Akhirnya, Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-34 dilaksanakan. Kaum Nahdliyin telah lama menanti akan gelaran besar ini. Para kandidat, yaitu para kyai yang diharapkan menjadi penerus tongkat kepemimpinan NU telah siap menjalani kompetisi ini. Lantas, siapakah yang akan menjadi juaranya?
Semarak dari pesta yang dinantikan oleh warga Nahdliyin akhirnya menemukan puncaknya. Pembukaan Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) berlangsung hari ini, Rabu, 22 Desember 2021, di Pondok Pesantren Darussa’adah, Lampung.
Sejumlah tokoh politik NU turut hadir dalam forum terbesar warga Nahdliyin tersebut. Seperti Muhaimin Iskandar, politisi NU dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), terlihat datang bersama Wakil Ketua MPR RI Jazilul Fawaid yang juga merupakan politisi PKB.
Politisi lainnya yang hadir, yaitu dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP), seperti Suharso Monoarfa Ketum PPP sekaligus Menteri PPN/Kepala Bappenas. Ia didampingi Sekjen PPP Arwani Thomafi dan politisi senior PPP sekaligus Wakil Menteri Agama RI, Zainut Tauhid.
Selain tokoh politik NU, Muktamar NU juga dihadiri para menteri dari dari NU seperti Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi RI Abdul Halim Iskandar, Menteri Ketenagakerjaan RI Ida Fauziyah, dan juga Menteri Agama RI Yaqut Cholil Qoumas. Putri KH Abdurrahman Wahid, Yenny Wahid, juga tampak menghadiri acara pembukaan Muktamar NU ini.
Setelah tokoh-tokoh di atas berkumpul di lokasi, kemudian barulah muncul Presiden Joko Widodo datang untuk membuka Muktamar NU. Presiden hadir bersama Wakil Presiden RI KH Ma’ruf Amin.
Jika kita simak, Muktamar NU ke-34 ini mempunyai kesan yang berbeda. Sekadar membandingkan, sebelumnya, terdapat dua muktamar atau pemilihan ketua umum organisasi besar Islam lainnya, yaitu Syarikat Islam (SI) di Surakarta, Jawa Tengah, dan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) di Bandung, Jawa Barat. Namun, atmosfer kemeriahan dua kegiatan ormas Islam itu tidak sebesar Muktamar NU.
Sejumlah kandidat berpengaruh juga menambah tingginya atmosfer persaingan, mulai dari petahana KH Said Aqil Siradj, KH Yahya Cholil Staquf yang semula menjabat Katib Am PBNU, KH As’ad Said Ali yang juga mantan Waketum PBNU dan juga mantan Waka BIN RI, serta KH Marzuki Mustamar yang saat ini menjadi Ketua PWNU Jawa Timur.
Siapa pun yang berpotensi menang dalam pemilihan di Muktamar kali ini haruslah mempunyai modal politik yang kuat. Lantas, seperti apa modal politik yang harus dimiliki oleh para kandidat ini?
Baca Juga: Mungkinkah NU Lepaskan Politik Praktis?
Meraba Modal Politik
Umumnya, pemimpin adalah seseorang yang mempunyai nilai lebih. Hal ini mengandaikan bahwa nilai lebih yang dimiliki pemimpin akan menjadi motif para pengikutnya untuk tetap bersandar pada dirinya. Hal ini yang secara tidak langsung ingin mengatakan bahwa pemimpin adalah seorang istimewa yang elitis – artinya pemimpin secara kuantitas sedikit dan jarang orang dapat menjadi seorang pemimpin.
Muncul pertanyaan, apa yang membuat pemimpin itu istimewa? Jawaban tentunya karena pemimpin punya modal sosial – sebuah modal yang tidak dimiliki oleh orang kebanyakan. Dari modal sosial inilah pemimpin dapat hadir dan diterima di tengah kelompoknya.
Pierre Bourdieu dalam bukunya An Invitation to Reflexive Sociology mendefinisikan modal sosial sebagai kumpulan sejumlah sumber daya – baik aktual maupun potensial yang terhubung dengan kepemilikan jaringan atau relasi – yang sedikit banyak telah terlembaga dalam pemahaman dan pengakuan bersama. Modal sosial merujuk kepada jaringan sosial yang dimiliki seseorang dalam hubungannya dengan pihak lain.
Dalam konteks Muktamar NU, yang akan melahirkan ketua umum PBNU berikutnya. Calon ketua umum haruslah seseorang yang punya modal sosial yang dapat mengikat kelompoknya yang tentunya salah satunya adalah jaringan – selain kepercayaan dan kepatuhan dengan aturan kelompok.
