yang cukup kuat tentang parpol tersebut dan alasan kenapa mereka memang harus ditolak, Boy enggan untuk elaborasi pernyataannya.
Tidak hanya itu, Boy kemudian juga mewanti-wanti agar seluruh pihak mewaspadai pelaksanaan Pemilu 2024, karena menurutnya memang terdapat indikasi bahwa teroris akan menyusup di acara demokrasi terbesar Indonesia itu
Pernyataan Boy ini sontak menimbulkan respons bercampur di kalangan warganet, ada yang memang mengapresiasi pengungkapan informasi tersebut, tapi ada juga yang mengkritisi bahwa apa yang disampaikan orang tertinggi di BNPT itu justru berpotensi menimbulkan polemik baru di masyarakat.
Pertanyaannya kemudian adalah, pandangan mana kira-kira yang tepat? Apakah yang dilakukan Boy sudah benar, atau justru perlu kita kritisi?
Layaknya Menyiram Air ke Kobaran Api
Aksi terorisme sudah jelas adalah sesuatu yang harus kita lawan dan cegah. Tidak hanya terorisme, aksi pembunuhan dalam bentuk apa pun sudah sepantasnya mendapat pengutukan dan perhatian yang sebesar-besarnya dari negara agar tidak dapat terjadi.
Namun, pencegahan terorisme adalah salah satu hal dalam kehidupan berbangsa yang tampaknya lebih mudah untuk diucapkan daripada dilakukan. Hal ini karena terdapat beberapa hal kompleks tentang terorisme di Indonesia yang masih menjadi PR besar, seperti batasan pandangan radikal yang bisa dicap sebagai pandangan ekstremis, atau perbedaan antara definisi terorisme dan radikalisme itu sendiri.
Anyway, kalau kalian tertarik pembahasan ini, kalian bisa kunjungi artikel PinterPolitik.com berjudul Pemerintah Salah Strategi Tangani Terorisme?.
Oleh karena itu, kalau secara dasarnya gesekan antara radikalisme dan terorisme di Indonesia saja masih menjadi perdebatan, apa yang diucapkan Boy tentang ancaman masuknya kepentingan teroris ke Pemilu 2024 sesungguhnya di satu sisi bisa dianggap sebagai salah satu upaya menyebarkan ketakutan semata, tanpa standar yang jelas apa yang sebenarnya harus ditakuti.
Hal ini berkorelasi dengan pengertian fearmongering yang dipopulerkan Barry Glassner dalam bukunya The Culture of Fear. Glassner menyebutkan bahwa strategi menebar ketakutan di masyarakat memang kerap jadi metode andalan pemerintah untuk menjalankan kepentingannya, akan tetapi, upaya penyebaran ketakutan juga berpotensi menimbulkan ketakutan yang berlebihan di publik, dan bahkan sering salah sasaran.
Sebagai contoh, masyarakat negara kita selama bertahun-tahun diberitahu bahwa pandangan komunisme leninis-marxis adalah sesuatu yang perlu kita hindari, akan tetapi, seiring waktu, sebagian orang justru malah menakuti etnis tertentu, seperti Tionghoa misalnya, bukan pandangan komunisme itu sendiri.
Nah, kalau kita coba bawa pandangan fearmongering dari Glassner tadi untuk melihat dampak dari komunikasi publik yang dilakukan Boy, maka dampak yang berpotensi muncul adalah justru prasangka tidak baik di publik akan berlebihan. Sebagai contoh, bisa saja ketakutan terhadap radikalisme justru akan membuat publik menakuti kelompok-kelompok agama fundamentalis yang kerap diidentikkan dengan gerakan radikalis-ekstremis.
Hal ini tentu tidak terlalu jauh untuk diimajinasikan, karena setidaknya sejak Pemilu 2019 silam kelompok Islam yang fundamentalis memang kerap disamakan dengan gerakan radikal-ekstremis yang “gemar” kekerasan.
Kalau memang benar ini semua hanya dilakukan untuk menebar ketakutan -dengan embel-embel menyebar kesadaran- semata, maka yang terjadi di publik bukanlah peredaman teror, tapi justru malah menciptakan fenomena saling tuduh di antara masyarakat.