Formulasi ini ditegaskan oleh ilmuwan politik Robert D. Putnam dengan konsep modal sosialnya yang terdiri dari trust (kepercayaan), norm (norma), dan networking (jaringan atau relasi). Bagaimana elaborasi dari tiga modal ini?
John F. Halliweel dalam bukunya Social Capital and Prosocial Behaviour Sources of Well-Being mengkaji penalaran empiris tentang pentingnya modal sosial yang terdiri dari beberapa kategori, yakni: (1) modal sosial selalu penting untuk pengembangan kapital manusia; (2) modal sosial dianggap dapat meningkatkan kesejahteraan individu dan memberi kebahagiaan yang subyektif; (3) modal sosial juga juga dianggap penting peranannya guna meminimalisir ongkos dan resiko yang mungkin dikeluarkan dalam kegiatan ekonomi; dan (4) modal sosial dapat menggerakkan individu atau kelompok untuk melakukan mobilitas sosial secara vertikal.
Dari keempat kategori alasan pentingnya modal sosial yang disinggung di atas, kita akan menemukan penjelasan bahwa, dengan modal sosial ini, seorang calon dapat memanfaatkan seluruh modal itu untuk memberikan efek positif dalam sebuah pemilihan. Tentunya, hal ini dikarenakan modal sosial itu telah dikonversi menjadi modal politik.
Karena memasuki dunia politik, seorang tokoh haruslah mempunyai modal politik atau political capital yang bisa saja diambil dari modal sosial atau social capital. Hal ini diungkapkan oleh Kimberly L. Casey dalam tulisannya yang berjudul Defining Political Capital.
Casey mengungkapkan modal politik merupakan konsep dasar untuk memahami transaksi dan relasi politik. Secara alegoristik (perumpamaan), Casey menggambarkan, akumulasi dari berbagai modal sosial yang dikonversi menjadi modal politik ini membuat politisi mempunyai daya tawar tersendiri.
Casey menegaskan bahwa tidak ada modal politik yang autentik. Dalam artian, besar kecilnya daya tawar modal politik tergantung atas modal yang dibutuhkan dalam sebuah kontestasi. Lantas, dalam muktamar NU ini, seperti apa modal politik para kandidat yang akan bertarung?
Baca Juga: Said Aqil Ketum PBNU 3 Periode?
Tarung Para Kyai
Sejauh ini, terdapat empat tokoh yang telah dikonfirmasi melalui pemberitaan yang akan menjadi kandidat dalam perebutan ketua umum PBNU. Kandidat terdiri dari KH Said Aqil Siradj, KH Yahya Cholil Staquf, KH As’ad Said Ali, dan KH Marzuki Mustamar.
Kandidat pertama merupakan tokoh petahana ketua umum PBNU, yaitu KH Said Aqil Siradj yang sekitar 10 tahun terakhir telah menakhodai organisasi warga Nahdliyin. Sebagai seorang petahana, modal utama Said Aqil tentunya pengalaman dan orang yang menguasai sistem.
Said Aqil telah membangun jaringan yang cukup mengakar, mulai dari tingkat wilayah (PWNU), cabang (PCNU), dan juga cabang istimewa (PCI-NU). Said juga dianggap tokoh sentral yang berhasil mengawinkan pasangan Presiden Jokowi dengan Wapres Ma’ruf Amin sebagai representasi bersatunya kelompok nasionalis dan Islam moderat pada Pilpres 2019. Wajar jika banyak yang menilai dukungan politik istana cenderung kepadanya.
Meski demikian, Muktamar NU ditentukan sikap para pemilik suara cukup sensitif pada isu-isu kontroversial. Said Aqil menurut beberapa pengamat menilai berpotensi dihantam oleh beberapa isu, misalnya regenerasi dan kecenderungan PBNU di eranya dekat dengan pusat kekuasaan.
Karena itu, untuk menang, tim Said Aqil harus mampu menetralisir narasi-narasi sensitif itu meski punya networking yang kuat. Namun, dari sisi norm, yaitu kecenderungan dekat dengan kekuasaan dan trust yaitu kepercayaan pemilih di bawah tentang integritas beliau, menjadi pekerjaan yang berat bagi tim pemenangan Said Aqil.
Kedua, kandidat yang juga menjadi atensi publik, yaitu KH Yahya Cholil Staquf. Kandidat kedua ini digadang-gadang menjadi penantang terberat petahana saat ini. Modal politik dapat dilihat dari keberadaan Yaqut Cholil Qoumas sebagai Menteri Agama yang merupakan adik kandung Yahya Staquf berpotensi memberikan keleluasaan untuk membangun komunikasi dengan PWNU dan PCNU di daerah yang punya relasi dengan Kementerian Agama.
Keuntungan politik lainnya dari Yahya Staquf dapat dilihat dari anggapan banyak orang yang menilai dia dapat menjadi tokoh baru yang berpotensi mengubah pola relasi antara NU dengan sejumlah elemen-elemen di Tanah Air, mulai dengan partai-partai politik tertentu hingga ormas-ormas lain yang selama ini cukup sering bersitegang dengan NU di bawah kepemimpinan Said Aqil.
Hal negatif yang menghinggapi dukungan terhadap Yahya Staquf, yaitu isu-isu tentang keberpihakan terhadap Israel. Hal ini disebabkan kehadirannya di sebuah kegiatan forum internasional di Tel Aviv beberapa tahun lalu.
Baca Juga: Mengapa Menag Penting Bagi NU?
Jika Yahya Staquf mampu menetralisir dan menjelaskan alasan kehadirannya di forum internasional tersebut dengan baik pada PWNU, PCNU, dan PCI-NU, maka besar kemungkinan ia mampu mengkonsolidasikan kekuatannya untuk memenangkan kontestasi di Muktamar ini.
Jika kedua kandidat di atas menjadi kandidat yang mainstream dalam pemberitaan, maka terdapat dua kandidat lagi yang sejauh ini masih kurang terpantau dari radar media nasional. Mereka adalah KH As’ad Said Ali dan KH Marzuki Mustamar merupakan dua nama potensial yang menjadi calon alternatif di luar dua mainstream utama yang berkompetisi.
Calon alternatif Ketum PBNU ini memang dibutuhkan untuk memecah kebekuan komunikasi sekaligus untuk menurunkan tensi dalam kompetisi Muktamar kali ini. Keberadaan dua kutub kekuatan dalam ruang kompetisi cenderung membuat kompetisi lebih tinggi eskalasinya. Untuk itu, hadirnya calon pemimpin alternatif membuat proses regenerasi semakin terbuka.
Peluang As’ad Said Ali untuk maju sebagai calon ketum dapat dilihat dari modal politik yang erat kaitannya dengan jabatan sebelumnya yaitu menjadi Wakil Kepala Badan Intelijen Nasional (BIN). Jaringan nasional dan internasional yang dimilikinya diharapkan akan menjadikan organisasi NU dapat membangun relasi yang lebih luas.
Banyak informasi yang mengatakan bahwa pengurus cabang NU di luar Jawa cenderung mendukung As’ad Ali. Hal ini positif sekaligus melahirkan problem baru, yaitu kecenderungan membenturkan pendukung antara Jawa dan non-Jawa.
Hal ini dirasa akan menjadi masalah dalam keutuhan NU itu sendiri. Tim As’ad Ali harus dapat menjawab isu-isu seperti ini.
Kandidat keempat, yaitu Marzuki Mustamar, yang mempunyai modal politik dikarenakan dia adalah ketua PWNU yang menjadi basis utama dan kelahiran organisasi ini, yaitu Jawa Timur. Cenderung unggul karena hasil lembaga survei pada beberapa bulan belakangan, dapat menjadi modal politiknya.
Namun, peristiwa pertemuan dengan Anies Baswedan, saat silaturahmi ke Jawa Timur menjadi poin negatif yang menjadi kritik baginya. Ditambah lagi saat itu, dia sempat melontarkan bahwa Anies adalah calon presiden. Tentunya, tim Marzuki Mustamar harus dapat menetralisir isu-isu seperti ini.
Dibalik meriahnya Muktamar NU ini, terdapat kandidat-kandidat yang mempunyai beragam potensi. Ada potensi yang menjadi nilai positif dan berujung pada dukungan, terdapat pula potensi dan isu yang menjadi nilai negatif yang berujung pada kritik masing-masing para kandidat.
Biarkan Muktamar NU ke-34 yang akan menentukan siapa yang akan dipilih menjadi pemimpin baru NU ke depan. Terlepas bagaimana hasil Muktamar, umat dan masyarakat Indonesia tentu berharap Muktamar kali menghasilkan keputusan yang tepat untuk meneguhkan semangat Keislaman dan Keindonesiaan. Kedua semangat ini yang menjadi sintesis dari keberagamaan dalam keberagaman di Indonesia. (I76)
Baca Juga: Jokowi dan Dilema Menteri NU