Well, jujur saja, tidak usah jauh-jauh dibayangkan, di grup-grup WhatsApp sekarang saja banyak kita temukan broadcast yang menuduh kelompok tertentu sebagai kelompok teroris. Tidak terbayang akan se-intens apa provokasi yang terjadi bila publik akhirnya semakin merasa tidak aman dan takut akibat pernyataan Boy tadi.
Namun, potensi berbahaya pernyataan Boy tentang penyusupan teroris ke Pemilu 2024 tentu tidak hanya dari kalangan rakyat semata. Ada juga beberapa kekhawatiran tentang potensi penggunaannya dilakukan oleh oknum represif pemerintahan.
Mencari Parpol “Gerombolan Teroris”?
Ada sebuah artikel menarik dari Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) berjudul Penanganan Teroris di Ciputat Penuh Tanda Tanya. Dalam artikel ini, tim KontraS menyoroti penggerebekan yang dilakukan Tim Detasemen Khusus 88 (Densus 88) di Ciputat, Tangerang Selatan, pada tanggal 31 Desember 2013 – 1 Januari 2014.
Di aksi tersebut, aparat mengeksekusi enam orang yang diduga teroris. Menariknya, menurut KontraS, berdasarkan temuan yang mereka dapatkan, pengeksekusian tersebut sangat kental dengan inakuntabilitas dan ke-tidak-profesional-an, karena terdapat pernyataan berbeda dari pihak aparat dan gambaran yang terjadi di lapangan.
Walau kita mungkin tidak akan bisa memastikan kebenarannya, aksi yang disoroti KontraS tersebut menjadi salah satu bukti bahwa aksi penanggulangan dan pencegahan terorisme kerap dipenuhi dengan tanda tanya.
Oleh karena itu, meski mungkin kita hanya menganggap pernyataan Boy hanya sebagai pernyataan semata, kampanye anti-terorisme yang dilakukan pemerintah di baliknya sebenarnya dibayangi dampak besar yang di satu sisi bisa terlihat begitu “mengerikan”.
Terkait itu, Tore Bjørgo dalam bukunya Root Causes of Terrorism, menjelaskan bahwa kampanye anti-terorisme yang dilakukan sebuah negara tidak hanya kerap bertujuan meningkatkan ketakutan publik terhadap potensi teror, tapi juga sering digunakan untuk “meniup api” atau membungkam beberapa kelompok yang dinilai sebagai ancaman politik oleh pemerintahan tersebut.
Kalau dipandang dari filosofi realisme, hal ini tentu adalah hal yang wajar karena negara perlu mempertahankan eksistensinya bagaimana pun caranya. Segala metode akan dibenarkan tanpa memandang apakah yang dicap sebagai musuh tersebut sebenarnya bersifat baik atau tidak.
Namun, kalau strategi ini digunakan secara “berlebihan”, seperti yang juga dijelaskan Bjørgo, gerakan kontra-terorisme yang seharusnya bisa meredam potensi kekerasan justru malah digunakan sebagai alat politik pemerintah semata.
Dalam konteks pernyataan Boy, bisa jadi “wanti-wanti” penyusupan teror di pemilu adalah salah satu upaya untuk mendiskreditkan kelompok politik yang dinilai sebagai lawan, bahkan sebelum pertandingan dimulai. Ibaratnya, seperti praktik political labelling atau pelabelan politik, tapi dilakukan secara preemptive atau mendahului.
Kalau memang demikian, maka sesungguhnya kita pun patut terus mempertanyakan komitmen pemerintah dalam meredam ancaman teroris yang sebenarnya.
Hal yang bisa kita lakukan sekarang hanyalah mencoba menebak-nebak parpol mana yang dimaksud oleh Boy. Sebelumnya, lima partai yang tidak lolos verifikasi KPU sempat jadi sorotan, mereka adalah Partai Rakyat Adil Makmur (Prima), Partai Swara Rakyat Indonesia (Parsindo), Partai Republik, Partai Republiku Indonesia, serta Partai Keadilan dan Persatuan (PKP).
Tidak lupa, Partai Ummat besutan Amien Rais juga sempat tidak lolos pada verifikasi saat akhir tahun 2022, meski sekarang akhirnya mereka diloloskan. Melihat ke belakang, pada Pemilu 2019 Amien pun sempat menjadi “tantangan” bagi kubu Presiden Jokowi.
Apakah parpol yang dimaksud Boy ada di antara nama-nama ini? Well, hal ini menarik jadi perenungan kita bersama. (D74)